Pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlangsung dari tahun 2004 hingga 2014, Indonesia menerapkan pendekatan politik luar negeri yang dikenal dengan prinsip "Millions Friends, Zero Enemy." Konsep ini mencerminkan keinginan Indonesia untuk menjalin hubungan baik dengan sebanyak mungkin negara sambil menghindari konflik atau permusuhan. Prinsip ini tidak hanya mencerminkan kebijakan luar negeri yang damai tetapi juga menggarisbawahi peran Indonesia sebagai negara demokrasi besar yang ingin berkontribusi pada stabilitas global. Â
Sebagai negara dengan letak geografis strategis dan anggota G20, Indonesia memiliki peran penting dalam percaturan internasional. Dalam implementasi "Millions Friends, Zero Enemy," SBY menekankan pentingnya hubungan bilateral yang saling menguntungkan serta keterlibatan aktif dalam forum multilateral seperti ASEAN, PBB, dan G20. Salah satu implementasi konkret kebijakan ini dapat dilihat dalam kerja sama antara Indonesia dan China, khususnya di bidang ekonomi dan infrastruktur. Â
Prinsip "Millions Friends, Zero Enemy" muncul sebagai respons terhadap dinamika global yang terus berubah, termasuk meningkatnya rivalitas antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Indonesia, melalui pendekatan ini, berupaya untuk tetap netral dan menjalin hubungan baik dengan semua pihak. Pendekatan ini mencerminkan filosofi "bebas aktif" yang menjadi dasar politik luar negeri Indonesia sejak masa kemerdekaan. Â
Dengan filosofi ini, Indonesia berusaha menjadi jembatan antara negara-negara maju dan berkembang serta antara negara-negara dengan kepentingan yang bertentangan. Indonesia juga berupaya memanfaatkan hubungan baik dengan banyak negara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik, stabilitas regional, dan peran strategis di panggung internasional. Â
Pada era SBY, kebijakan ini terlihat dari upaya Indonesia meningkatkan hubungan bilateral dengan berbagai negara, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan India. Di sisi lain, Indonesia juga aktif mempromosikan dialog damai, baik dalam isu Timur Tengah maupun konflik di Asia Pasifik. Â
Salah satu implementasi nyata prinsip "Millions Friends, Zero Enemy" adalah penguatan hubungan bilateral Indonesia-China, yang menjadi lebih erat sejak ditandatanganinya Comprehensive Strategic Partnership pada 2005. Hubungan ini berfokus pada kerja sama di berbagai bidang, seperti perdagangan, investasi, dan pembangunan infrastruktur. Â Proyek besar yang menjadi sorotan dalam hubungan ini adalah pembangunan jalur kereta api batu bara di Kalimantan Tengah. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi logistik batu bara dari tambang ke pelabuhan, sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Investasi proyek ini berasal dari China Development Bank dengan nilai mencapai USD 1,5 miliar.Â
Pembangunan infrastruktur ini tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Selain itu, proyek ini mencerminkan strategi Indonesia untuk menarik investasi asing guna mempercepat pembangunan nasional, tanpa harus bergantung pada dana domestik. Â
Meskipun kerja sama ini membawa manfaat ekonomi, ada berbagai tantangan yang dihadapi. Salah satunya adalah kekhawatiran tentang dominasi ekonomi China dalam proyek-proyek besar di Indonesia. Beberapa pihak menilai bahwa keterlibatan China dalam proyek infrastruktur besar dapat meningkatkan ketergantungan ekonomi Indonesia pada China, yang berpotensi merugikan posisi strategis Indonesia dalam jangka panjang. Â Selain itu, ada isu mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek-proyek ini. Beberapa proyek yang melibatkan investasi asing, termasuk dari China, menghadapi kritik terkait kemungkinan praktik korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia dalam proses implementasinya. Â Di sisi lain, proyek ini juga menjadi ujian bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa kerja sama internasional tetap berorientasi pada kepentingan nasional. Indonesia perlu memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan agar proyek-proyek tersebut berjalan sesuai dengan standar nasional dan internasional. Â
Prinsip "Millions Friends, Zero Enemy" memberikan manfaat strategis bagi posisi Indonesia di panggung internasional. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran penting sebagai mediator dalam berbagai isu global, seperti perubahan iklim dan keamanan regional. Â
Kerja sama dengan China, misalnya, tidak hanya membawa manfaat ekonomi tetapi juga memperkuat hubungan diplomatik kedua negara. Dengan memanfaatkan hubungan baik dengan China, Indonesia mampu meningkatkan ekspor dan mengundang lebih banyak investasi untuk mendukung pembangunan infrastruktur nasional. Selain itu, pendekatan ini memberikan fleksibilitas bagi Indonesia untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, tanpa terjebak dalam rivalitas antara dua kekuatan besar tersebut. Â
Politik luar negeri Indonesia di era SBY dengan pendekatan "Millions Friends, Zero Enemy" mencerminkan kebijakan yang pragmatis dan inklusif. Dalam kerja sama dengan China, khususnya di bidang infrastruktur, prinsip ini terlihat jelas melalui upaya menjalin hubungan saling menguntungkan tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pragmatisme ekonomi dan kepentingan nasional. Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan agar kerja sama internasional benar-benar memberikan manfaat yang optimal bagi rakyat dan negara. Â
Pendekatan "Millions Friends, Zero Enemy" pada akhirnya memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi besar yang mampu berkontribusi pada stabilitas dan pembangunan global, sekaligus menjadi inspirasi bagi negara lain dalam menjalankan politik luar negeri yang damai dan konstruktif.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H