Siapa sih yang tidak ingin mendapatkan wifi gratis berjam-jam dengan suasana yang tenang? Selagi mengerjakan tugas ditemani aroma kopi yang menguar, denting sendok yang beradu dengan cangkir, dan suara gelak tawa yang memenuhi ruangan. Pemandangan ini telah menjadi suatu potret kehidupan urban yang begitu familiar. Di setiap sudut-sudut kota, mulai dari gang sempit hingga mal mewah, berbagai kafe telah menjamur. Fenomena "nongkrong di kafe" bukan lagi sekadar tren, melainkan telah bertransformasi menjadi gaya hidup yang mengakar kuat di masyarakat perkotaan Indonesia.
Namun, di balik gemerlap dan keceriaan, ada pertanyaan yang muncul dan menggugah: Apakah budaya nongkrong di kafe ini merupakan manifestasi gaya hidup modern yang wajar, atau justru cerminan pemborosan yang terselubung?
Di satu sisi, kafe menawarkan ruang yang nyaman untuk mengerjakan tugas atau sekadar berbincang saja, bahkan sebagai kantor informal bagi para freelancer. Di sisi lain, banyak kritik bermunculan, bahkan bisa jadi stigma buruk terkait konsumerisme berlebihan, tekanan finansial, hingga dampak lingkungan yang ditimbulkan. Bisa jadi hanya karena ingin masuk kelompok tertentu, harus merogoh saku yang lumayan hanya untuk mengonsumsi secangkir kopi. Jadi, sebenarnya di manakah batas antara menikmati hidup dan berlebihan? Bagaimana kita bisa menyikapi tren ini secara bijak tanpa kehilangan arah dan esensi itu sendiri?
Bayangkan saja, berapa banyak uang yang habis cuma buat secangkir kopi, padahal sebenarnya bisa kita buat sendiri di rumah? Belum lagi kalau cuma demi konten sosmed atau biar dianggap hits.
Jadi, di mana sih batas antara menikmati hidup sama pemborosan? Mungkin jawabannya kembali ke diri kita masing-masing. Yang penting, kita bisa menyikapi tren ini dengan bijak. Nongkrong boleh, tapi tetap harus sesuai kantong dan kebutuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H