"Siapa juga yang mau bareng kamu Tar" Danish berlalu pergi sambil mengernyitkan dahi "Huu dasar baper"ucap Tari agak kesal. "Udah udah kalian ribut mulu, yuk ah ke kantin"ajeng mengalihkan pembicaraan Begitulah kami yang selalu bersama-sama. Lebih tepatnya lagi aku sering menghabiskan waktu bersama mereka. Lamunanku terhenti, suasana kafe pada saat ini tidak terlalu ramai. Dibilang sepi juga tidak. Tempat ini sungguh nyaman Masagi Coffe menjadi salah satu tempat favorit dari zaman kuliah hingga saat ini. Pepohonan yang rindang menjadikan suasana sangat syahdu. Di tempat inilah aku bersembunyi. Mengingat kembali memori usang. Akhir dari kisah kita yang tak jelas dan berakhir. Karena memang hanya aku yang berharap lebih.Â
"Kamu tau kan Ra, kalau Adri punya temen deket selain kita loh, terus temennya tuh perempuan lagi" Tari terlihat agak kesal. Tari tahu aku menyukai Adri, dia adalah sahabat dekatku. Apalagi selama ini banyak hal yang aku ceritakan soal Adri. Bagaimana ia bersikap sangat baik. Mulai nganterin pulang yang bisa di bilang hampir setiap hari. Entah karena kami harus rapat ketika acara di himpunan. Tapi sikap Adri yang memang membingungkan, dia yang selalu nemenin ke perpus. Terus suka ngajakin jalan kalau hari libur dan pokoknya yang buat merasa aku special.Â
"Kata siapa itu Tar?"aku mencoba bersikap biasaÂ
"Danish yang bilang kemarin pas kamu belum datang ke himpunan, itupun dia keceplosan. Terus aku maksa dan nanya. Akhirnya dia cerita tapi rada ga jelas gitu deh" 3 Penggalan memori terus memenuhi otakku. Kutarik nafas dan mencoba fokus pada layar laptop saat ini. Ada beberapa tugas pekerjaan yang penuh deadline.Tepat di hari wisuda itu kita sama-sama paham dan mengerti kalau aku bukanlah orang yang istimewa buat kamu. Semua itu karena prasangka, tak pernah ada yang mengungkapkan rasa. Masing-masing dari kami sibuk menyimpulkan. Apalagi memang sikap Adri yang baik dan ramah pada semua orang. Ternyata memang hanya perasaanku semata saja. Kampus begitu ramai, di auditorium juga begitu penuh, kegembiraan begitu terpancar dari semua wajah mahasiswa. Rasanya beban di Pundak hilang. Padahal kehidupan yang sebenarnya baru di mulai. Mengingat momen menyelesaikan skripsi bisa dibilang sungguh menguras tenaga. Jika di ingat-ingat hampir ingin menangis. Aku duduk bersebelahan dengan Tari yang dari tadi memang sibuk membenarkan toganya. Di samping Tari ada Adri yang mencoba menghindari tatapanku. Awal dari kerenggangan persahabatan kami pada saat Danish tidak sengaja membicarakan seseorang yang memang mungkin akan datang pada saat ini, gadis yang merupakan teman dekat Adri.Â
''Wih selamat yaa kalian berlima wisudanya barengan" Kia salah satu teman kami di himpunan ikut memberikan selamat. Hari itu rasanya aku begitu terkesiap kaget. jadi selama ini Adri memang hanya menganggapku teman, disampingnya berdiri salah seorang gadis yang tersenyum tersipu malu, ia begitu anggun. Mentari menatapku dengan penuh khawatir.Â
''Ra, ayo jalan itu kayaknya ibu sama bapak kamu deh" Tari mencoba mengalihkan perhatiankuÂ
"Iya Tar ayo"aku d melewati keluarga Adri dengan penuh rasa yang tak karuan. Kami bersalaman dengan kedua orang tuanya dan adiknya. Tak banyak yang kami obrolkan hanya ucapan selamat dan juga 1 kali berfoto bersama
Bersembunyi, saat ini menangis sendiri
 Kepadamu...bukan pergi untuk kembali Namun perpisahan untuk selamanyaÂ
Tak seperti lembayung senja meski sebentar akan kembali esokÂ
Cerita kita memiliki batasan. Berhenti dan terjadi antara ruang dan waktu. Sela di antara ruang penyesalan Rasanya aku harus memberi jeda Pada diriku sendiri juga pada dirimu Masa depan sulit diprediksi. Sudahi kisah ini