sumber : anandapuja.com
[caption id="" align="alignleft" width="640" caption="Keberpihakan Media sebuah Keniscayaan"][/caption] Banyak orang berkomentar miring dan negatif tentang keberpihakan media massa kepada sebuah ideologi, baik ideologi pilitik, ekonomi, agama, atau yang lainnya. Media massa di Indonesia pun tak jauh dari cercaan masyarakat terkait keberpihakannya pada sebuah kepentingan politik.
Peta ideologi media mainstream di Indonesia juga sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Contohnya, TvOne punya ideologi politik Golkar pro Abu Rizal Bakrie, MetroTv punya ideologi politik Partai Nasional Demokrat pro Surya Paloh. Republika adalah media Islam, Suara Pembaruan medianya kaum Kristen, dan media lainnya yang saat ini gampang menilainya. Jika ada yang tidak setuju, anggap saja ini adalah pandangan pribadi Saya.
Pertanyaan utamanya adalah, mengapa masyarakat umum bisa menilai, memandang negatif, dan sensitif terhadap sebuah media yang memihak kepada salah satu pihak? Sentimen ini juga terjadi pada akademisi-akademisi di bidang pers, termasuk juga di kampusnya para wartawan, Kampus Tercinta IISIP Jakarta.
Hal ini sebenarnya terkait pada karakter ideal media massa dan karya jurnalistik yang disimpulkan sebagaian akademisi harus netral, objektif, tidak berpihak, dan berimbang. Pasal 1 KEJ (Kode Etik Jurnalistik), wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal ini tidak salah sebagai sebuah nilai ideal. Tapi proses penyampaiannya yang menyebabkan banyak masyarakat dan akademisi menghujat media yang berpihak kepada salah satu pihak atau kelompok politik.
Dasar ini juga yang menjadi bahan pengajaran dosen-dosen di bidang jurnalistik dan media massa. Menurut kriteria nilai ideal tersebut, yang dituntut untuk berperilaku ideal adalah wartawan, bukan beritanya. Dari 11 pasal yang terdapat dalam KEJ tersebut, semua ditujukan kepada manusia, bukan kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Kalau boleh berguyon, harusnya nama Kode Etik Jurnalistik itu diganti, Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalis, karena frasa jurnalistik dalam Kode Etik Jurnalistik harusnya mengacu kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Jurnalistik itu adalah benda, sedangkan jurnalis adalah subyek.
Akademisi seharusnya sudah memahami karakter dari setiap pasal dalam KEJ yang selalu memuat kata “wartawan” di awal bunyi setiap pasal. Artinya kelompok pers atau organisasi pers yang menyepakati KEJ tersebut paham bahwa produk jurnalistik yang dihasilkan berasal dari wartawan-wartawan yang membuatnya.
Simpelnya begini, hasil produk jurnalistik tidak akan pernah terlepas dari wartawan/ jurnalis. Semua elemen dalam karya jurnalistik itu berasal dari jurnalisnya sendiri. Ini yang menjadi dasar mengapa KEJ dibuat untuk wartawan, bukan untuk produk jurnalistiknya. KEJ “berharap” wartawan akan memakai nilai-nilai tersebut dalam karya jurnalistik yang dibuatnya. Sebagai suatu nilai ideal ini tidak salah, tapi hal ini adalah nilai uthopis yang tidak akan pernah bisa tercapai.
Pemahaman akademisi dan masyarakat umum saat ini banyak yang salah tafsir. Banyak yang berpendapat bahwa karya jurnalistik itu harus sesuai dengan KEJ. Harus berimbang, harus netral, tidak berpihak, tidak menyudutkan. Menurut Saya ini salah, karena KEJ sendiri sebagai landasan kegiatan kejurnalistikan tidak pernah menganjurkan berita/ produk jurnalistik lainnya untuk bisa berimbang, dan netral. Kata kuncinya pada KEJ itu ditujukan untuk wartawan, bukan produk jurnalistiknya.
Mengapa Saya katakan nilai ideal ini tidak akan pernah tercapai? Jawabannya sangat simple, karena wartawan atau jurnalis itu adalah manusia, dan manusia itu adalah subyek. KEJ menuntut objektifitas, sedangkan manusia sebagai subyek akan sangat sulit bisa objektif memandang suatu masalah/ kasus. Terutama jika sudah menyangkut pada ideologi pribadinya sendiri.
Wartawan-wartawan yang beragama Islam punya kecenderungan memihak golongannya dalam setiap karya jurnalistik yang dihasilkan ketika menyikapi kasus-kasus konflik horizontal antar agama, begitu juga sebaliknya dengan agama lain. Wartawan-wartawan TvOne (pembahasan ini sebenarnya masuk dalam ekonomi politik media) tidak akan rela untuk memberitakan kejelekan Golkar dengan porsi besar. Begitu juga MetroTv tidak akan memberitakan sesuatu yang negatif tentang Partai Nasional Demokrat dan Surya Paloh. Bukankah ini subjektif? Saya katakan ini sangat sarat subjektifitas.
KEBERPIHAKAN MEDIA SEBUAH KENISCAYAAN
Subjektifitas ini adalah realitas sejati, artinya subjektifitas seorang wartawan dalam menghasilkan karya jurnalistik adalah sebuah keniscayaan.
Teun A Van Dijk dengan paradigma kritisnya mengatakan bahwa sebuah teks (dalam konteks bahasan kita, produk jurnalistik) itu dihasilkan dengan tiga struktur yang mempengaruhinya. Teks (bisa berupa gambar, video, tulisan, dll) dihasilkan dari kognisi sosial (pengetahuan) seseorang. Sedangkan kognisi sosial ini dipengaruhi oleh konteks sosial (lingkungan) wartawan tersebut. Berdasarkan rumusan Van Dijk tadi, nilai ideal yang ada pada KEJ akan “sangat sulit” sekali terwujud.
Jurnalis pasti menulis berita sesuai dengan pengetahuan yang dipengaruhi oleh lingkungan yang dimilikinya. Maka sangat tidak salah jika saat ini banyak media massa berpihak ke salah satu ideologi politik.
Subjektifitas ini akan menghasilkan produk jurnalistik yang subjektif pula, dan yang patut kita ingat bahwa ini adalah sebuah keniscayaan. Manusia tidak bisa diperintahkan untuk berlaku objektif, karena manusia bukan benda yang tidak terpengaruh oleh lingkungan. Jika wartawan adalah benda mati, barulah objektifitas bisa didapatkan, tapi selama wartawan masih bernyawa, memiliki lingkungan, beridiologi, beragama, dan bermasyarakat, objektifitas tidak akan pernah bisa terwujud, yang ada hanya upaya dari jurnalis untuk meminimalisir subjektifitas yang ada.
Kesimpulan Saya, karya jurnalistik yang dihasilkan tidak bisa objektif (ini tidak lantas menjadi buruk), khususnya yang berkaitan dengan isu-isu ideologi politik dan ekonomi media massa yang bersangkutan. Apakah hal ini salah? Saya pikir tidak karena memang subjektifitas adalah sebuah keniscayaan dan objektifitas adalah suatu uhtopia dalam karya jurnalistik.
Idealnya pengajar dan akademisi di bidang jurnalistik di kampus-kampus lebih mendalami paradigma kritis media dari pada secara terus menerus menekankan objektifitas jurnalis/ produk jurnalistik yang tidak akan pernah ada (pandangan positivis).
Mereka yang sedang menimba ilmu kejurnalistikan harus lebih ditekankan pada karya-karya yang berpihak pada sebuah ideologi. Karya jurnalistik itu tidak netral, tapi berpihak. Berpihak pada nilai-nilai kebenaran pribadi jurnalis dan nilai-nilai kebenaran umum yang berlandaskan pada hukum yang berlaku.
Wartawan yang berusaha idealis itu banyak, tapi wartawan yang objektif tidak akan ada, karena idealis adalah upaya mempertahankan dan memasukkkan nilai-nilai kebenaran pribadi pada karya jurnalistik yang dihasilkan. Dan sekali lagi, ini adalah sebuah keniscayaan.
Ukuran objektifitas sebuah karya jurnalistik hanya bisa diukur lewat mode kuantitatif, dan hal ini hampir mustahil, karena wartawan tidak akan pernah menghitung jumlah kata-kata ideologis yang dimuat dalam karyanya ketika menulis teks. Terlebih karena sentimen produk jurnalistik tidak bisa pula diukur secara kuantitas. Hal ini semakin memperkuat teori bahwa teks (produk jurnalistik) tidak bisa berdiri sendiri karena dipengaruhi subjektifitas wartawan.
Masyarakat dan akademisi harusnya bukan mengkritisi media massa/ jurnalis yang berpihak kepada salah satu ideologi, tapi kritik harusnya ditujukan pada konten karya jurnalistiknya. Karya jurnalistik yang baik juga memperhatikan isu sosial dan efek dimasyarakat sebagai sebuah social control. Berhentilah menghujat media karena keberpihakan adalah sebuah kepastian, dan netralitas adalah sebuah uthopi. sumber : anandapuja.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H