Mohon tunggu...
Ananda fahrizhaHardian
Ananda fahrizhaHardian Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa

Mahasiswa Muhammadiyah Pontianak K.Sintang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Covid-19

25 Maret 2020   18:23 Diperbarui: 25 Maret 2020   18:32 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP COVID19
BERDASARKAN UU

DI SUSUN OLEH :
ANANDA FAHRIZHA HARDIAN PUTRA

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PONTIANAK K.SINTANG
JL. AKCAYA 2, SINTANG (KALIMANTAN BARAT)

Akhir-Akhir public Tengah diramaikan Oleh Persoalan penyakit menular Yang virus Oleh disebabkan Corona baru, yakni Covid-19. Virus yang bermula di Wuhan, Tiongkok, ini telah menjangkit banyak negara di berbagai benua. Penyebarannya pun sampai sekarang diprediksi masih jauh dari kata berhenti. Pasalnya, jumlah risiko penyakit terus meningkat - khusus di negara-negara yang menjadi pusat penularan baru seperti Italia dan Iran.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah menetapkan penyakit akibat virus ini sebagai pandemi global - artinya penularan dan ancamannya telah melampaui batas-batas antarnegara.

Kewaspadaan berbagai negara dan masyarakat internasional semakin memuncak.Rasa yang diterima masyarakat internasional ini diterima oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi, dari hari ke hari, jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat - mencapai 69 kasus dan 4 pasien diterima kala artikel ini ditulis. Dengan adanya perkembangan kasus-kasus positif, menjadi wajar dapat diterima masyarakat ingin tahu tentang seluk beluk dari penyebaran virus ini di Indonesia. Soal lokasi penyebaran misalnya, perlu dipertimbangkan agar masyarakat dapat menentang penularan di daerahnya.

Sekretaris Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto mengutip bahwa publikasi atas lokasi penyebaran tidak perlu dilakukan oleh pemerintah karena dapat menimbulkan respons bermacam-macam.

Keengganan pemerintah untuk membuka data lokasi penyebaran Covid-19 ini diharapkan tak terhindar dari berbagai kritik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono misalnya menilai pemerintah telah melanggar undang-undang (UU) NO.36 Tahun 2009 tentang kesehatan -- ditolak pasal 154. Di sisi lain, pemerintah pusat juga menyetujui ruang gerak pemerintah daerah dalam persetujuan Covid-19. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya, menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak diminta untuk membicarakan tentang penyakit ini karena informasi yang memprosesnya dianggap terpusat di Kemenkes.

Tentunya, beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pemerintah. Apakah benar pemerintah daerah dan masyarakat tak berhak membicarakan dan mendapat informasi terkait Covid-19 tersebut? Lantas, bagaimana dinamika politik membayangi "perebutan" kompetensi dan informasi ini?
Bisa dibilang pemerintah pusat meminta untuk memusatkan informasi penanganan Covid-19 di Kemenkes. Hal ini dapat membuat akses informasi publik dan pihak lain semakin terbatas.

Padahal, berdasarkan UU Kesehatan yang dikutip oleh Arief Poyuono, pemerintah sebenarnya perlu membahas daerah-daerah yang bisa menjadi sumber penyakit penularan. Selain itu, UU ini juga memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk melakukan hal serupa.

Selain UU Kesehatan, kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam Pasal 13, persetujuan tentang bidang kesehatan termasuk dalam kewajiban yang menjadi kewajiban pemerintah daerah.

Dengan adanya fakta yang terkandung dalam UU Kesehatan dan UU Pemerintah Daerah, dapat dibilang bahwa penanganan penyakit menular Covid-19 ini diperlukan tidak eksklusif di bawah pengawasan pemerintah pusat.

Hal ini tentu menyisakan pertanyaan baru. Mengapa pemerintah pusat lantas meminta memusatkan penanganan Covid-19? Bagaimana hal ini dapat diselesaikan dari dimensi politik?

Apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini dapat dilakukan melalui hubungan konseptual akan pengetahuan ( pengetahuan ) dan kekuatan ( kekuatan ). Hubungan konseptual di antara ini pernah dikupas oleh beberapa ahli dan pemikir.
Harold Adams Innis - profesor ekonomi politik asal Kanada - misalnya, mencetuskan suatu istilah atas penguasaan pengetahuan dan informasi, yaitu ( monopoli pengetahuan ). Meski Innis lebih menekankan pada penguasaan melalui medium komunikasi, monopoli pengetahuan juga membuat informasi menjadi eksklusif untuk kelompok tertentu.

Implikasi politik yang perlu dibahas adalah adanya pengetahuan terhadap kekuasaan . Michel Foucault - filsuf asal Prancis.
Berdasarkan pemikiran Foucauldian, kekuasaan dan pengetahuan memiliki hubungan yang saling memberi arti. Semua yang memiliki kekuatan dapat membentuk pengetahuan - seperti yang dimiliki oleh masyarakat. Sebaliknya juga, pengetahuan dapat memberikan kekuatan pada pemilik pengetahuan.
Mungkin, membuat informasi dan pengetahuan menjadi eksklusif, pemerintah pusat meminta kuasa yang dimilikinya. Hal inilah yang disebut-disebut dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok.

Dalam mengatasi penyebaran Covid-19, Xi dipanggil menggantikan untuk mendapatkan informasi penularan. Pemerintah Tiongkok juga dikabarkan semakin memusaatkan ketakutan dan mengendalikan dalam merespon penyakit ini.

Sinyal politisasi juga terlihat dari kunjungan Xi ke Wuhan, Tiongkok, baru-baru ini. Presiden Negeri Tirai Bambu memutuskan untuk mengirim pesan yang diminta untuk menyelesaikan masalah ini dan ingin menjadikan negaranya sebagai percontohan.

Bila kita berkaca di Tiongkok, jangan minta pemerintah pusat di Indonesia juga ingin minta pemerintah pemerintahan melalui pemusatan dan minta pengetahuan yang layaknya Xi. Namun, Pertanyaan ini juga menyisakan beberapa pertanyaan. Pasalnya, publik dan media Indonesia sendiri semakin ragu dengan kapabiltas pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah tidak melakukan koordinasi yang efektif atas penanganan virus ini.

Belum lagi, dugaan-dugaan kapabilitas dari dunia internasional dapat membuat pemerintah malah mempertimbangkan tidak memiliki pengetahuan atas penyebaran virus Covid-19. Beberapa pihak di Australia misalnya, dipertimbangkan pemerintah Indonesia tidak memiliki peralatan yang cukup untuk mendukung penularan.

Kapan sebenarnya pemerintah menentang mengambil pengetahuan yang melengkapi virus ini, Mengapa pemerintah malah menarik perhatian informasi?
Peningkatan jumlah yang signifikan akhir-akhir ini membuat masyarakat merasa terancam. Perasaan tidak aman yang dirasakan di masyarakat tidak mungkin memengaruhi dinamika politik di Indonesia.

Alvin Johnson hearts tulisannya Yang berjudul Keamanan Ekonomi dan Kerawanan Politik mungkin DAPAT menggambarkan situasi inisial. Dalam tulisan itu, Johnson menjelaskan bahwa setiap manusia pasti menginginkan rasa aman ( keamanan ).

Kecemasan yang diterima masyarakat Indonesia kini bisa jadi berakar dari keberadaan keamanan keamanan dari Covid-19. Pasalnya, berdasarkanbuku milik Barry Buzan, Ole Wver, dan Jaap De Wilde yang berjudul Keamanan , keamanan di zaman sekarang bukan lagi hanya membahas keamanan tradisional seperti militer.

Bisa jadi, tantangan kesehatan yang ditimbulkan oleh Covid-19 turut menghantui negara-negara. Ancaman kesehatan seperti ini digolongkan oleh Buzan dan tim penulisnya ke dalam ancaman sektor Lingkungan .

Lantas, bagaimana tantangan kesehatan bisa memengaruhi dinamika politik?
Buzan dan tim penulisnya mengenalkan sebuah konsep yang disebut sebagai sekuritisasi ( sekuritisasi ) - upaya memunculkan isu keamanan di masyarakat. Konsep ini lebih banyak membahas soal keamanan dalam hubungan internasional.
Namun, Buzan dan timnya tidak memungkiri bahwa sekuritisasi juga bisa memuat politik dalam negeri. Selain itu, konsep ini dapat membahas sintesis antarsektor yang mendukung tulisan itu - militer, lingkungan, ekonomi, sosial , dan politik.

Dari lima sektor tersebut, sekuritisasi yang terjadi terkait Covid-19 di Indonesia mungkin sekuritisasi di sektor politik. Pasalnya, sekuritisasi di sektor ini dapat menjadi jaminan bagi entitas politiknya seperti pemerintah.
Mungkin, komitmen yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah bentuk yang disetujui ( ketidakamanan ) atas ancaman sekuritisasi yang bisa saja dilakukan oleh pemerintah daerah.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang bertanggung jawab atas pemerintahan Jokowi misalnya, memutuskan menjadi salah satu pemerintah daerah yang tanggap dalam penanganan Covid-19. Bukan mungkin upayanya ini menyebabkan sekuritisasi di sektor politik - menyebabkan ancaman untuk pemerintahan Jokowi.

Mungkin, sekuritisasi di sektor politik yang bermula dari ancaman kesehatan Covid-19 ini dapat disetujui pada saat terjadi di Amerika Serikat (AS) sekarang. Partai Demokrat AS akhir-akhir ini mempertimbangkan melakukan politisasi atas virus itu guna menyerang pemerintahan Presiden Donald Trump.
Bila berkaca pada apa yang terjadi di AS, bukan tidak mungkin Hal yang dapat dipikirkan di benak pemerintah pusat. Maka dari itu, pemusatan penanganan dan informasi terkait Covid-19 dapat menjadi jawaban bagi pemerintahan Jokowi.

Namun, penjelasan ini belum tentu benar motif pemerintah pusat untuk mengendalikan agar terkontrol. Hal yang jelas adalah tantangan Covid-19 ini bisa jadi sasaran empuk sebagai sumber sekuritisasi bagi banyak pihak. Mari kita nantikan saja langkah "antisipasi" pemerintah selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun