Kekerasan berbasis gender, merupakan tipe ketidakamanan non – tradisional yang menghantui masyarakat dewasa ini. Kekerasan berbasis gender meliputi perempuan dan laki-laki, yang berakar dari kesenjangan sosial di dalam suatu komunitas.
Terkadang, kekerasan berbasis gender berasal dari ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Kekerasan berbasis gender termasuk ke dalam pelanggaran berat hak asasi manusia yang mengancam manusia. Kekerasan berbasis gender bisa kita temukan dimana-mana termasuk ruang kerja, sekolah, bahkan di rumah sendiri.
Diperkirakan satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan seksual atau fisik dalam hidupnya (the UN Refugee Agency, 2020). Berdasarkan laporan oleh Sweden International Development Cooperation Agency, keadilan dan kesetaraan gender akan teraktualisasi ketika semua perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, kewajiban menentukan arah hidup, dan berkontribusi dalam sosial dan prospek hidup lainnya dengan proporsi yang ‘sama’.
Pada ruang konflik, kekerasan berbasis gender kerap kali dialami oleh masyarakat, seperti yang terjadi di daerah Afrika termasuk Democratic Republic of the Congo, Sudan, dan Burundi (Fund, Women, & Women, 2005).
Isu ini dituangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Declaration on the Elimination of Violence against Women dan the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang diadopsi pada 20 Desember 1993. Deklarasi PBB melalui the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women mengartikan kekerasan berbasis gender sebagai
“setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau kemungkinan besar berdampak pada mental dan seksual, menyakiti perempuan termasuk ancaman; tindakan secara paksa, perampasan hak kebebasan yang terjadi di lingkungan publik maupun pribadi.”
Di Afrika, kemiskinan menjadi penyebab utama diskriminasi berbasis gender, terutama bagi kaum perempuan – mereka kehilangan kesempatan untuk berada dalam lingkungan sosial, akses terhadap sumber daya yang layak, dan kekuasaan perempuan yang terlalu di monitori oleh laki-laki (Fund, Women, & Women, 2005).
Kekerasan berbasis gender kian menjadi perhatian karena hingga hari ini, isu ini terus terjadi. Dalam rangka memerangi kekerasan berbasis gender, maka pihak yang berwenang harus memperbaharui paradigma regulasi dan strategi dengan berfokus pada penyebab kekerasan berbasis gender sebagai key priority.
Faktanya yang sering mengalami kekerasan berbasis gender adalah perempuan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan ini juga kerap dialami oleh laki-laki.
Beberapa dari mereka termasuk rentan mengalami kekerasan berbasis gender, terutama bagi yang hidup dalam lingkungan konflik, sebagai pengungsi dan yang berasal dari kalangan minoritas (Sweden International Development Cooperation Agency, 2015).
Berbagai faktor lain, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan dan kesempatan mata pencaharian, serta impunitas atas kejahatan dan pelecehan, juga cenderung berkontribusi dan memperkuat budaya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Sebagai versi terburuknya, kekerasan berbasis gender bahkan menjadi senjata perang yang dengan sengaja diarahkan dan ditujukan untuk meneror dan melenyapkan komunitas atau kelompok etnis tertentu.
“To achieve gender equality, we need to mobilize not just the parliaments but populations, not only civil society but all of society.” – Phumzile Mlambo-Ngcuka, Executive Director of UN Women
Kita sebagai masyarakat modern, perlu tahu bahwa prioritas dari gender ialah bagaimana cara menganalisa seluruh kesempatan sebagai rekonstruksi peran dan bagaimana cara mengadvokasi hak-hak perempuan begitu pun juga dengan laki-laki dengan meminimalisir ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang selama ini tertanam dalam lingkungan sosial.
Maka dari itu, untuk facing kekerasan berbasis gender, kita perlu merubah stigma negatif dan cara berpikir tentang bagaimana keadilan gender yang sebenarnya, meningkatkan kesadaran bersama melalui edukasi berkelanjutan, melahirkan sebuah campaign sederhana yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sebaik mungkin penggunaan sosial media, pembaharuan akan supremasi hukum yang lebih mengikat termasuk peningkatan perempuan dalam economic empowerment dan kedudukan dalam parlemen.
Bibliography
Fund, U. N., Women, U. N., & Women, O. o. (2005). Combating Gender-Based Violence: A Key to Achieving the MDGs. New York: United Nations Population Fund (UNFPA).
Sweden International Development Cooperation Agency. (2015). Preventing and Responding to Gender-Based Violence: Expressions and Strategies. Stockhom: Sweden International Development Cooperation Agency.
the UN Refugee Agency. (2020, November 5). UNHCR. Retrieved from Gender-Based Violence: https://www.unhcr.org/gender-based-violence.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H