Mohon tunggu...
anandadwisaputra
anandadwisaputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa aktif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesetaraan Gender Dalam PMII: Antara Tradisi, Tanggung Jawab, Dan Perubahan Sosial

12 Desember 2024   12:11 Diperbarui: 12 Desember 2024   12:10 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Erix Arya Prasetya, Nur Lailatul Fatimah, Ananda Dwi Saputra

IAIN Kudus

Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa organisasi merupakan kesatuan atau susunan yang terdiri atas orang-orang dalam perkumpulan untuk mencapai tujuan bersama. Contohnya dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Menurut saya, PMII adalah ladang amal, tempat kita belajar ikhlas, sabar, dan tangguh. Organisasi ini sudah lama dikenal sebagai tempat untuk memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Namun, belakangan ini, isu kesetaraan gender mulai semakin diperhatikan dalam banyak organisasi, termasuk PMII.

 

Kesetaraan gender telah menjadi isu yang diperdebatkan di organisasi berbasis Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Kesetaraan gender sering dipahami sebagai persamaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam organisasi. Banyak pihak mendukung kesetaraan gender sebagai langkah menuju keadilan, gagasan ini perlu dipelajari lebih lanjut dalam konteks nilai-nilai Islam dan struktur tradisional organisasi Islam. Artikel ini akan membahas mengapa kesetaraan gender dalam PMII justru dapat menimbulkan berbagai masalah, baik dalam tataran ideologis maupun praktik. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam derajat di hadapan Allah, tetapi masing-masing memiliki tanggung jawab yang berbeda (Agustin, 2023: 92).

Isu kesetaraan gender di PMII memang masih menjadi tantangan yang perlu diperhatikan. Sebagai organisasi yang terikat dengan Nahdlatul Ulama (NU), PMII memiliki dasar nilai yang menjunjung tradisi Islam. Salah satu prinsipnya adalah mengelompokkan laki-laki dan perempuan menurut kodrat dan tanggung jawab masing-masing. Penerapan kesetaraan gender yang mengatur persamaan peran antara laki-laki dan perempuan berisiko bertentangan dengan prinsip tersebut (Imam, 2023: 197-198). PMII tidak hanya menjadi wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, namun juga menjadi salah satu kekuatan mahasiswa untuk mendorong perubahan sosial. Meskipun demikian, dalam praktiknya, kesetaraan gender di PMII masih menghadapi beberapa hambatan.

 

Salah satu masalah utama adalah rendahnya representasi perempuan di posisi-posisi kepemimpinan. Meski perempuan aktif dalam berbagai kegiatan, mereka sering kali tidak menduduki posisi strategis dalam struktur organisasi. Misalnya, dalam pemilihan pengurus atau pimpinan di tingkat cabang atau wilayah, perempuan cenderung kalah bersaing dengan laki-laki. Ini membuat peran perempuan dalam pengambilan keputusan organisasi menjadi terbatas. Selain itu, tantangan lainnya adalah keterbatasan akses perempuan terhadap proses pengambilan keputusan yang signifikan. Dalam banyak kasus, pandangan dan kontribusi perempuan belum dianggap sebagai prioritas, sehingga ide-ide mereka kurang diakomodasi secara setara. Hal ini bukan hanya menjadi masalah representasi, tetapi juga menyangkut pemberdayaan perempuan di dalam organisasi. Akibatnya, potensi perempuan dalam memberikan inovasi atau solusi untuk isu-isu strategis sering tidak dimaksimalkan, yang pada akhirnya merugikan dinamika dan kemajuan organisasi secara keseluruhan.

Islam mengakui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, belajar, dan beribadah. Namun, Islam juga menetapkan peran yang berbeda untuk keduanya, sesuai dengan fi dan tanggung jawab yang dimilikinya. Dalam QS. An-Nisa: 34, laki-laki disebut sebagai pemimpin keluarga, yang bertugas untuk melindungi, mengarahkan, dan menafkahi keluarganya. Di sisi lain, perempuan diberi peran penting sebagai pendidik generasi, yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter anak-anak sebagai penerus umat. Pembagian ini bukanlah bentuk membedakan, melainkan pengaturan peran yang saling melengkapi demi terciptanya keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat.

 

Dalam konteks organisasi Islam seperti PMII, pembagian peran ini relevan untuk diterapkan dalam aktivitas organisasi, terutama di masyarakat Indonesia yang menjunjung tradisi Islam. PMII dapat mengadaptasi strategi dakwahnya dengan tetap menghormati realitas sosial dan budaya yang mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, tanpa mengabaikan kodrat masing-masing. Peran laki-laki dapat difokuskan pada kepemimpinan dan pengelolaan strategi organisasi, sementara perempuan diberi ruang yang luas untuk mendidik, membangun empati sosial, dan berkontribusi dalam pemberdayaan komunitas. Dengan demikian, pembagian peran ini bukan hanya mencerminkan ajaran Islam, tetapi juga mendukung efektivitas PMII sebagai organisasi yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Perempuan di PMII telah mendapatkan keleluasaan lebih besar untuk berkontribusi dalam organisasi, termasuk dalam memegang posisi strategis. Hal ini menunjukkan bahwa PMII menghargai kemampuan perempuan tanpa mengabaikan nilai-nilai Islam yang menjadi pedomannya. Perempuan dalam organisasi ini tetap dapat menjalankan perannya sebagai pemimpin di ranah publik sekaligus menjaga tanggung jawab khasnya dalam mendidik generasi dan melestarikan nilai-nilai keluarga. Dengan keseimbangan ini, PMII menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi besar dalam mendukung misi organisasi tanpa harus mengorbankan peran yang melekat pada kodratnya (Sulistyowati, 2020: 1-14).

Namun, di sisi lain, para pendukung kesetaraan gender sering kali melihat pembagian peran tradisional sebagai bentuk ketidakadilan. Mereka berpendapat bahwa sistem ini membatasi perempuan untuk berkembang sepenuhnya di berbagai bidang kehidupan. Padahal, dalam pandangan Islam, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan justru merupakan bentuk keadilan. Laki-laki dan perempuan diberi tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan kelebihan yang dimiliki masing-masing, sehingga keduanya dapat saling melengkapi dan menciptakan harmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

 

Pembagian peran ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan salah satu pihak, melainkan untuk memberikan ruang bagi laki-laki dan perempuan menjalankan fungsi terbaiknya sesuai potensi yang dianugerahkan Allah. Dalam konteks PMII, hal ini terlihat dari bagaimana organisasi memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berkontribusi tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Dengan pendekatan ini, PMII mampu menjaga harmoni antara upaya memberdayakan perempuan dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang menjadi pijakan masyarakat (Hendra, 2023: 57-76).

Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional, PMII mampu menciptakan harmoni dalam organisasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah. Pendekatan ini tidak hanya menjaga identitas Islam dalam aktivitas organisasi, tetapi juga menunjukkan relevansi PMII dalam membangun masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai agama dan budaya lokal. Melalui pembagian peran yang sesuai kodrat dan potensi masing-masing, PMII berhasil menciptakan keseimbangan antara modernitas dan tradisi, sehingga memberikan kontribusi yang nyata dalam memperkuat dakwah Islam di berbagai lapisan masyarakat.

Pendekatan yang harmonis ini juga meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap PMII. Ketika organisasi mampu menjaga konsistensi dengan ajaran Islam sekaligus relevan dengan budaya lokal, PMII menjadi contoh organisasi Islam yang tidak hanya berkomitmen pada syariah, tetapi juga adaptif terhadap kebutuhan zaman. Kepercayaan ini menjadi modal penting bagi PMII untuk terus berkembang sebagai organisasi yang mampu mencetak generasi muda yang berkompeten, berakhlak, dan berkontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat.

Isu kesetaraan gender di PMII harus dilihat dalam konteks nilai Islam dan budaya lokal, di mana laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda sesuai fitrah dan tanggung jawab masing-masing. PMII tetap menghargai kontribusi perempuan, memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi aktif tanpa meninggalkan nilai-nilai keluarga. Meskipun ada tantangan, seperti kurangnya representasi perempuan dalam posisi strategis, PMII terus berusaha memberdayakan perempuan dan menciptakan harmoni antara tradisi dan modernitas.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin and Nur Anisa. "Pengaruh Komunikasi Internal Dalam Membangun Budaya Organisasi." Jurnal Komunikasi dan Pembangunan. Vol. 16, No. 1 (2023): 92.

Hendra and Hakim. Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Hukum Islam. The Journal Of Islamic Law and Civil Law. Vol. 4, No. 1 (2023): 57-76.

Imam. "Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial." Jurnal Komunikasi dan Pengembangan. Vol. 3, No. 2 (2023): 197-198.

Mayasari and Asni. Tarik Menarik Faktor-Faktor Sosial Psikologis dalam Terbentuknya Sikap Mahasiswa Terhadap Isu Kesetaraan dan Keadilan Gender. PALASTREN: Jurnal Studi Gender. Vol. 13, No. 2 (2020): 281-302.

Sulistyowati, Y. Kesetaraan Gender Dalam Lingkungan Pendidikan dan Tata Sosial. Ijoungs: Indonesian Journal of Gender Studies. Vol. 1, No. 2 (2020): 1-14.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun