Mohon tunggu...
ANANDA ALFIKRO
ANANDA ALFIKRO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Walisongo Seorang Pengajar, Peneliti, dan Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mama Soegra: Pelopor Genre Tarling, Sebuah Kesalahan dan Akulturasi Kebudayaan

3 Januari 2024   08:00 Diperbarui: 3 Januari 2024   08:04 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto 5. Tarling pada Generasi Ke Tiga

Masyarakat, Musik dan Budaya : Sebuah fundamentalnorm bagi kehidupan

            Manusia memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. dan sebaliknya, Manusia menciptakan budaya. Hampir setiap perilaku manusia adalah budaya. Dalam sosiologi, manusia dan budaya dianggap dualistik. Intinya, keduanya sama, meski berbeda, adalah satu kesatuan. Manusia menciptakan budaya, dan setelah budaya tercipta, budaya menyesuaikan kehidupan manusia dengan budaya. Kita dapat menyebut budaya yang digunakan manusia untuk memecahkan masalah sebagai cara hidup, yang digunakan oleh individu sebagai pedoman perilaku. Dengan perkembangan zaman, budaya bagi manusia juga telah berubah. Dalam pandangan para pemikir modernitas, dunia bukan lagi dunia kognitif, atau yang disebut pusat kebudayaan di dunia sebagai tonggak untuk mewujudkan kesempurnaan sistem nilai kehidupan. Ini berarti bahwa semua budaya berada pada tingkat rendah yang sama, pada tingkat tinggi yang sama, dan hanya ada pusat budaya dan tidak ada pinggiran. Budaya yang sebelumnya dianggap marjinal akan mampu memberikan pengaruh yang sama kuatnya terhadap budaya yang sebelumnya dianggap sentral dalam kehidupan manusia modern. Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak maju dengan berbagai perbaikan, kini berubah pula. Budaya ini tidak lagi sekedar bergerak maju, tetapi melebur dengan budaya lain kiri dan kanan, bahkan kembali ke masa lalu dari budaya itu sendiri.

            Musik merupakan belahan atas aktivitas masyarakat juga tidaklah situasi yang baru. Semua rakyat menginginkan instrument juga non musik tidak akan hadir dalam rakyat atau adat-budaya. Aktivitas manusia tetap tidak lepas dari lagu. Mendengarkan lagu bukan saja bersifat pribadi sebab memengaruhi orang dan menyentuh segalanya: nafsu, emotional, kepribadian manusia, education, juga fantasi. Lagu  tampil bagaikan lantunan yang mampu diaplikasikan guna mengkomunikasikan, memuaskan, juga mengenali karakteristik adat-budaya tertentu. Diluar bagian instrumen, ketukan, harmonisasi juga lirik merupakan poin keselarasan dari lagu. Padahal, syairnya mampu membawa situasi hati penikmatnya. Melalui upaya ini, penyair bisa bercengkrama dengan pendengar karena liriknya. Maksud dalam perlagu memang intens berbeda. Lagu telah mencocokan dengan keinginan penduduk pada mekanisme pernyebarannya dan memilah lagu sebagai budaya lainnya fungsinya magnet daya pikat sendiri juga mengusung gradasi berbeda guna kemajuan budaya musik Indonesia.

            

Mama Soegra :Berawal Sebuah Gitar Belanda dengan Senar Berlenting

            Nama Mama Soegra mungkin terkenal asing bagi beberapa Masyarakat di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Dimana Mama Soegra tidak seterkenal beberapa Seniman lagu Tarling di Indramayu seperti Abdul Adjib, Dariyah, Ipang Supendi ataupun sang legenda tarling Yoyo Suwaryo. Figur Soegra terkenal oleh sebagian Masyarakat dengan sosok pria dengan suara khasnya menyanyikan lagu lagu daerah yang ketika manggung hanya beralaskan tikar pada pekarangan rumah warga, didampingi Damar umpleng ( sejenis lampu tempel / petromaks ) suara Mama Soegra melantunkan bait demi bait sebuah syair yang mempunyai makna Trasedental, Religius dan Harapan misalnya, lagu tarling Penganten baru.

Pada saat itu seni musik ( tembang ) sedang gencar-gencarnya diminati Masyarakat yang menjadi hiburan kala sedang bosan, sumpek dan tengah mencari nafkah seperti, pada saat Ngobong Bata ( proses membakar batu bata ), Puputan Umah ( Peresmian rumah ), Kebo Lairan ( Kerbau melahirkan ), Memitu ( prosesi 7 bulan kandungan ) maupun Kawinan ( upacara Pernikahan ).

             Semua berawal ketika Belanda tiba di rumah ayah Mama Soegra, Mama Talam, di Desa Kepandean (sekarang Kelurahan Kepandean), Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. "Wong bule" meminta Mama Talam untuk "memperbaiki" gitarnya yang rusak. Mama Talam selama ini dikenal sebagai orang yang menguasai laras gamelan  atau bunyi  nada. Siapa sangka pertemuan ini akan menjadi fenomena. Orang Belanda itu tidak mengambil gitar yang dibersihkan selama berhari-hari. Mama Soegra dan ayahnya sering bermain gitar dengan senarnya. Tentu saja, bagian mereka selaras dengan Gamelan. Sesuaikan dengan suara gamelan. Suara Gamelan ternyata bisa diubah menjadi suara gitar. Ada migrasi sonik dari gamelan ke gitar. Seperti merangkum berbagai instrumen gamelan menjadi satu instrumen, yakni gitar. Mama Soegra akhirnya mahir bermain gitar, alunan instrumental itu kini mengiringi lagu-lagu klasik bernada tradisional seperti, Cirebonan, Renggong, Dermayonan.

           Pada kisaran dekade itu banyak masyarakat baik orang dewasa maupun anak-anak sangat antusias juga kesengsem ( takjub ) akan petikan gitar yang padu padan dengan petikan Mama Soegra yang berlaras klasik. Bahkan pada masa itu Mama Soegra mencocokan dengan menambahi dengan alunan suling bambu. Dalam beberapa cerita, dahulu pada tahun 1935 an beberapa teman dari Mama Soegra berinisiatif menambahkan beberapa unsur tetabuhan untuk mengiringi instrumental dari gitar belanda dengan suling misalnya, dipadu padankan dengan kotak sabun yang dialihfungsikan sebagai kendang, kendi kecil yang digunakan sebagai gong, ditambahkan baskom ( mangkuk besar ) dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai pelenngkap alat musik perkusi.

           Pada awalnya pertunjukan Mama Soegra dan kawan-kawannya tidak dikenal oleh masyarakat bahkan, menganggap Mama Soegra dan rekannya hanya sebuah pertunjukan hiburan belaka. Berawal menggunakan nama panggung " Seni Melodi" yang hanya bertahan tidak sampai satu tahun, kesenian Mama Soegra dan teman-temannya beralih nama menjadi " Tarling " yang dideskripsikan dengan penggunaan dua alat musik yang menjadi peran utama dalam pertunjukan itu yakni Gitar dan Suling. Namun, ada beberapa sumber yang mengaitkan bahwa " Tarling" merupakan sebuah majas yang berasal dari kalimat " Yen Wis Mlatar Kudu Eling " yang dibahasa Indonesiakan ialah Ketika sudah berbuat yang berdampak negatif maka, jangan lupa untuk bertaubat pada Tuhan Yang Maha Esa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun