Suatu hari, secara tak sengaja saya memerhatikan kalendar tahun 2019 di meja kerja saya. Sudah hampir tiga bulan terlewati, nampaknya perdebatan publik mengenai dialihkannya sebagian rute Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung, ke Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Majalengka---atau yang dalam tulisan ini saya singkat menjadi Bandara Kertajati---belum kunjung usai.Â
Masih hangat di ingatan kita ketika pada awal Juli 2019 lalu, berbagai platform sosial media dibombardir oleh pro dan kontra masyarakat terhadap kebijakan yang ditelurkan oleh Kementerian Perhubungan tersebut. Namun, kebijakan adalah kebijakan, produk yang sudah barang tentu harus diterima oleh masyarakat meski menyisakan pro dan kontra di baliknya.
Drama perang suara di sosial media antara warga Bandung yang mayoritas enggan memilih Bandara Kertajati sebagai bandara yang memfasilitasi transportasi udara mereka, dengan sebagian warga Jawa Barat yang sepenuhnya mendukung, pada mulanya terasa panas.Â
Namun memasuki bulan September ini, suasana ketegangan warga yang kontra terhadap kebijakan tersebut sudah mulai mencair, meski perdebatan antarwarga Bandung untuk memilih keberangkatan dari Bandara Soekarno-Hatta (CGK), Bandara Halim Perdanakusuma (HLP), atau Bandara Kertajati (KJT) masih hangat di permukaan. Nanti akan saya ceritakan mengapa ketiga opsi tersebut menjadi pilihan yang dilematis bagi masyarakat.
Sebelum masuk ke analisis, saya mengajak flashback sedikit, khusus bagi Anda yang belum terinformasi mengenai kronologis dialihkannya sebagian rute penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara ke Bandara Kertajati.Â
Kementerian Perhubungan melalui surat tanggal 13 Juni 2019 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero), Direktur Utama PT Bandarudara Internasional Jawa Barat, Para Direktur Utama Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal, Direktur Utama Perum LPPNPI.
Dan Ketua IASM, lebih memilih diksi 'Penataan Rute' daripada 'Pemindahan Rute', agar dipandang tidak menyudutkan maupun menguntungkan salah satu pihak. Judul lengkap suratnya adalah 'Penataan Rute Penerbangan Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara -- Bandung (BDO) dan Bandar Udara Internasional Kertajati -- Majalengka (KJT)'.
Isi dari surat tersebut adalah, bahwa per tanggal 15 Juni 2019, Bandara Husein Sastranegara melayani penerbangan pesawat jenis propeller atau yang lebih familiar di masyarakat salah satunya adalah pesawat ATR 72.
Itu merupakan psawat kecil yang memiliki kapasitas penumpang tidak terlalu banyak dengan rata-rata berkisar 78 orang. Sementara, Bandara Kertajati melayani penerbangan pesawat jenis jet, pesawat berkapasitas besar yang saat ini banyak digunakan oleh maskapai, seperti jenis Boeing dan Airbus.
Mengiringi kebijakan tersebut, disepakati oleh seluruh pihak bahwa penerbangan yang dilayani oleh pesawat jenis propeller di Bandara Husein Sastranegara adalah penerbangan dari Jawa Barat ke berbagai rute di dalam pulau Jawa dan ke Lampung.Â
Sementara, penerbangan yang dilayani oleh pesawat jenis jet di Bandara Kertajati adalah penerbangan dari Jawa Barat ke berbagai rute di luar pulau Jawa (kecuali Lampung), seperti Medan, Pekanbaru, Padang, Palembang, Batam, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Bali, Lombok, Makassar. Serta tambahan satu rute spesial dalam pulau Jawa, yaitu Surabaya.
Selain melayani penerbangan domestik, Bandara Husein Sastranegara pun melayani penerbangan internasional yang saat ini masih belum dapat dilayani di Bandara Kertajati, seperti ke Kuala Lumpur dan Singapura.
Mempertimbangkan prosesnya yang cukup panjang, yang mulanya pengalihan rute tersebut direncanakan terlaksana pada tanggal 15 Juni 2019, pada akhirnya kebijakan tersebut secara operasional diimplementasikan di kedua bandara pada tanggal 30 Juni 2019.Â
Saya ingat betul hari itu adalah hari Minggu, di mana saya tidak pulang ke rumah saya di Bandung dan menetap di tempat kost saya di Kertajati, demi mempersiapkan salah satu peristiwa bersejarah bagi Bandara Kertajati, yakni menyambut tamu baru yang barangkali banyak di antara mereka yang pada hari itu baru pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Bandara Kertajati.Â
Selain itu pun, saya diperintahkan oleh atasan untuk stand by terhadap segala kemungkinan yang terjadi di bandara kami pada hari itu.
Hari demi hari terus bergulir, betapa bahagianya saya karena tidak sulit bagi saya untuk menemukan beberapa gelintir 'bule' atau turis asing di berbagai sudut Bandara Kertajati pada saat itu. Dari mulai bule Australia, bule Eropa, bule Korea, sampai bule Timur Tengah, mudah sekali menemukannya di bandara kami.Â
Bangga sekali rasanya, lantaran sangat jarang pemandangan ini terjadi sebelumnya di Bandara Kertajati. Terima kasih kepada Lion Air dan AirAsia yang melayani rute Kertajati---Denpasar dan Denpasar---Kertajati, yang berhasil membawa para turis asing untuk setidaknya mengenal bandara kami. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua manis semanis gula.
Ketika saya mengajak komunikasi beberapa turis asing tersebut, tak sedikit dari mereka yang mengaku kecewa karena bandara ini letaknya sangat jauh dari tujuan wisata mereka, yakni Kota Bandung.Â
Rasa kecewa penumpang terhadap jauhnya jarak antara Bandara Kertajati dengan Kota Bandung pada dasarnya didorong oleh 2 faktor: minimnya informasi yang diterima penumpang terhadap moda transportasi yang digunakan untuk menuju Bandung dan harga moda transportasi yang dianggap masih terlalu mahal---apalagi untuk hitungan rombongan turis keluarga.Â
Kalau dibandingkan dengan mendarat ke Bandara Husein Sastranegara, mereka tidak perlu mengeluarkan ongkos ekstra untuk moda transportasi. Sementara itu, satu hal yang dapat kita sepakati bersama hingga saat ini adalah: Bandung tetap menjadi daya tarik terkuat di Jawa Barat bagi turis asing.
Kita tidak akan berbicara perihal mengapa Bandara Kertajati letaknya terlalu jauh dari Kota Bandung. Atau mengapa Bandara Kertajati dibangun di Majalengka, bukan di Kota Bandung ataupun di dekat Kota Bandung.Â
Untuk membahas itu, saya perlu satu artikel khusus. Saat ini fokus kita adalah mencari tahu siapakah pasar Bandara Kertajati yang sesungguhnya.Â
Apakah para penumpang yang mayoritas berasal dari Bandung---termasuk para turis bule tadi---ataukah sebetulnya masyarakat di sekitar Bandara Kertajati, yakni masyarakat Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan) atau Susutegbres (Subang, Sumedang, Tegal, Brebes)? Mari kita analisis bersama.
Bagi Bandara Kertajati, dialihkannya rute penerbangan ke Luar Pulau Jawa dari Bandara Husein Sastranegara ke Bandara Kertajati adalah sesuatu yang patut disyukuri.Â
Meskipun bersifat given oleh regulator, namun kehadiran kedua belas rute penerbangan ini tidak serta merta membuat kami duduk santai dan berkipas-kipas.Â
Dari segi komersial, kami harus mempertahankan angka load factor habis-habisan, dan bahkan harus meningkatkannya. Kami harus memutar otak bagaimana caranya agar kami terus melakukan inovasi-inovasi pemasaran di tengah berbagai keterbatasan, baik inovasi dalam bentuk marketing sales maupun marketing communication (marcomm).
Berangkat dari pengalaman saya yang bertemu turis asing dengan minimnya informasi mengenai Bandara Kertajati dan moda transportasinya, manajemen Bandara Kertajati mendorong untuk dilaksanakannya kegiatan marcomm di Car Free Day di dua titik, yakni Cirebon dan Bandung.Â
Diselenggarakan selama empat pekan di bulan Juli dan Agustus, tim marketing kami menemukan satu hal yang menarik. Di Car Free Day Stadion Bima Cirebon, tidak banyak warga yang antusias terhadap rombongan PT BIJB yang 'berhalo-halo' mengumumkan Bandara Kertajati yang sudah melayani 11 rute penerbangan ke luar pulau Jawa dan 1 rute ke Surabaya.Â
Kepada tim marketing kami yang menawarkan selembar flyer pun, tak sedikit yang menolak. Sangat sedikit warga yang tertarik untuk bertanya-tanya seputar Bandara Kertajati. Padahal secara geografis, Bandara Kertajati hanya ditempuh selama 45 menit dari Cirebon.
Hal yang kontras terjadi di Car Free Day Dago, Bandung. Selama tim Marketing PT BIJB melakukan kegiatan marcomm di sana, hampir 95% masyarakat menerima flyer yang kami sebarkan.Â
Antusiasme warga pun tidak diragukan lagi. Banyak pertanyaan maupun pernyataan terlontar dari warga yang melintas di depan booth kami. Kalau boleh di-ranking, Top 5 pertanyaan dan pernyataan warga Car Free Day Bandung terhadap Bandara Kertajati antara lain sebagai berikut:
- "Katanya ada program DAMRI gratis ke Bandara Kertajati. Gimana cara naiknya?"
- "Bandaranya jauh banget dari Bandung, ya. Saya sih lebih pilih ke Halim atau Cengkareng daripada ke Kertajati."
- "Transportasinya dari Bandung ada apa aja ya?"
- Â "Kira-kira mesti spare waktu berapa jam dari Bandung supaya saya gak terlambat terbang?"
- "Rute internasionalnya kapan adanya ya?"
Berbekal pengalaman kami beraksi di Car Free Day tadi, setidaknya saya dapat mengambil dua kesimpulan. Pertama, warga Bandung lebih antusias daripada warga Cirebon dalam mencari informasi Bandara Kertajati. Kedua, sekesal-kesalnya warga Bandung berbicara di sosial media karena harus jauh-jauh ke Bandara Kertajati kalau hendak terbang ke luar pulau Jawa, pada kenyataannya mereka kepo juga terhadap informasi Bandara Kertajati.
Di awal tadi, saya sempat menyinggung perihal warga Bandung yang dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan jasa transportasi udara dari tiga bandara opsi: Bandara Kertajati, Bandara Soekarno-Hatta, dan Bandara Halim Perdanakusuma.Â
Berdasarkan pengalaman tim Marketing PT BIJB di Car Free Day Dago, Bandung, ada beberapa warga yang mengungkapkan pilihannya untuk tidak terbang dari KJT dan lebih memilih ke CGK atau HLP.Â
Alasannya macam-macam, ada yang mengaku tidak tahu mengenai transportasi ke KJT, ada yang menyinggung pilihan jadwal penerbangan lebih banyak di CGK ataupun HLP, dan ada pula yang berpendapat bahwa Bandara Kertajati berlokasi di antah berantah dan terbayangkan sangat jauh.
Sekalipun pendapat para warga tersebut mewakili sebagian dari warga Bandung yang barangkali berpendapat sama, ternyata fakta internal Bandara Kertajati berbicara bahwa warga Bandung tidak serta merta meninggalkan Bandara Kertajati begitu saja.Â
HYal ini dibuktikan dengan data layanan antarmoda Bandara Kertajati yang menunjukkan bahwa pengguna layanan shuttle dengan rute Bandara Kertajati---Bandung per Agustus 2019 masih menduduki peringkat ke-1 dibandingkan rute menuju 7 kota lainnya di Jawa Barat, yakni sebesar 5.016 penumpang dari total 7.644 pengguna layanan shuttle.Â
Sementara, data pengguna layanan DAMRI gratis dengan rute Bandara Kertajati---Bandung mengungguli rute-rute lainnya, yakni di angka 15.606 penumpang.Â
Angka tersebut menjadikan rute DAMRI gratis Bandara Kertajati---Bandung menduduki peringkat pertama dibandingkan rute ke Cirebon, Cimahi, Indramayu, Tegal, Karawang, dan Kuningan, dari total seluruh pengguna layanan DAMRI gratis sebanyak 18.157 orang. (1)
Meskipun data internal tersebut memiliki margin of error yang cukup tinggi, namun setidaknya angka tersebut sudah mewakili aktivitas transportasi udara warga Bandung dari dan ke Bandara Kertajati yang lebih tinggi dibandingkan warga kota dan kabupaten lainnya di Jawa Barat.Â
Lantas, pasar mana sajakah yang dibidik oleh Bandara Kertajati pada awal perencanaannya? Apakah sesuai dengan realita di lapangan hingga saat ini?Â
Jawabannya akan saya bahas di tulisan saya selanjutnya, Siapa Pasar Penumpang Bandara Kertajati yang Sesungguhnya? (Bagian 2) yang akan tayang di pekan depan. Terima kasih sudah setia membaca :)
Sitasi:
(1) Data Internal Layanan Antarmoda Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Agustus 2019
(Catatan: tulisan ini ditulis berdasarkan analisis dan pengalaman pribadi penulis sebagai profesional di lingkungan Bandar Udara Internasional Jawa Barat Kertajati)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H