Mohon tunggu...
Ana Mustamin
Ana Mustamin Mohon Tunggu... -

ibunda #sakti. wira-wiri antara rumah dan kantor. menulis di sela-sela kesibukan. menulis untuk berbagi, follow me on twitter @anamustamin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjenguk Padepokan Prabowo Subianto

16 Maret 2013   14:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:40 11237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: Prabowo Subianto/Admin (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

KAMIS 14 Maret kemarin, saya berkesempatan melongok kediaman Prabowo Subianto, mantan menantu Presiden Soeharto dan calon presiden RI untuk periode 2014-2019. Kesempatan itu datang atas ajakan Perhumas (Perhimpunan Humas) Indonesia, melalui kegiatan “Forum Pemimpin dan Pengusaha” bertema “Tantangan Masa Depan Indonesia”.

Meski sejak awal saya mencium aroma kampanye di balik kegiatan ini, saya putuskan untuk hadir. Pertama, tentu untuk kepentingan networking. Saya pasti ‘reuni’ dengan sesama mantan pengurus Badan Pengurus Pusat (BPP) Perhumas. Kedua, harus diakui, apapun yang pernah berhubungan dengan sosok Presiden Soeharto, apalagi di lingkar dalam keluarga besar, tetap merupakan magnet yang memicu rasa ingin tahu. Terlepas dari saya suka atau tidak suka jika Prabowo menjadi calon presiden Indonesia nantinya.

Rumah mantan Danjen Kopassus yang saya maksud itu terletak di Bukit Hambalang, Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor. Untuk bisa mencapai tempat itu, selepas pintu tol Jagorawi keluar Sentul City, Anda harus menempuh jalan berkelok. Pemandangan di kiri-kanan jalan hanya kehijauan, mengingatkan saya pada lagu anak-anak “naik-naik ke puncak gunung”… serasa piknik aja rasanya! Oya, sekadar info, saya tidak membawa mobil pribadi ke sini. Mobil diparkir di sebuah areal pompa bensin yang sudah tidak terpakai di kawasan Sentul City. Lalu dari situ, panitia sudah menyiapkan bis.

Mendekati kediaman Prabowo, panitia membaca pengumuman yang membuat saya senyum kecut. Tamu tidak diperkenankan membawa peralatan elektronik masuk ke kediaman Prabowo! Tidak handphone, iPad, apalagi kamera. Di pintu masuk penjagaan yang dilengkapi metal detector, saya lebih surprise lagi. Tas jinjing saya pun tidak diperkenankan dibawa masuk. Praktis saya hanya boleh membawa kartu pengenal dan undangan. Benar-benar mati gaya deh! Saya pernah masuk ke Istana Presiden yang di Medan Merdeka Barat. Saya juga pernah masuk ke Istana Bogor. Tapi saya boleh membawa handphone!

Meski nggerundel dalam hati, saya menghibur diri. Kedua istana yang saya sebut di atas itu istana rakyat. Wajar aja kalau saya boleh masuk membawa hp, kamera, dan tas. Lha, yang ini? Ini istana pribadi, neng!

Acara yang dirancang oleh organisasi yang menyebut dirinya Indonesia-Asia Institute molor hampir satu jam. Celaka dua belas. Saya banyak janji. Anak saya di rumah sedang sakit. Tapi saya tidak bisa menghubungi mereka. Dan tidak bisa keluar dari tempat ini kecuali nekad jalan kaki hingga ke Sentul City.

Sambil menunggu, saya sempat keluar pendopo. Alasan utama sih ke restroom. Tapi sebetulnya sambil mata jelalatan. Rumah yang oleh Prabowo disebut padepokan ini konon berdiri di atas areal seluas 5 hektar. Dibuat berteras, mengikuti kontur perbukitan. Saya tidak tahu persis ada berapa buah bangunan di situ. Tapi bentuknya jelas mengadopsi arsitektur Jawa. Didominasi kayu dan batu merah. Lalu, di luar, dari jendela mobil tadi, mata saya menangkap sebuah helipad - sekaligus menjawab rasa penasaran saya: apa Prabowo gak pegal bolak-balik ke sini? Padepokan ini juga dilengkapi istal – sang jenderal sangat hobi berkuda rupanya, dan (konon) juga kolam renang – karena saya gak sempat melihat letaknya di mana. Di halaman, rumput tertata dengan asri, dilengkapi jajaran pepohonan pinus.

Saat menyampaikan orasi, Prabowo berkisah mengapa ia membangun padepokan di atas bukit. Menurutnya, meski ia berdarah campuran Sulawesi dan Jawa, dia dibesarkan dengan tradisi dan pemikiran Jawa. Di Jawa, jika seorang kesatria sudah tidak dibutuhkan atau digunakan oleh rakyat, maka ia harus naik gunung, lengser keprabon madhep pandhito – bersemedi atau bertapa mencari kesempurnaan hidup, untuk kemudian turun gunung lagi pada saatnya nanti.

Di padepokan itu, Prabowo yang hobi beladiri melakukan sejumlah kegiatan, melatih pemuda olahraga pencak silat, berkuda (ssttt…konon ia punya ratusan kuda Lusiano – kuda asal Eropah yang mahalnya minta ampun), bertani, dan memelihara berbagai ternak.

Sampai di sini, saya hanya bisa jadi pendongeng. Karena sekali lagi, saya gak punya bukti foto-foto (nyesekkk lho rasanya, karena di tas saya ada kamera dan iPad). Pidato Prabowo gak terlalu istimewa buat saya. Pidato yang sudah sering saya dengar dari mereka yang berkeinginan memimpin negeri ini. Kunjungan ke kediaman Prabowo diakhiri dengan foto bersama. Saya bersalaman dengan orang yang pernah memiliki ‘kekuasaan sangat besar’ di mata saya yang pernah jadi aktivis di kampus. Prabowo tersenyum, senyum ala kadarnya. Seusai itu, saya teringat tas saya yang dititip ke penjaga, dan kemudian hanya bisa membatin, “katanya mau dekat dengan wong cilik…”!***

Catatan kaki:

Berdasarkan tanggapan dan informasi Partai Gerindra di kolom komentar, Prabowo Subianto memiliki kuda jenis Lusiano kurang dari 10 ekor, yang digunakan untuk latihan para atlet berkuda Indonesia. Dengan demikian, kata 'konon' dalam tulisan di atas sudah mendapatkan kejelasan. Terima kasih, Gerindra. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun