Mohon tunggu...
Ana Mustamin
Ana Mustamin Mohon Tunggu... -

ibunda #sakti. wira-wiri antara rumah dan kantor. menulis di sela-sela kesibukan. menulis untuk berbagi, follow me on twitter @anamustamin.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kado Ulang Tahun buat Ibu

28 Mei 2012   05:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“WAKTU melahirkan saya, susah gak sih, Mie?” itu pertanyaan favorit yang sering saya lontarkan ke ibu saat leyeh-leyeh di masa kecil dulu. Ibu, yang saya sapa Mamie itu, biasanya lantas bercerita antusias tentang proses kelahiran saya. Tentu, komplet dengan kisah proses persalinan kakak dan adik saya. Dibandingkan saudara saya yang lain, kabarnya, kelahiran saya yang termudah. Dua kakak saya semua lahir di rumah sakit – di bawah pengawasan dokter kebidanan. Saya sendiri lahir di rumah. Dengan proses yang begitu cepat, tanpa bantuan paramedis, dan tanpa membuat ibu saya menanggung rasa sakit yang luar biasa – sebagaimana laiknya proses persalinan. Saya lahir saat matahari masih sepenggalah, jam 09.00 pagi. Saat itu, seperti dikisahkan ibu saya, belum ada tanda-tanda kalau saya sudah akan nongol ke dunia. Karena itu belum cukup alasan untuk menghubungi dokter atau bidan. Ibu hanya merasa perutnya mulas-mulas dikit. Lalu, salah seorang kerabat yang masih terhitung nenek saya, meminta ibu berbaring saja di ranjang. Ibu lalu diberi minum air putih. Tapi hanya selang beberapa menit kemudian, perut Ibu langsung bergolak. “Papie baru dalam perjalanan mau menghubungi bidan, saat kamu lahir,” kisah ibu. Kendati demikian, proses persalinan yang mudah itu sempat membuat ibu dicengkam kekhawatiran amat sangat. Pasalnya, saya nongol ke dunia tanpa disertai tangis kencang – sebagaimana bayi umumnya. Tangis saya yang terbekap, ternyata karena lilitan tali plasenta. Begitu dilepas, seketika tangis nyaring membelah pagi. Tentu, tidak semua ibu memiliki pengalaman persalinan semudah kisah di atas. Saya sendiri, saat melahirkan Sakti, memiliki cerita berbeda. Saya mulai diserang mulas perut selewat paruh malam, dan mulai mengeluarkan bercak darah saat jam masih menunjukkan pukul 04.00 dinihari. Kata orang-orang, itu gejala bukaan satu. Karena itu, ibu menyarankan untuk segera ke rumah sakit. Sepanjang hari, bukaan pintu rahim tidak menunjukkan perkembangan. Sehingga bidan memutuskan (ah, mungkin hasil konsultasi dengan dokter) melakukan injeksi. Sakitnya? Jangan ditanya. Tak terperi. Lewat tengah hari, saya kemudian didera keinginan untuk selalu buang air kecil. Belakangan, setelah kondisi saya mulai melemah dan perut agak mengempis, baru disadari: bukan air mani yang keluar dari tubuh saya, tapi air ketuban! Bidan yang menunggui saya kemudian menghubungi dokter, dan melalui telepon dokter meminta ijin ke suami saya untuk melakukan tindakan operasi - saat itu jarum jam menunjukkan pukul 19.00. Enampuluh menit berikutnya, tangis Sakti pecah. Jagoan mungil yang saya namai Jagad Shasika Pradnasakti itu untuk pertama kali menghirup udara di luar dinding rahim. Pada setiap 4 Juli, ulang tahun saya, saya mengingat ibu selalu menciumi dan memeluk saya erat-erat. Dengan suara bergetar, beliau melafazkan doa: semoga saya panjang umur. Entah sejak kapan, jauh di dasar hati, saat berulang tahun saya justru selalu mengirim habluran doa untuk ibu saya, agar beliau senantiasa sehat. Saya meyakini, ulang tahun sebetulnya adalah momen yang juga penting bagi setiap ibu: saat-saat mengenang perjuangan mereka di meja persalinan. Kegembiraan ibu ketika menyadari pertambahan usia pada putra-putrinya sangat berkorelasi dengan rasa syukur ketika menyadari bahwa perjuangannya di antara hidup dan mati tidak sia-sia. Saat ini – setelah menjadi ibu, saya semakin yakin tidak ada persalinan yang benar-benar mudah – sebagaimana cerita ibu ke saya di masa bocah, apalagi melahirkan tanpa rasa sakit! Setiap ibu meregang nyawa saat mengeluarkan janin dari rahimnya. Ulang tahun, momen yang sering dimanfaatkan untuk menyampaikan rasa syukur dan introspeksi. Tidak jarang, rasa syukur itu disampaikan dengan cara berlebihan. Saya rasa, semua sah-sah saja. Karena tidak semua orang diberi kesempatan untuk menyesap kenikmatan dunia dalam waktu relatif panjang. Hanya saja, mungkin sebaiknya juga kita menyadari, bahwa ulang tahun bukan monopoli kita semata – si pemilik jarig. Momen ini terutama milik ibu kita – sebuah momen yang sangat tepat untuk mengenang jasa ibu, perjuangannya. Dengan cara ini, kita punya alasan untuk menjaga kualitas hidup kita – agar bayi yang dilahirkan dan dibesarkannya dengan kasih-sayang tidak menjadi sampah peradaban. Saya rasa, ini kado terindah bagi ibu. Oya, sampai tahun lalu, dunia medis mencatat angka kematian ibu saat melahirkan mencapai kisaran 228 per 100.000 jiwa. Angka yang mengenaskan jika dibandingkan dengan negara lain. Kalau saja… ya, kalau saja dana kita bergembira untuk merayakan ulang tahun, dapat sedikit kita sisihkan untuk ibu-ibu hamil bergizi buruk, barangkali angka itu bisa kita tekan. Tapi, ini ‘kan hanya pengandaian saya aja. Mungkin Anda punya gagasan yang lebih baik…***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun