Rumah tersebut adalah warisan dari ayah Abah dan merupakan tempat di mana Abah menghabiskan masa kecilnya. Dalam persidangan, ternyata Abah kalah dan keluarga mereka terancam hidup dalam kemiskinan di desa tersebut untuk selamanya. Abah kemudian menjadi driver ojek online yang berpenghasilan tidak tetap.Â
Sehingga, Euis (Adhisty Zara) anak pertama dari keluarga ini menjadi sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, sedangkan Ara (Widuri Putri Sasono) masih belum paham arti bankrut yang dialami keluarganya. Keluarga ini pun memiliki tekad untuk pindah kembali ke Jakarta karena tidak mampu beradaptasi dengan menjual tanah rumah warisan keluarga.Â
Akan tetapi, pada akhirnya mereka mengurungkan keinginan tersebut dan menyadari di rumah inilah mereka semakin memahami tentang kasih sayang. Mereka harus bersatu dan mengatasi semua rintangan yang datang, sambil belajar menghargai nilai-nilai kekeluargaan dan melawan kesulitan dengan kekuatan persatuan. Cerita ini bertambah lebih menarik dengan lahirnya anak ketiga yang menambah kebahagiaan dalam keluarga tersebut.
Analisis
Film Keluarga Cemara mempunyai alur yang menarik dan mendalam karena menghadirkan pesan-pesan berarti sepanjang ceritanya. Film ini mengingatkan kita akan pentingnya keluarga dalam kehidupan. Terlepas dari situasi sulit atau bahagia, keluarga tetap menjadi tempat pulang. Dengan penyajian cerita yang sederhana namun realistis, film ini mampu merangkul kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Film ini berhubungan erat dengan kehangatan dan melibatkan banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat kita ambil.
Evaluasi
Sayangnya, di tengah kehangatan emosional dan nostalgia yang dihadirkan dalam setiap adegan, film Keluarga Cemara juga mempunyai beberapa kekurangan yang mengurangi kenyamanan dalam menontonnya. Beberapa adegan terasa tidak memiliki arah yang jelas, seperti kemunculan tiba-tiba sosok debt collector.Â
Selain itu, kehadiran penyedia layanan transportasi daring juga dianggap mengganggu karena sering muncul dan terkesan sebagai bentuk promosi yang berlebihan. Beberapa adegan juga masih terasa seperti adegan dalam sinetron televisi, misalnya saat Abah mengalami kecelakaan, di mana penonton diberi petunjuk yang terlalu jelas melalui gerakan kamera dan dialog, seperti dalam adegan sinetron. Bahkan pada akhir film, terdapat upaya untuk menambahkan sedikit kesedihan yang terasa dipaksakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H