Di Mina tak kalah menarik dan menguji kesabaran. Tenda yang tersedia untuk 1 kloter, 350-an jemaah dan petugas, ternyata tidak muat. Meski tempat tidur berupa bed sudah cukup meski harus tersusun berdempetan antara jemaah laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya tidak bisa digunakan untuk beristirahat karena memang tendanya tidak muat. Pada kondisi ini saya bersama beberapa teman yang lain berinisiatif bermalam di luar tenda. Pada malam hari tidak ada masalah dengan cuaca, bagaimana dengan siang hari pada kondisi cuaca 43 derajat Celcius lebih. Bagaimana untuk menghindar dari sengatan matahari yang tidak biasa dirasakan saat ditanah air. Di rumah biasa hidup di cuaca 34-37 derajat Celcius. Di Mina saat itu rata-rata 43 derajat. Jam 8 pagi sudah terasa seperti terik matahari siang hari di tanah air.
Pada kondisi seperti ini kami harus mencari tempat berteduh, nebeng di tenda sebentar, keluar lagi cari tempat lain. Bisa dibayangkan di sana tidak ada pohon peneduh. Selain panas matahari juga angin yang berhembus laksana oven. Tapi semua bisa terlewati dengan izin dan ridha Allah sang pemanggil jemaah haji untuk datang memenuhi panggilan-Nya.
Tibalah saatnya lempar jumrah atau jamarat. Para jemaah harus melempar jamarat ula, wustha dan aqabah. Perjalanan menuju tempat jamarat ini ditempuh jalan kaki sejauh kurang lebih 8 km pulang pergi alhamdulillah dapat terlaksana dengan baik.
Pada fase ini seolah selesai sudah ritual haji. Perasaan bahagia yang tak terlukiskan karena perjalanan ibadah yang luar biasa butuh fisik dan ketahanan yang sangat prima. Sungguh tanpa pertolongan Allah, secara fisik tentu tidak akan mampu dan sekuat ini.
Terima kasih, Tuhan. Kau telah panggil kami ke rumah-Mu sebagai hamba yang terhormat dari keluarga yang sangat sederhana. Tanpa panggilan-Mu siapapun akan mengira kami belumlah layak untuk melaksanakan ibadah haji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H