Akhir Desember 2011 kami melakukan pendaftaran calon jemaah haji ke Kementerian Agama dengan sistem talangan dan mendapatkan kuota haji dengan perkiraan tahun 2020 berangkat ke Tanah Suci.
Sambil menunggu tahun pemberangkatan kami dapat melakukan pembayaran cicilan tiap bulan. Ternyata tidak mudah untuk melakukan cicilan rutin tiap bulan selama lima tahun sesuai akad. Ada saja kendala yang kami alami. Dengan penghasilan sebagai guru swasta, tentu menyisihkan dana lebih dari satu juta untuk bayar cicilan tidaklah mudah. Selain kebutuhan membayar biaya 2 anak yang masih sekolah juga untuk keperluan rumah tangga.
Pada tahun 2019 kami menerima berita bahwa nama kami termasuk yang mendapatkan kuota berangkat. Antara bersyukur dan sedih kami rasakan pada saat itu. Betapa tidak, bersyukur karena bertahun-tahun berjuang untuk menunggu dan berupaya melunasi dana talangan, akhirnya sampai juga bakal tercapai cita-cita ke tanah suci. Sedih kami rasakan juga karena untuk pelunasan BIPIH (biaya haji) belum tahu dapat dari mana.
Dalam suasana kalut tersebut akhirnya kami mendapatkan saran dan solusi dari ulama tersebut sangat membuat kami berdua optimis dan siap dengan niat yang kuat untuk berangkat haji.
Dalam masa persiapan haji yang dimulai dengan sosialisasi dan bimbingan jemaah calon haji, bersamaan muncul wabah covid-19. Wabah yang semakin merebak ke seluruh dunia sehingga menjadi pandemi covid-19, makin menghantui para jemaah calon haji, terutama kami berdua. Dengan harap-harap cemas pada akhirnya harus rela dan ikhlas menunda keberangkatan hingga 2 tahun lamanya, tahun 2020 dan 2021.
Pada tahun 2022 saat pandemi covid-19 mulai mereda, tumbuh harapan yang menyala lagi untuk dapat diberangkatkan. Alhasil tahun 2022 ini jemaah calon haji yang diberangkatkan 50% dari kuota.
Pada titik ini kami harus lebih kuat lagi untuk bersabar dan ikhlas, dimana nama kami masuk kuota cadangan. Akan tetapi sampai akhir kloter tetap tidak dapat panggilan, meski semua keperluan pemberangkatan sudah disiapkan 90%. Pada akhirnya takdir Allah berkehendak lain. Kami harus ikhlas tidak berangkat tahun 2022 ini.
Tahun 2023 Masehi atau tahun 1444 hijriah adalah saat yang paling membahagiakan. Betapa tidak, setelah menunggu 10 tahun dan sempat tertunda 2 tahun saat terjadi pandemi covid-19 kami berdua bersama istri mendapat anugerah panggilan Allah swt untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Sebuah nikmat yang luar biasa kami rasakan bisa berangkat ke tanah suci bersama istri tanpa kendala sedikitpun.
Berkat support keluarga dan orang-orang terdekat keberangkatan dengan sangat sukacita dilepas seluruh keluarga dan tetangga dengan isak tangis bahagia, seraya mendoakan agar perjalanan kami selamat, sehat, lancar dan memperoleh haji mabrur.
Kami berangkat dari bandara Adi Sumarmo Solo kloter 86. Jemaah haji gelombang kedua akan tiba di Makkah terlebih dahulu untuk melakukan ibadah Sunah sebelum tiba saat puncak ibadah Haji. Beda dengan pemberangkatan gelombang pertama, calon jemaah haji tiba di Madinah dulu lalu diakhiri di Mekkah sampai selesai ibadah haji lalu pulang ke tanah air.
Saat kami tiba di tanah suci Mekkah tak ada suasana yang bisa menggantikan betapa bahagia dan syakralnya berada di Rumah Allah.
Selama 28 hari berada di Mekkah tak ada kegiatan lain selain menunggu waktu shalat dan ibadah sunah lain. Suasana kebersamaan dan persaudaraan antar jemaah makin kuat.
Ibadah haji adalah ibadah fisik. Rukun haji mulai dari niat ihram, mukim di Arafah, bermalam di Muzdalifah, mabit di Mina dan melontar tiga jamarat, ula, wustho, dan Ulya, semua membutuhkan fisik yang benar-benar fit. Dalam ibadah ini rasa sombong, takabur, iri, dengki, berkata tidak baik harus di buang sejauh-jauhnya. Kita difokuskan untuk pasrah kepada Allah dan ikhlas dengan segala kondisi yang ada. Dari cuaca yang tembus 46 derajat Celcius, sadar akan karakter jemaah yang berbeda, sampai pada kondisi dan keadaan yang tidak dapat diprediksi.
Jemaah haji seluruh dunia yang berada di satu tempat dan dalam waktu yang bersamaan, pada lokasi yang terbatas maka sabar adalah kunci dari semua pelaksanaan ibadah. Di Muzdalifah, misalnya, bermalam yang hanya butuh waktu akhir dan awal hari pada tengah malam kira-kira hanya 1 jam ternyata praktiknya bisa berjam-jam menunggu antre bus yang akan mengangkut ke Mina. Di Muzdalifah ini saya terpisah dengan istri yang dapat bus lebih awal sekitar waktu subuh. Sementara saya bersama jemaah yang lain antre dengan berdiri sejak jam 1 pagi baru mendapat bus hampir jam 7 pagi. Qodarullah baru berjalan beberapa menit bus mogok. Suasana panik dan panas di dalam bus menguji kesabaran semua penumpang. Alhamdulillah selang beberapa menit dapat bus pengganti.
Kami lebih beruntung meski terangkut agak siang, tetapi setelah beberapa saat terdengar kabar dari tanah air bahwa telah terjadi insiden horor di Muzdalifah, di mana banyak jemaah yang pingsan bahkan ada yang meninggal karena menunggu bus hingga siang hari padahal lokasi Muzdalifah tidak tersedia fasilitas tenda dan air minum yang cukup.