[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Illustrasi: google"][/caption]
Pernahkah kita mendapati atau mendengar kata-kata keras menjurus kasar meluncur begitu saja dari mulut anak kita? Padahal tidak ada yang memberikan contoh seperti itu, baik di rumah maupun teman-temannya di sekitar rumah.
Anak-anak paling suka berbicara, tentu saja apapun dibicarakan, dunia anak seolah-olah adalah dunia bicara. Bahkan seandainya seorang anak tidak berbicara maka patut dicurigai barangkali ada sesuatu hal negatif terjadi padanya; gangguan kesehatan, kejiwaan, ataupun suasana hati yang sedang gelisah, sehingga perlu dicari akar masalah mengapa menjadi pendiam.
Berbicara memang menjadi hak siapapun. Bicara dalam kondisi normal, dalam artitidak terus-menerus bicara, ataupun berbicara keras-keras, menjadikan komunikasi berjalan baik dan bermanfaat. Yang bermasalah adalah apabila berbicara tidak dalam taraf kewajaran. Kecenderungan berbicara keras-kerasa meskipun lawan bicara berada di hadapannya, atau terus-terusan berbicara tanpa memperdulikan yang diajak bicara merupakan kebiasaan jelek yang mengganggu dan merugikan dalam berkomunikasi, baik yang menjadi lawan bicaranya maupun orang lain yang mendengarkan.
Kecenderungan banyak bicara, apalagi keras-keras sudah banyak menjangkiti anak-anak kita dan di lingkungan sekitarnya. Lihat saja acara di TV, mana ada MC atau host yang bicaranya lemah lembut dan santun. Apalagi memandu pada acara live di tempat terbuka. Teriakan, ejekan, dan semacamnya menjadi sebuah kewajiban. Kalau toh ada yang bersifat lemah lembut dan santun, paling-paling acara yang tidak banyak peminat atau sepi penonton yang ditayangkan bukan pada prime time. Padahal kita semua tahu televisi sudah menjadi “tuhan” anak-anak kita setiap hari. Dari sinilah anak-anak belajar dan seolah-olah diajari bicara keras-keras.
Anehnya gejala banyak bicara keras-keras ini bukan didominasi anak-anak kita, akan tetapi telah menjadi trend orang-orang terkenal semacam pejabat, anggota DPR, selebriti dan lain-lain. Seakan-akan bicara adalah keharusan yang mutlak untuk mengumbar janji saat kampanye pencalonan, atau menutupi semua kelemahan atau mungkin kesalahan saat sedang bermasalah.
Jika dipahami lebih dalam, semakin banyak orang berbicara, semakin banyak ia mengeluarkan pernyataan yang bersifat pembenaran diri dan semakin tampak bodohlah dia. Pembicaraan semakin lama semakin tidak berkualitas. Jika kita berbicara dan berargumen terlalu banyak, maka sisanya tidaklah cukup berkualitas.
Ada sebuah ungkapan kira-kira bunyinya begini: "the more you talk, the more you expose yourself." Semakin banyak kita bicara, semakin terbukalah diri kita dengan segala kelemahannya. Ada juga yang pernah berkata, "the more you talk, the more stupidity fly out." Ada beberapa orang yang mengaplikasikan ungkapan-ungkapan ini secara terlalu sempit, sehingga mereka menjadi pelit kata, dan hanya bicara ala kadarnya. Sebaliknya ada yang terlalu banyak menghamburkan kata, sehingga dianggap kebanyakan omong kosong.
Berkaitan dengan ini ada baiknya kita mencermati kalimat Mario Teguh, “Jika kita berbicara dan menyebabkan kerugian sebesar sebongkah emas, maka diam adalah emas. Diam yang bernilai emas adalah diam yang diletakkan pada saat yang tepat. Tetapi, jika kita seharusnya berbicara yang bernilai emas, yang mencegah terjadinya kerugian besar, maka diam adalah pengingkaran tugas, yang merugikan. Diam yang seperti itu adalah penelantaran tanggung-jawab.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H