Pan-Arabisme sering diartikan sebagai persatuan Arab, yang didasarkan atas keyakinan bahwa bangsa Arab adalah satu bangsa yang dipersatukan oleh etnis, bahasa, budaya, sejarah, dan geografis. Pan-Arabisme – atau lebih tepatnya ideologi Pan-Arabisme – adalah ideologi yang dilandasi atas semangat nasionalisme Arab. Semangat ini mewacanakan persatuan bangsa Arab yang terbentang luas dari Samudra Atlantik sampai lautan Arab sebagai kesatuanyang utuh agar lebih mudah dalam perjuangan melawan kekaisaran Ottoman dan Inggris – Perancis khususnya.
Pada tahun 1915 diproklamirkan perang terhadap kekaisaran Ottoman atas nama bangsa Arab yang kemudian disebut sebagai revolusi besar Arab atau al Tsaurah al-Arobiyah Al- Kubra – dalam bahasa Arab – yang dipimpin Syarif Hussain Ibn Ali dari Makkah. Sebelumnya, di Eropa, pemuda-pemuda Arab mendirikan sebuah forum yang sebut “ Young Arabic Society” atau “Arab Muda”, sebuah perkumpulan nasionalis Arab yang pada tahun 1913 menyelenggarakan Kongres Arab pertama di Paris. Seorang pemikir nasionalis Arab Michel Aflaq asal Syiria, pada tahun 1940 mendirikan partai Ba’ath bersama Salahuddin Bitar Sibly, kemudian pada 1956 bergabung dengan partai Sosialis yang didirikan Akran Hourani menjadi Partai Sosilis Ba’ath yang berazazkan nasionalisme Arab. Selang 2 tahun, seorang nasionalis mesir bernama Gamal Abdul Nasser menggagas persatuan Arab dengan mendirikan Republik Persatuan Arab (RPA) pada tanggal 1 Februari 1958 pasca perang Suez 1956 melawan Perancis dan Inggris, yang merupakan Federasi antara Mesir dan Syiria (Suriah). Semua pergerakan tersebut adalah sebagian kecil “efek” dari paham yang disebut Pan-Arabisme.
Memang besar dampak ideologi Pan-Arabisme yang merupakan paham pemersatu sekaligus perlawanan terhadap represi kaum kolonialis, yakni Inggris dan Perancis sejak abad 19 sampai pertengahan abad 20. Meski Pan-Arabisme pada awal abad 20 digunakan sebagai Ideologi perlawanan terhadap Kekaisaran Turki Usmani, akan tetapi sejak kekalahanTurki pada perang dunia 1 sehingga semangat perlawanan dialihkan kepada kolonialis Inggris dan Perancis sebagai pemegang penuh daratan Arab, karena memang sebelum perang dunia 1 sebagian besar daratan Arab masih dibawah kekuasaan Imperialis Ottoman atau Turki Usmani. Jelas disini Pan-Arabisme adalah Ideologi perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan.
Namun, apabila kita tinjau dari sudut lain, yakni permasalahan ras, akan terlihat berbeda konteks Pan Arabisme, terlebih ketika Turki sudah tidak lagi memegang kendali atas dunia Arab. Ya, dalam sejarah kolonialisme orang-orang kulit putih Eropa menjadi Kelas penjajah dominan atas orang-orang non-kulit putih alias kulit berwarna, khususnya terhadap orang-orang kulit coklat, hitam, dan merah. Gerakan kolonialisasi Inggris dan Perancis terhadap orang-orang Arab sama artinya penjajahan kulit putih terhadap kulit berwarana yaitu bangsa Arab yang notabene termasuk bangsa kulit coklat. Inilah kemudian yang menjadikan Pan-Arabisme bukan hanya menjadi gerakan persatuan bangsa Arab untuk melawan penjajah, tetapi sebagai salah satu indikator naiknya gelombang pergerakan ras kulit berwarna melawan kolonialis kulit putih yang telah lama merepresi dunia orang-orang kulit berwarna. Naiknya gelombang perlawanan kulit berwarna ini telah diterangkan secara gamblang oleh Lothorp Stoddard dalam bukunya “The Rising Tide of Colour” pada tahun 1920.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H