Mohon tunggu...
Mugiwara Anamisme
Mugiwara Anamisme Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

By experiencing both victory and defeat, running away and shedding tears, a man will become a man. --Akagami no Shanks--

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

IPL, ISL dan Dampak Dualisme Sepakbola Nasional

5 Mei 2013   07:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:05 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IPL (Indonesia Premier League) hadir pada awal 2011 disaat pecinta sepakbola merindukan sebuah prestasi dan tata kelola PSSI yang baik. IPL hadir dengan mengusung industrialisasi dan profesionalisme dalam sepakbola nasional serta bersih dari APBD. PSSI yg selama dipimpin NH dianggap sebagian besar pecinta sepakbola nasional sebagai biang keladi minimnya prestasi timnas. ISL yang saat itu masih disponsori oleh PT Djarum sejak pertama bergulir di 2008 baru beberapa klub saja yang bebas dari APBD karena kebijakan PSSI saat itu masih kesulitan menghapuskan APBD secara langsung. Oleh karena IPL dg dimotori oleh pengusaha AP tampil sebagai tandingan ISL untuk membuka gerbang sepakbola yang sehat dan bebas makan uang rakyat. Tak ragu masyarakat indonesia berbondong-bondong mendukungnya, tak terkecuali pendukung ISL.

IPL start pada awal Januari dan saat itu sempat ditayangkan metro tv dan indosiar pada beberapa pertandingan dan berakhir mei atau hanya putaran pertama. Meskipun ditentang PSSI saat itu IPL tak gentar menghadapinya dan tetap melaksanakan liga. Sampai pelengseran NH dari ketua PSSI, liga ini masih dianggap ilegal.

FIFA melalui KN melarang pencalonan NH tetapi juga AP dan JT ntah apa alasannya FIFA melarang keduanya, mungkin agar PSSI tidak sarat kepentingan dari konflik yang sebelumnya antara NH dan AP di PSSI, NH tetap ingin bertahan sedang AP ingin jadi ketua PSSI. Sampai pada kongres Solo, DAH terpilih melalui kongres yang sempat ditayangkan langsung oleh televisi. Meskipun agak aneh karena dari beberapa calon ketua PSSI, DAH menang telak hampir 100%, SIM yg diwawancara setelah kemenangan DAH menyebutkan bahwa memang kemenangan DAH sudah ditentukan pada rapat di Jogja bersama AP sebelumnya. Ah, mungkin gak apa-apa demi persepakbolaan yang lebih baik mengingat sepak terjang Prof. DAH cukup baik di sepakbola dan bukan berasal dari partai kuning atau sebagainya.

Setelah pelantikan, ketua komite kompetisi PSSI, SS mengumumkan PT LPI menggantikan PT LI karena belum melaporkan keuangan/audit, padahal verifikasi AFC semakin dekat. SS yg  mengatakan kompetisi akan terbagi ke dalam 2 wilayah, ditentang oleh DAH dan LNM yang setuju format satu wilayah. Kontroversi pun terjadi, pro dan kontra mengenai penambahan 6 klub yang masuk dalam divisi tertinggi. Meskipun AFC tidak mempersalahkan, tapi anggota banyak yang tidak puas akan hal tersebut. Karena masing-masing kekeh dengan pendapatnya, terjadilah pembelotan 14 kontestan IPL ke ISL yang dikomandoi LNM yang tidak puas dengan penambahan karena menurutnya melanggar statuta. Pembelotan inilah yang menjdi blunder terbesar IPL, karena klub-klub tersebut merupakan klub besar yang sudah tak asing di telinga pecinta sepakbola nasional dan masing-masing memiliki basis suporter besar.

Akhirnya, kedua liga pun bergulir yang kali ini berkebalikan dengan sebelumnya yaitu IPL legal dan ISL ilegal. Meskipun ilegal, ISL mempunyai keuntungan karena hak siar oleh televisi milik bakri grup serta klub dan para pemainnya sudah populer di mata pecinta bola. Suporter yg fanatik juga menjadi nilai plus ke-eksis-an suatu klub. IPL yang resmi, tentu juga tak mau kalah dengan ISL, hak siar dipegang oleh MNC grup dan klub-klub dibuat ngiler dengan iming-iming pendanaan yang besar, saya masih ingat saat itu dikabarkan PSBY 1927 mendapatkan kucuran 100 milyar untuk 5 tahun, sungguh fantastis, logikanya klub ini tak akan kesulitan dana sampai 2016 nanti.

Realitanya, dualisme kompetisi yang terjadi membuat sponsor berfikir berulang kali mau mendanai suatu klub. Sepakbola nasional rupanya baru saja dihinggapi krisis moneter, banyak klub-klub kesulitan di ISL dan ternyata IPL yang berstatus liga resmi sekalipun juga terjadi hal yang sama. Keterlambatan gaji beberapa klub, sampai-sampai ada yang menjadi korban, menjadi sorotan media betapa suramnya sepakbola nasional disamping usaha klub-klub bebas dari APBD dan dualisme PSSI & kompetisi.

Musim kedua dualisme berjalan, banyak yang memprediksi IPL akan survive dan ISL akan segera bubar/dibubarkan. Optimisme IPL berhembus menyusul kabar sponsor raksasa sekelas NC dengan kontrak trilyunan yang selalu digembar gemborkan. Apa mau dikata, jangankan NC, televisi lokal pun enggan dengan hak siar IPL. Setelah beberapa kali ditunda karena kesiapan klub & dana konsorsium yang mampet, akhinya kick-off terkesan dipaksakan. Sementara ISL masih punya antv, bahkan tv one juga menyiarkan DU, di samping apa kepentingan pihak bakrie grup mau menyiarkan, tentunya ISL masih mempunyai daya pikat yg besar bagi pecinta sepakbola tanah air.

Sampai pada puncaknya yaitu KLB di Jakarta, unifikasi liga tak menguntungkan pihak IPL karena nantinya musim selanjutnya hanya ada 4 klub IPL + 18 klub ISL. Uniknya, SPFC yg menjadi anggota IPL malah turut menyumbang suara demi unifikasi tersebut. Mampetnya konsorsium, tak adanya hak siar, dukungan suporter yg kurang, tak adanya kekompakan antar klub dengan pengelola liga, serta hasil unifikasi liga melengkapi penderitaan klub-klub IPL. Kisah IPL tak akan berlanjut tahun depan karena kompetisi hanya ISL.

Alih-alih menciptakan sepakbola sehat & profesional, IPL juga sarat politik karena juga ada beberapa orang PSSI saat itu ada yg menjadi anggota partai. IPL dapat disebut pengalihan kepentingan dari partai A ke partai B mengingat sebelumya PSSI sudah bernuansa kuning. Begitulah kompleksnya persepakbolaan tanah air.

Dari berbagai sumber.

Masing-masing pecinta sepakbola pasti mempunyai alasan tersendiri mendukung salah satu kubu. Tidak ada yang 100% objektif dalam mengutarakan opini, pasti ada unsur subjektifitas. Boleh seseorang menyebut dirinya pembela kebenaran, tak usahlah kita menjuluki mafia kepada sebagian yang lain, karena pada dasarnya yang namanya pecinta sepakbola nasional pasti menginginkan sepakbola yg lebih baik dan timnas berprestasi. Sepakbola nasional perlu suatu solusi bukan saling ejek antar suporter.

Salam damai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun