Mohon tunggu...
Khairul Anam
Khairul Anam Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Larangan Mudik Lebaran, Antara Ketegasan dan Humanisme Polri

5 Mei 2020   11:25 Diperbarui: 5 Mei 2020   11:22 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Idul Fitri dirayakan oleh segenap kaum Muslim di seluruh dunia. Namun Lebaran, benar-benar khas Muslim Indonesia. Lebaran, bagi kaum Muslim Indonesia, adalah prosesi khas yang pada kondisi yang memungkinkan, harus dirayakan dengan takzim, bersama keluarga, terutama orang tua.

Menurut Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat, lebaran adalah contoh manis tentang bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia. Gemuruh takbir terdengar di mana pun; tetapi irama takbir di Indonesia sangat unik, seolah irama gamelan dengan tempo lambat dan menyayat hati.

Bila Anda melihat Iedhul Fitri di Jazirah Arab, Anda akan tahu betapa berharganya Iedhul Fitri alias Lebaran di Indonesia. Hanya di Indonesia, Anda akan menemukan arus mudik--penumpang yang berdesakan, wajah-wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, namun mata yang berbinar-binar karena bisa kembali ke kampung halaman, berjumpa dengan keluarga, orang tua, untuk bersilaturahim.

Barangkali hanya di Indonesia, Lebaran menjadi khas sebagai momen bersilaturahim, lalu kita pun punya istilah khusus seputar lebaran yang mirip Bahasa Arab tapi sebenarnya bukan, halal bihalal.

Tegasnya, Lebaran adalah khas milik Muslim Indonesia. Kebiasaan itu tak bisa--dan tak ada gunanya pula dirujuk dengan tinjauan hukum fiqhiyyah. Memendang Lebaran haruslah dengan kacamata sosio antropologis.

Karena itu, awalnya saya merasa pesimistis imbauan pemerintah agar warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya tahun ini tidak melakukan mudik, tidak dulu kembali ke kampung halaman menyambangi orang tua dan sanak saudara. Saya tak begitu yakin imbauan itu akan dipatuhi.

 Benar bahwa negeri tengah dikungkung wabah pandemi covid-19, yang ganas dan mematikan. Tetapi kita telah sama-sama tahu betapa abnormalnya cara piker warga kita bila itu terkait mudik. Apa pun diterjang: tiket mahal, jalanan macet, jarak yang jauh, dan sebut saja kendala lainnya.

Buktinya, meski semua tahu bahwa mudik identik dengan kemacetan---yang tak jarang urusannya bukan jam, melainkan hari, tetap saja hal itu dilakukan dengan riang. Ambil contoh saja, tahun lalu. 

Pada Jumat Jumat 7 Juni 2019, PT Jasa Marga mencatat total volume lalu lintas mudik libur Lebaran 2019 pada H-7 hingga H-1 sebesar 1.216.859 kendaraan. Jumlah tersebut naik 1,04 persen dibandingkan arus mudik tahun 2018.

Maka, manakala Polri, melalui Korps Lalu Lintas  (Korlantas) menggelar Operasi Ketupat 2020, timbul kekhawatiran bahwa operasi rutin yang digelar setiap tahun itu, tahun ini tak akan sesukses tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, tantangan Operasi Ketupat kali ini begitu kompleks. Operasi itu tahun ini tak hanya menjaga agar lalu-lintas lancar, jauh dari kemacetan agar para pemudik nyaman pergi-pulang menuju dan dari kampung halaman.

Operasi Ketupat 2020 bahkan berlawanan diametral dalam praktiknya dibanding seluruh operasi serupa yang pernah dilakukan. Jika di tahun-tahun sebelumnya operasi itu digelar untuk memperlancar arus mudik, tahun ini Operasi Ketupat digelar justru agar orang-orang tak melakukan prosesi mudik. 

Tahun ini, pengerahan 171.000 personel gabungan Polri-TNI dan instansi terkait dalam melaksanakan Operasi Ketupat 2020 itu tak lain guna mengawal larangan mudik Lebaran selama masa pandemi virus Covid-19. Ke-171 ribu personel itu bertugas sejak 24 April hingga 31 Mei 2020 atau H+7 Lebaran.

Terlihat berkat kesadaran warga dan upaya tak kenal lelah dari Polri bersama TNI, Kemenhub , Dishub dan instansi terkait, meski operasi masih berjalan, tanda-tanda suksesnya Operasi Ketupat 2020 sudah terlihat jelas. 

Telah sama-sama diketahui masyarakat, bahwa untuk memastikan berjalan efektifnya operasi, selama berhari-hari Jajaran Pimpinan Korlantas  terlihat langsung terjun ke lapangan, menyisir tak hanya jalan-jalan tol, tetapi juga check point-check point penyekat di jalan-jalan arteri menuju ke kota-kota, arah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan ketegasan namun cara-cara yang sangat humanis, personel Operasi Ketupat yang terlibat mampu mempersuasi---tak tanggung-tanggung, dalam 10 hari pertama Operasi Ketupat 2020 ini sudah 23 ribu kendaraan para pemudik untuk putar balik dari Lampung sampai Jawa Timur. Kembali ke rumah masing-masing di kota-kota besar.

Tak hanya itu. Karena setiap penumpang kendaraan yang diminta putar balik itu diberikan pengarahan lebih dulu, dipastikan kini mereka lebih paham dan mengerti mengapa tinggal di rumah itu jauh lebih baik.

"Terlihat dalam banyak tayangangan televisi petugas senantiasa mengajak agar mereka yang awalnya kurang mengerti, agar kemudian bisa membantu memutus mata rantai penularan dengan kembali dan tinggal di rumah masing-masing,".

Sikap humanis penuh pengertian itulah yang membuat upaya penyadaran dan imbauan untuk putar balik itu pun tak berujung insiden negatif. Sejauh ini, bukankah kita semua tak pernah mendengar berita adanya kekacauan di jalan akibat kekecewaan berlebihan mereka yang hendak mudik?

Contoh paling jelas dari dikedepankannya sikap humanis Polri-TNI, Kemenhub, Dinas Perhubungan dan aparat terkait itu bisa dilihat dari tidak adanya pemudik yang diberikan sanksi. 

Padahal, tak hanya tak boleh melanjutkan perjalanan mudik, jika menggunakan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemudik nekat pun bisa mendapatkan sanksi penjara paling lama satu tahun dan atau denda maksimal Rp 100 juta. Hal itu mengacu kepada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018.

Kita meyakini - karena saya pun selama ini selalu mudik-  berputar balik pun sebenarnya sudah merupakan sanksi yang berat. Karena itu,  jajarannya Polri , sampai hari ini tak pernah memberikan sanksi tambahan sebagaimana dimungkinkan berbagai aturan.

Hasilnya, sampai hari ini kita tahu, jumlah pemudik dari Jakarta yang menuju ke Jawa Tengah dan Jawa Timur kian hari semakin menurun. Meski demikian, para petugas yang bertugas dalam Operasi Ketupat tetap bersiaga di pos-pos cek poin selama 24 jam secara bergantian untuk mencegah warga mudik dan menyosialisasikan cara untuk mencegah penularan COVID-19.

Semoga covid-19 segera bisa kita kalahkan, musnah dari negeri kita tercinta. [ ]

Oleh  :  Khairul Anam *

*Pemerhati masalah sosial  dan Ketua Milenial Muslim Bersatu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun