Pemerintah Indonesia telah merencanakan kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Meski tujuan utama dari pajak ini adalah meningkatkan pendapatan negara, namun implikasinya sangat signifikan terhadap sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan daya beli masyarakat. Artikel ini akan membahas dampak potensial dari kenaikan tarif PPN ini terhadap kedua aspek tersebut.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. Dikutip dari online-pajak.com Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen Akhir.
UMKM merupakan usaha produktif yang dimiliki oleh perorangan atau badan usaha. UMKM dapat dijalankan oleh rumah tangga, individu, kelompok, atau sekelompok orang. UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, di antaranya Sebagai fondasi perekonomian masyarakat Indonesia, Dapat menyerap banyak tenaga kerja, Membangkitkan sektor ekonomi, Sebagai indikator dalam stabilitas perekonomian, Sebagai pemberdayaan masyarakat. Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia, yang menyumbang sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB), diperkirakan akan menghadapi tekanan signifikan akibat kenaikan PPN ini. Banyak pelaku usaha kecil mengkhawatirkan bahwa kenaikan tarif pajak akan menyebabkan lonjakan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat menurunkan permintaan konsumen.
Peningkatan Pajak Penambahan Nilai (PPN) memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak negatif dari kenaikan PPN adalah adanya kebijakan kenaikan PPN yang dirasa akan meningkatkan pengeluaran dari masyarakat, karena terkadang kenaikan tersebut juga beriringan dengan bertambahnya kebutuhan pokok setiap harinya. Akan tetapi berdasarkan peraturan yang ada bahwasanya tidak semua usaha dikenakan PPN. Ketentuan mengenai pemberlakuan PPN terhadap barang dan jasa yang masuk dalam ketentuan tersebut. Maka sebagai Masyarakat yang patuh akan sebuah aturan pemerintah harus mengikuti aturan tersebut. Sedangkan untuk dampak positifnya salah satunya berkenaan dengan APBN, kenaikan PPN ini diharapkan membantu dalam hal memperbaiki APBN yang sempat goyang pada saat COVID-19.
Regulasi yang telah ditetapkan mestinya telah dimatangkan termasuk antisipasi bagaimana resiko yang akan dihadapi kedepannya atau solusi yang akan diberikan ketika timbul permasalahan. Selaku masyarakat tentunya berusaha untuk memaksimalkan kebijakan yang berlaku guna memperoleh sebuah hasil positif (Majid et al., 2023). Pada prinsip perpajakan, bahwa kepentingan umum yang bertujuan untuk mempertahankan kestabilan ekonomi negara menjadi suatu hal yang harus diutamakan. Pemerintah harus berupaya meningkatkan kestabilan ekonomi mampu didukung dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Indonesia merupakan negara G20 yang termasuk dalam kumpulan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Hasil survei yang dilakukan pada UMKM milik Ibu Fira, seorang penjual es teh manis dan camilan Chilclin, menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui adanya rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan diberlakukan pada Januari 2025. Menurut Ibu Fira, kenaikan PPN tersebut akan menyulitkan penyesuaian anggaran, terutama karena harga bahan baku sudah mengalami peningkatan signifikan. Sebagai contoh, harga ayam yang semula Rp 42.000 per kilogram kini naik menjadi Rp48.000 per kilogram. Meski demikian, harga bahan baku untuk es teh manis belum mengalami perubahan.
Dalam kondisi ini, Ibu Fira berharap agar harga jual produknya tetap stabil, namun hal ini sulit dilakukan tanpa mengorbankan margin keuntungan. “Saya berharap kepada pemerintah untuk tidak menaikkan PPN karena kasihan para pedagang,” ujarnya. Beliau berharap kebijakan pemerintah dapat lebih berpihak pada pelaku usaha kecil yang tengah berjuang di tengah kenaikan biaya operasional.
Sebagai kesimpulan, rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada Januari 2025 memiliki tujuan utama untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, kebijakan ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sektor UMKM dan daya beli masyarakat. UMKM, yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, diperkirakan akan menghadapi tantangan besar berupa kenaikan biaya operasional dan penurunan permintaan konsumen akibat lonjakan harga barang dan jasa. Dalam menghadapi tantangan ini, regulasi yang matang dan solusi proaktif diperlukan untuk melindungi sektor UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebagai negara anggota G20, Indonesia diharapkan mampu menyeimbangkan kebutuhan pendapatan negara dengan kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan perpajakan yang diambil mendukung kestabilan ekonomi dan pertumbuhan inklusif. Kasus yang dialami oleh Ibu Fira, seorang pelaku UMKM, menggambarkan kesulitan yang dihadapi pedagang kecil dalam menyesuaikan anggaran tanpa menaikkan harga jual. Hal ini memperkuat urgensi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dampak kebijakan tersebut dan mencari solusi yang dapat melindungi keberlangsungan UMKM serta daya beli masyarakat.
Dengan latar belakang tersebut, penetapan PPN 12% harus diiringi dengan kebijakan yang lebih komprehensif untuk menjaga kesejahteraan rakyat dan stabilitas ekonomi. Jika tidak, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang mengancam pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Kedepannya, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan inklusif.
Penulis: Rukhsah Ana Lathifah, Ayu Anzal Fitri dan Rimaysa Ramda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H