Teori belajar kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan yang melibatkan mental dan bukan semata-mata perubahan perilaku yang tampak.1 Prinsip-prinsip dasar dari teori belajar kognitif meliputi:
- Proses belajar bukan sekadar menerima informasi secara pasif, melainkan siswa harus secara aktif terlibat dalam membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri.
- Pembelajaran melibatkan aktivitas mental yang kompleks, seperti mengamati, memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah.
- Pengetahuan baru yang diperoleh siswa dibangun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Dalam pandangan Kurt Lewin, seorang tokoh terkemuka dalam bidang psikologi kognitif, belajar merupakan suatu proses interaksi antara individu dan lingkungannya.
Dalam teorinya, Lewin berpendapat bahwa belajar terjadi melalui perubahan-perubahan dalam "bidang psikologis" atau "bidang kognitif" individu. Bidang kognitif mencakup seluruh aspek kehidupan individu, termasuk persepsi, kognisi, emosi, dan motivasi mereka.
Teori Lewin menekankan bahwa belajar adalah proses yang dinamis, di mana berbagai faktor psikologis dalam bidang kognitif individu saling terkait dan saling memengaruhi selama pengalaman belajar. Dengan mempertimbangkan sifat holistik dari bidang kognitif individu, teori Lewin memberikan perspektif komprehensif tentang mekanisme kompleks yang mendasari proses belajar.
Selain Lewin, Jean Piaget adalah tokoh lain dalam psikologi kognitif yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu. Menurut Piaget, setiap individu akan mengalami empat tahap perkembangan kognitif, yaitu:
- Tahap Sensorimotorik: Pada tahap awal perkembangan kognitif ini, anak-anak belajar terutama melalui pengalaman fisik dan sensorik.
- Tahap Praoperasional: Saat berkembang, anak-anak memasuki tahap praoperasional, di mana mereka mulai mengembangkan kemampuan berpikir secara simbolis
- Tahap Operasional Konkret: Pada tahap operasional konkret, pemikiran anak-anak menjadi lebih logis, tetapi masih terbatas pada objek dan pengalaman konkret.
- Tahap Operasional Formal: Tahap akhir, tahap operasional formal, ditandai dengan kemampuan untuk berpikir secara abstrak, logis, dan sistematis.
Sementara itu, Jerome Bruner, tokoh lain dalam psikologi kognitif, menekankan pentingnya proses penemuan (discovery) dalam pembelajaran.
Bruner berpendapat bahwa siswa akan belajar dengan lebih baik jika mereka terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan baru melalui eksplorasi dan pengkajian mandiri. Menurut Bruner, terdapat tiga tahap perkembangan kognitif yang harus dilalui individu dalam memperoleh pengetahuan baru, yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.
Teori-teori belajar kognitif memiliki sejumlah implikasi penting dalam proses pembelajaran dan pengajaran, di antaranya:
- Pembelajaran harus dirancang untuk mendorong keterlibatan aktif siswa dalam membangun pengetahuan, bukan hanya menerima informasi secara pasif.
- Proses pembelajaran harus memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman siswa sebelumnya sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan baru.
- Pembelajaran harus mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti kemampuan menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan mencipta atau menemukan pengetahuan baru.
- Dalam proses pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran yang bermakna.
Dengan demikian, teori-teori belajar kognitif memberikan perspektif yang kaya bagi praktik pembelajaran dan pengajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir dan pemahaman konseptual siswa, bukan sekadar pengembangan kemampuan hafalan atau reproduksi informasi.
Shymansky mengatakan konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dimilikinya.
Menurut hill konstruktivisme merupakan bagaimana menghasilkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya, dengan kata lain bahwa bagaimana memadukan sebuah pembelajaran dengan melakukan atau mempraktikkan dalam kehidupannya supaya berguna untuk kemaslahatan.
Proses mengkonstruksi pengetahuan mengacu pada bagaimana seseorang atau kelompok memperoleh, mengembangkan, dan menyusun pemahaman tentang dunia sekitarnya. Proses ini sering dikaitkan dengan teori konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif antara individu dengan lingkungannya, daripada hanya diperoleh secara pasif. Faktor yang mempengaruhi:
- Konteks Sosial dan Budaya: Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, seperti nilai-nilai, norma, dan bahasa, yang membentuk cara pandang individu terhadap dunia.
- Pengalaman Pribadi: Latar belakang pengalaman unik seseorang mempengaruhi cara mereka memahami informasi baru, dengan interpretasi yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu.
- Bahasa: Bahasa memfasilitasi pembentukan dan penyampaian pengetahuan, terutama dalam memahami konsep kompleks.
- Motivasi dan Emosi: Motivasi dan emosi memengaruhi keinginan untuk belajar; minat tinggi mendorong eksplorasi lebih mendalam.
- Lingkungan Pembelajaran: Lingkungan fisik dan sosial yang mendukung, seperti ruang belajar interaktif, meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Metakognitif terdiri dari tiga komponen utama: perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Pertama, "perencanaan" mengacu pada kemampuan siswa untuk menetapkan tujuan belajar dan memilih strategi yang tepat sebelum memulai tugas. Mereka dapat merencanakan berapa lama waktu yang akan dihabiskan untuk setiap aspek materi yang akan dipelajari. Kedua, "pemantauan" mengacu pada kemampuan siswa untuk menilai kemajuan mereka selama proses belajar.
Mereka memiliki kemampuan untuk menentukan apakah pendekatan yang digunakan efektif atau memerlukan perubahan. Menunjukkan bahwa siswa yang secara aktif mengamati proses belajar mereka lebih cepat mengenali masalah dan mengubah strategi belajar mereka.
Ketiga, "evaluasi" melibatkan siswa merenungkan apa yang telah mereka pelajari, kesalahan yang telah mereka lakukan, dan strategi yang berhasil. Refleksi ini membantu siswa memahami kekuatan dan kelemahan belajar mereka dan mempersiapkan diri untuk kesulitan di masa depan.
Secara keseluruhan, penerapan metakognitif dalam pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis, kemandirian, dan hasil akademik siswa. Ini dapat dicapai melalui pendekatan kolaboratif, di mana siswa bekerja sama dalam kelompok untuk belajar, memberikan umpan balik satu sama lain, dan merencanakan strategi.
Pendekatan konstruktivisme, di sisi lain, menekankan bahwa siswa tidak dapat mendapatkan pengetahuan dari guru secara langsung, tetapi sebaliknya harus membangun pengetahuan secara aktif melalui pengalaman belajar mereka sendiri.
Dalam pendekatan ini, siswa dianggap sebagai agen yang aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dengan menggunakan informasi dan pengalaman mereka sendiri. Vygotsky juga mengatakan bahwa interaksi sosial sangat penting untuk belajar. Menurutnya, belajar lebih baik dengan berinteraksi dengan orang lain.
Dari ketiga teori ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang efektif melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar, menggunakan strategi metakognitif yang tepat, dan meningkatkan pengetahuan mereka sendiri. Guru membantu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan yang membantu siswa belajar berpikir kritis dan analitis.
Pada akhirnya, pembelajaran bukan hanya menghafal informasi; itu juga membantu siswa membuat dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H