“Selama Orang Masih pake baju, Rajutan tak akan pernah berhenti”
Begitulah ungkapan Asep Surahwan (44), seorang penggiat industri rajutan saat di temui di gerainya “Saung Rajut”di kawasan Sentra Rajutan Binong Jati Selasa (30/10). Berbagai produk hasil rajutan mulai dari baju anak,sweater,syaldan berbagai perlengkapan lainnya terpampang di depan rumahnya yang di desain seperti sebuah toko lengkap dengan tampilanyang ditata menyerupai saung.
Asep yang pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta memutuskan untuk menekuni bidang rajutan sejak tahun 1999 silam, “kebetulan saya generasi ke tiga, jadi nenek lalu ke ibu terus ke saya, sebelum krisis saya bekerja di salah satu perusahaan swasta, tapi semenjak tahun 99 saya mulai mandiri, meneruskan usaha yang mendarah daging di dunia rajutan,” ujarnya sambil tersenyum. Para perajut merajut beraneka produk rajutan mulai dari baju hangat hingga ke produk yang lebih mengedepankan unsur fesyennya. “dulu kan kalau orang bicara rajutan yang terbesit baju hangat, kalau sekarang tidak lagi, sekarang tuh bisa baju fashion yang bisa dipakai sehari-hari,” Asep menyatakan, para perajut di Binong Jati mengtargetkan sebagian besar pasar mereka di pasar Tanah Abang, “dari data 250 perajin di Binong ini hampir 80 % segmen pasarnya di Tanah Abang, sisanya kecil-kecil tersebar di seluruh Indonesia,” tutur bapak beranak dua ini. Perkembangan teknologi dan informasi, membuat Asep dan para perajin lainnya harus terus mengikuti tantangan trend yang cenderung berubah-ubah, “sekarang kan dominan sistemonline, jadi kitaikutinjuga produk-produkonline, terutama di fesyen,” kata Asep. “kalau dulu kan lebih cenderung disebut baju abadi (hangat), kalau sekarang baju fashion baru 2 bulan sudah ganti lagi,” kata Asep. Perubahan yang cepat membuat inovasi beberapa bagi para perajin, misalkan apabila rajutan dahulu menggunakan bahan wol aklirik, sekarang bisa menggunakan bahan katun.
Untuk setiap lusin hasil produksi Asep, biasa meraih untung sebesar 25.000 rupiah, sedangkan Asep bisa memproduksi 50-60 lusin perminggunya. Asep menceritakan, pada saat krisis moneter awal tahun 99 terjadiboomrajutan, “saat dimana terjadi krisis di Indonesia, rajutan malah sedang bagus-bagusnya,” Asep menambahkan.
Kendala yang dialami oleh Asep dan sebagian perajut di Binong Jati biasanya berkutat pada penggunaan bahan-bahan “sampai pada tahun 2000, dulu karena sistem grosiran jadi barang tinggal masuk saja, berbeda dengan sekarang dengan sistemonline, dulu benang bisa apa saja digunakan, sekarang karena mengikuti trendonlinebahan jadi tidak terpakai,”tuturnya.
Saat ditanya mengenai bagaimana bantuan pemerintah terhadap industri rajutan di Binong Jati, Asep menjawab, “memang ada bantuan dari Dinas terkait, tetapi tidak menyentuh perajin langsung diperantarai oleh koperasi yang memang mati suri di daerah Binong ini,” ujar Asep. para pelaku industri rajutan di Sentra Rajutan Binong Jati pernah meminta kepada pemerintah Kota Bandung untuk membuka jalur tembusan dari arah terusan Kiara Condong ke Binong Jati langsung. “pernah kita minta jalan tembus dari Terusan Kiara Condong, pemerintah hanya meng-iyakan, tapi sampai sekarang masih belum ada apa-apanya, padahal hal ini penting agar industri rajutan di Binong Jati ini bisa maju,” pungkas Asep. (at)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H