Dalam konteks masifnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan maraknya kasus amoralitas oleh orang - orang panutan, maka eksistensi moral selalu menjadi pertanyaan pertama kita, Di negeri timur yang terkenal dengan sopan santun dan tata kramanya yang tinggi, mengapa hal ini justru terjadi tanpa rasa malu lagi, bahkan membela diri ? para publik figure negeri ini yang seharusnya menjadi teladan malah memamerkan "kecerdasan" Intelektual dan perilaku Abnormalitas moral ?
Pertanyaan tentang eksistensi moral di negeri yang konon katanya "gemah ripah loh jinawi", negeri yang di anugerahkan oleh Allah (Tuhan Yang Maha Esa) dengan berbagai kekayaan alam yang melimpah ruah dan iklim yang ramah ini memang merupakan pertanyaan kontemplatif evaluatif. Ya, memang seharusnya kita memperbincangkan dan membicarakannya yang mengarah pada jalan keluar bukan berdebat kusir. Kita cermati dimana proses yang salah dan menyimpang dalam dunia pendidikan anak - anak negeri ini.
Secara gampang yang dimaksud dengan pendidikan adalah proses belajar dan adaptasi secara terus menerus terhadap nilai - nilai budaya dan cita luhur masyarakat dan di orientasikan
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Dunia Pendidikan Indonesia..?"][/caption] untuk menghadapi tantangan eksternal. Secara umum kita juga menyakii bahwa pendidikan (masih) berperan serta untuk menanamkan dan menyadarkan nilai - nilai luhur kepada anak - anak kita.
Hal ini pula yang di maksudkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intelektual), dan jasmani (fisik) anak - anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Bahkan hal ini juga di pertegas oleh Muhammad Natsir secara filosofis bahwa pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanahkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional yang meningkatkan " keimanann dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. " UUD 1945 menghendaki agar manusia Indonesia memiliki karakteristik cerdas moral, bertakwa kepada sang pencipta dan cerdas dalam kehidupannya (cerdas Intelektual). Hal ini yang kemudian berhasil di jabarkan secara panjang lebar dan aplikatif dalam bentuk UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam pasal 1, ayat 1, dijelaskan subtansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, control diri, kepribadian, kecerdasan dan hal positif lainnya yang diperlukan oleh person, masyarakat, bangsa dan Negara.
Itulah sebagian uraian konseptual yang sudah pernah dihasilkan oleh para pakar pendidikan negeri ini. Paparan tentang hakikat pendidikan diatas sekaligus menjelaskan arah dan tujuan dari pendidikan. Pendidikan bukanlah semata - mata hanya membekali peserta didik dengan keterampilan dan kesiapan untuk bekerja. Pendidikan juga bukan sekedar proses belajar mengajar yang di batasi oleh empat dinding. Pendidikan bukan hanya pengajaran. Pendidikan menurut pandangan ibnu Khaldun merupakan sebuah proses secara sadar dari manusia untuk menangkap, menyerap, menghayati untuk kemudian mengambil hikmah peristiwa - peristiwa alam sepanjang zaman ...sepanjang masa.
Menjadi sangat jelas bagi kita bahwa target yang akan diraih suatu pendidikan adalah perkara - perkara yang amat strategis. Visi dan Misi pendidikan itu berkaitan dengan orang lain dan kehidupan bersama yang lebih baik. Pantas dan layak kiranya untuk mengingat kembali bahwa tanggung jawab pendidikan dan keberhasilannya amat tergantung pada kerjasama banyak pihak, orang tua, guru, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Contoh kasus : (1)banyak orang tua yang uring - uringan jika anaknya mendapatkan "Nilai merah" daripada jika anaknya dipanggil BK karena berkelahi dengan temannya atau ketahuan mengutil jajanan di kantin. (2) tidak sedikit oknum siswa, guru atau orang tua yang menghalalkan segala cara agar nilai UN nya tinggi. (3) lebih mudah kita menemukan sosok panutan yang cerdas intelektual dengan segudang prestasinya tapi bebal moral daripada sebaliknya.
Jadi.... Apakah tujuan akhir sebuah pendidikan semulia itu, apakah hanya berkutat pada angka - angka yang ditulis di lembar jawab computer, rapor dan surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) sehingga anak perlu di leskan di dua atau tiga tempat berbeda sekaligus ? mari kita renungkan !
Semoga bermanfaat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H