Mengenai nama ‘Ballon’, aku memang kerap memanggil Juven dengan sebutan itu. Namun, aku lupa sejak kapan. Yang kuingat jelas: nama itu kujadikan panggilan bocah yang telah kuanggap keponakan sendiri ini karena tubuhnya bongsor, wajah bulat dengan rambut sedikit keriting, mirip balon karakter kartun yang belakangan ramai dijajakan pedagang musiman di pinggir jalan.
“Tulang dari mana aja? Jarang sekarang singgah tulang, ya?, ” tanya Juven, sambil menghempaskan pantatnya persis di sisi kiriku. Tangannya menarik kecil ujung lengan kemeja hitam, yang dihiasi logo buaya berwarna merah di atas saku kiri. “Biasa lon, tulang sibuk ke sana kemari,. Maklum lah kau, selama nganggur ini, banyak kali jadwal tulang,” jawabku sekenanya, dengan tawa tertahan saat melihat mimik wajah Juven yang entah kenapa selalu terlihat lucu.
“Tulang wartawan lagi nyari-nyari kerjaan ya? Atau, masih mau istirahat? Tapi, tetap wartawannya tulang wartawan kan, nggak kerja yang lain kan tulang?,” selidik Juven, yang selalu memanggilku dengan sebutan, ‘tulang wartawan’ . hmm,,, tapi ada yang berubah. Intonasi suara Juven terasa berubah, seolah tengah dirundung khawatir. Pun, air mukanya terlihat kosong nyaris tanpa ekspresi.
“Bah!!, kenapa kau ballon? Kok tiba-tiba serius. Padahal, aku bercanda dari tadi,” umpatku dalam hati, dengan sejumput sesal yang tiba tiba muncul melihat keceriaan Juven mendadak hilang.
Sekadar ingin mengobati rasa penasaran dengan sikap Juven yang mendadak berubah seperti kehilangan semangat, aku lantas bergesur dari posisi dudukku. Kami pun lantas duduk berhadap-hadapan, hanya dipisah meja selebar 50 cm yang terbuat dari dua keping papan bekas. “Emang kenapa lon, kau nanya kerja tulang? Tulang ya sekarang begini, jalan sana jalan sini, lah bang! ,” tanyaku, sambil menyodorinya piring berisi kudapan yang tadi ia sajikan. “Sambil kau makani, bang. Nggak habis tulang ini,”.
“Maksud Juven, tulang, kalaupun kerja tempat lain tulang, jadi wartawan lah tetap. Jangan kerja yang lain, tulang.. Tulang wartawan ini pun, aneh-aneh. Entah ngapain lah kemarin itu mundur dari kerjaan yang lama,” jawab Juven, yang terang saja membikinku semakin bingung. “Maksudnya gimana, bang? Bingung tulang, lon!,” kataku.
Juven tak langsung menjawab pertanyaanku. Sesaat, ia melempar pandangan ke luar lapo, dan ke arah ibunya, yang sesekali terlihat melayani pelanggan yang perlahan tapi pasti terus berdatangan. Sesaat berselang, Juven menghela nafas, menegakkan kepala, dan mulai berbicara lagi.
“Sekarang ini kan, musim wartawan tulang! Maksudnya, banyak orang-orang jadi wartawan. Ada yang bekas tukang, bekas montir, bekas agen bus di terminal, macam-macam lah, tulang. Ada yang kayak gaya tulang dan kawan kawan, urakan. Ada yang necil kayak pejabat, udah itu, ada pula yang mirip polisi /tentara gayanya. Ada kartu wartawan orang itu, tulang! Tapi kan tulang, ada yang tak baik. Biar tulang tahu, semalam itu, 3 hari berturut-turut, ada serombongan datang ke kedai ini. Difoto-foto orang itu dari luar, sama dalam. Ketepatan, Juven jaga sendiri, mama belanja ke Pajak. Dimarahinya Juven tulang, sambil nunjukin kartunya,” tutur Juven alias si Ballon.
“Takut Juven, tulang semalam. Dituduh-tuduh pula sama dia, katanya, jualan mama Juven macam macam lah tulang. Padahal, tulang wartawan sendiri, sama kawan kawan tulang yang lain juga udah langganan lama kan, dan udah seperti, apa pernah merasa aneh dengan jualan kami, lang? Katanya, kedai ini mau diberitakan, diadukan, baru ditutup tulang kalau nggak dihubung-hubungi mama orang itu,” ujar Juven melanjutkan cerita.
Hmmm, aku pun mulai memahami kekhawatirannya. ”Terus, ngapain takut bang? Ogap-ogap aja nya orang itu, lon. Kalau kita nggak salah, nggak usah takut, dek,” cetusku. “Memang iya, tulang. Tapi ya takut lah Juven, tulang. Soalnya, tulang, sama kawan-kawan tulang wartawan nggak kekgitunya setahu kami. Tapi, orang itu beda tulang. Ada kartunya, tulisannya ‘PERS’,” kali ini, nada suara Juven kian mempertegas ada rasa khawatir yang cukup besar di hatinya. “Ah, lagian, tulang wartawan pun, entah ngapai berhenti dari tempat kerja dulu? Sekarang musim wartawan: semua berlomba jadi wartawan, tulang wartawan malah berhenti! Ayolah, tulang, jadi wartawan lagilah, biar ada yang membantu Juven sama mama, takut kami didatangi lagi, tulang. Nanti, nggak bisa sekolah Juven tulang,”pintanya sendu, dengan kepala sesekali tertunduk.
Akupun terdiam, bingung, entah harus menjawab apalagi. Sementara, Juven pamit sesaat meninggalkanku, karena dipanggil ibunya. Bingung harus berbuat apa, sebatang rokok kembali kuraih, dan kubakar ujungnya, sambil mata tak lepas memandang Juven dengan wajah polosnya tengah mengerjakan perintah ibunya.