Waktu berbuka puasa hampir tiba, mobil yang kukemudikan memasuki pelataran rumah, plus warung milik Mak Juven, semalam. Sebuah kedai sederhana seluas 25 meter persegi, berdinding tepas, dengan lantai semen kasar yang lebih dikenal dengan sebutan lapo Sikomatu.
Seperti namanya, Sikomatu, Mak Juven, pemilik lapo memang menjadikan kopi, dan tuak sebagai dagangan utama. Namun, tidak dijual dalam waktu bersamaan. “Anggo pagi sampai sore jam 5, marjual kopi do i kodei on. Mulai jam 6 botari, das bani jam 11 marjual tuak ma ge, botou,” demikian kata Mak Juven, kepada setiap orang yang (mungkin) penasaran dengan penamaan warung itu.
Usai memarkirkan mobil di bawah pohon petai, yang berdiri sejajar dengan tiang penyangga dapur lapo,aku berjalan memutar ke arah depan, lalu sedikit berputar, dan masuk ke dalam lapo lewat pintu utama. Sebuah jalan masuk ke dalam lapo selebar 1,70 meter yang sebenarnya sama sekali tidak patut dinamai pintu karena memang tak dilengkapi daun pintu.
Dari tempat aku duduk di pojok depan lapo, aku melihat, ada sekitar 12 orang pengunjung lain. Sebagian terlihat asyik berdiskusi dengan temannya sambil menyeruput kopi di cangkir plastik, sebagian lagi ada pula yang tengah menikmati mie instant masakan Mak Juven, yang terkenal cukup enak.
Berbeda dengan warung sejenis yang kebanyakan menghentikan kegiatannya di bulan Ramadhan, lapo Mak Juven tetap beroperasi. Kalau tak salah ingat, sudah 6 kali Ramadhan dengan tahun ini, Mak Juven tidak meliburkan usahanya. Walaupun itu berarti, ia harus bekerja sebagaimana biasa, walau tengah berpuasa.
“Mau tutup nggak jualan, kasihan langganan kakak, boto. Lihatlah, kebanyakan langganan kakak supir angkot, supir truk pasir, tukang bangunan, kan. Kakak tak sampai hati, jadi susah langganan cari makan minum kalau kakak tutup puasa,” jawab Mak Juven, wanita kelahiran Kabupaten Mandailing Natal ini, menjawabku suatu ketika.
***
Teriakan kecilku, yang tak sampai membikin kaget seisi warung, direspon Mak Juven dengan senyuman. Sebelum melemparkan pandangan ke arah lain, dan mengudut rokok kretek yang terselip di antara jari telunjuk, dan jari tengah tangan kiri, aku melihat Mak Juven bergegas menyiapkan pesanan dibantu anak semata wayangnya, Juven. Sekadar informasi: Juven adalah bocah berumur 12 tahun kurang 8 minggu, buah buah cinta Mak Juven, yang punya nama asli Lastiur Hasibuan, dengan almarhum suaminya, Djosman Sipayung.
Entah apakah aku melamun, atau mengantuk, tetiba aku dikagetkan dengan suara teriakan Juven, yang sudah berdiri di hadapanku dalam jarak kurang dari dua meter, dengan tangan menjulur menyajikan secangkir kopi plus kudapannya. “Ahhaa, dari mana selama tulang wartawan? Tumben baru nampak di kede kami! Tulang kayak jelangkung aja ya, hihihihihi,” celoteh Juven, dengan tawa penuh kegirangan melihatku terperanjat.
“Eh si ballon ini! Jangan kau bikin terkejut tulang. Nanti, jantungan tulang, mati, tak ada lagi mau kau ajak mandurung ke sawah sana,” sergahku,sambil menarik puncak telinga kiri Juven, yang malah membikin tawanya kian kencang.