Sialnya, belum lagi mulutku mulai berbicara, ia kembali menyela dengan ocehan-ocehan yang hampir tak kupahami karena diucapkan dengan tempo tak beraturan. “Apa memang MPR sengaja bikin masalah empat pilar ini jadi ‘proyek’ rutin tahunan, ya, makanya mereka terlihat santai walau masalah ini tak tersosialisasi dengan baik ke masyarakat? Atau, masyarakatnya kurang berterima? Hmmm, aku rasa walaupun parah, masyarakat nggak sejelek itu lah. Tapi, salahnya di mana ya?
Bahkan sampai anak-anak ku, anak tetanggaku, bahkan istriku, dan tetangga-tetangga, bahkan Ketua RT kami nggak paham soal Empat Pilar. Salahnya apa, ya? Cemmana lawei?,” tanya Nas, sambil menyodorkan sebatang rokok yang telah ia bakar ujungnya, hingga tak sengaja lenganku menyentuh ujung rokok yang menyala. Tapi lagi-lagi, rongga otakku tumpat, entah kenapa aku tak mampu memberi jawaban. Ya, sesaat aku cuma terdiam, sambil menghela nafas dalam-dalam, hingga terbesit ide yang rasanya bisa menjadi jawaban..
Ah, sial! Sekali lagi, ketika untaian kata nyaris meluncur dari rongga mulutku yang sedikit beraroma jengkol semur, Wak Nas kembali melontarkan ocehan, yang kali ini berhasil membikinku terdiam, dan tak lagi berbicara sepatah kata pun. “Ah, mungkin MPR ini harus berlajar teori pemasaran, belajar mem-branding program mereka, dan memasarkannya hingga mengena ke masyarakat, tepat sasaran, dan tidak buang-buang uang. Ah, entah kenapa lawei aku pikir, sudah saatnya MPR ini belajar cara pemasaran yang baik ke produser drama India Uttaran, atau, atau barangkali ke Wagub Jawa Barat yang berhasil dengan iklan so nice nya, atau yang dekat, ke Tulang Bupati kek, yang sukses dengan ikon Helikopternya dari Simalungun menuju Sumut. Tapi ah entahlah, lawei, ke Lapo Roy ajalah kita, pening aku,”tandasnya, dan diam. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H