Kurang dari sepekan lalu, aku pun lupa tepatnya hari apa. Tapi kalau tak silap, ketika itu persis Ba’Da Dzuhur, aku yang asyik berkhayal sambil menikmati sebatang rokok, dan secangkir kopi sachet yang diseduh air dispenser di bawah pohon rambutan tua yang mulai meranggas di tempat kami menumpang tinggal beberapa bulan terakhir kaget, ketika sebuah batu kerikil sebesar kemiri mendarat persis di belakang daun telinga sebelah kiri.
“Setan, kuntilanak, gendoruwo, babi ngepet. Kurang ajar! Lain kali, lihat lihat, wak. Kalau aku mati tiba-tiba karena terkejut, tanggung jawab ente? Jangan gitulah!” mulutku mengumpat tak henti, begitu sadar Wak Nas, panggilan karib sahabat kami Azahari Nasution-lah yang menjadi dalang insiden kecil yang membuatku sport jantung saat itu.
“ha..ha..ha.. Jangan banyak mengkhayal, lawei. Nanti kesurupan kau! Daripada marangan-angan, etah, ke sosialisasi MPR kita, di dekat rumah ku sana,” tukasnya menyela, diiringi tawa kemenangan karena berhasil membuyarkan lamunanku. Masih dengan tawa yang seolah tak akan berakhir, Nas, yang di antara jari tengah dan jari manis tangan kirinya terselip sebatang rokok putih, sedangkan tangannya mengelus-elus perutnya yang membuncit layaknya perut wanita dengan usia kehamilan di atas 5 bulan berjalan menghampiriku.
Dia lalu menyebut nama sebuah jalan, yang aku tahu memang letaknya hanya sepelemparan batu dari rumah kediamannya, yang ia tinggali bersama istri, dan kedua putranya yang kini beranjak remaja.“Wak, malas kali aku, ngapain ke sana kalau cuma mau jadi pendengar yang budiman. Anggota MPR itu, yakinnya awak itu itu aja pasti ocehannya,” aku mencoba menolak ajakan Wak Nas, dengan memberi argumen yang aku pikir akan membuat pria bertubuh tambun, yang kerap menyebut dirinya ‘Usman’ ini berlalu pergi.
Namun, kali ini perkiraanku meleset. “Ah,etah ham ma, lawei. Biar kubuktikan sama kau, kalau masyarakat Siantar ini, banyak yang mau semua-semua demi si opat suhi, tak lain,” kata dia, kali ini dengan intonasi yang mulai tinggi. Ya, dia barangkali begitu ngotot mengajakku pergi, sebab dua hari sebelumnya ketika berdiskusi sambil menikmati singkong rebus, kami berdebat sengit. Ketika itu, aku bilang, bahwa tak banyak lagi masyarakat yang bisa dibeli dengan rupiah dewasa ini. Nas sendiri, punya pendapat yang berbeda.
Singkat cerita, meski malas, aku menyerah, naik ke sadel sepedamotor yang dia kemudikan, yang telah standby sebelumnya. Hanya butuh 25 menit, Luna, begitu aku menamai kreta Vario milikku yang kami tumpangi, berhenti persis di pojok lahan kosong yang ukurannya sedikit lebih luas dari lapangan futsal. Wak Nas yang menjadi ‘joki’, dengan kaki kirinya menyentuh ujung standard, lalu mengunci stang Luna dengan posisi melintang di atas parit kecil, yang menjadi pemisah lahan kosong tersebut dengan bahu jalan yang belum beraspal.
Ia lantas mengarahkan telunjuk ke depan, di mana beberapa buah tenda terpasang, dan puluhan warga yang kebanyakan kaum ibu duduk di bawahnya dengan kursi plastik yang disusun menghadap ke barisan sofa yang dilengakapi meja dengan aneka penganan di atasnya. Hmm, dari jauh aku melihat, salah satu pria yang duduk di sofa itu , adalah seseorang yang aku tahu adalah wakil rakyat, ngantor gedung Parlemen Senayan sejak hampir 10 tahun belakangan. Ya, benar! Sebuah foto diri lengkap dengan jabatan, plus jargon tak lelah berjuang bersama rakyat terpasang sebagai background semakin meyakinkanku. Tapi, apakah memang dia benar-benar telah berjuang untuk rakyat yang katanya ia wakili, aku sendiri tak begitu yakin.
Sementara Nas terus ngoceh, sambil sesekali mengarahkan telunjuk ke Toean Politisi, sebut saja demikian, konsentrasiku justru terfokus pada deretan kalimat di bagian atas spanduk background yang terpasang di belakang sofa yang diduduki Toean Politisi itu bersama sejumlah orang di kiri dan kanannya. ‘Sosialisasi Empat Pilar MPR-RI’ demikian bunyi kalimat tersebut. Kalimat yang sengaja dibuat mencolok, dengan ukuran font dan warga lebih tegas dibandingkan kalimat lainnya di spanduk yang aku taksir ukurannya tak lebih dari 1 ½ x 5 itu.
Sembari terus mengamati tulisan tersebut, dan sesekali memandang ke arah Toen Politisi, yang terlihat didampingi satu atau dua orang, yang aku kenal sebagai pengurus dari salah satu parpol, tak sengaja langkahku semakin mendekat ke barisan ibu-ibu yang duduk di kursi plastik beratapkan tenda di hadapan Toean Politisi itu. Saat beberapa orang terlihat tak terlalu fokus dengan ocehan si Toean Politisi itu, iseng, aku bertanya, “Bu, kegiatan seperti ini (sosialisasi) apa baru kali ini diadakan di daerah ini?” si ibu lantas menjawab, “Nggak dek, udah berulangkali seingat ibu sejak 2005 lalu kalau tak salah,”. Hmmm, penasaran, kembali aku bertanya, “Oohh, jadi sudah sering? Berarti, ibu sudah paham(apa yang dimaksud empar pilar)lah ya,”. “Hahaha, nggak juga lah dek. Cuma, kalau pidato-pidato orang ini setiap ada acara gini, hampir hafal ibu. Karena, yang diomongin itu-itu saja kok, walau orangnya ganti-ganti. Hahaha, lagian dek, kalau kaya ibu sama ibu-ibu yang lain, yang penting sama kita, ‘jelas’, ngga tangan kosong pulang,” jawab ibu berperawakan tinggi besar itu, sambil membetulkan ujung selendang tipis, yang ia fungsikan layaknya kerudung (jilbab).
Mendengar jawaban polos ibu yang memiliki tahi lalat di puncak hidungnya itu, Nas, yang entah sejak kapan menguping pembicaraanku, dengan sedikit hentakan, menarik tanganku untuk berjalan menjauh dari tenda itu. “Udah lawei dengar, kan? Kebanyakan yang datang, cuma demi amplop, uang duduk. Bukan karena ingin tahu apa itu empat pilar! Kacau sudah kita masyarakat ini, lawei. Rusak!,”ketus Wak Nas. Hmmm, dari nada bicaranya, aku yakin, Nas, manyimpan kegusaran.
Dan aku pun, maklum. Nah, yang aku rasa menarik, sebenarnya, bukan soal ‘jelas’ tidaknya pertemuan itu. Tapi, soal pengakuan si ibu yang bilang, kegiatan seperti itu sudah terlalu sering digelar, hingga ia hafal pidato para politisi yang silih berganti menghelat acara serupa di daerah itu. Tapi, belum lagi aku selesai berpikir, terdengar lagi mulut Wak Nas meracau tak keruan. “Tak Habis pikir aku, lawei. Bertahun-tahun, selalu ada saja agenda kerja anggota MPR-RI sosialisasi empat pilar, termasuk soal perubahannya. Entah sudah berapa duit habis, tapi, hasilnya nggak jelas, percuma semua keknya. Tetap saja masyarakat nggak ngerti apa itu Empat Pilar!,” tukas Nas, sambil mendongak ke langit, lantas melepas kepulan asap tebal dari mulutnya. Tergelitik dengan ocehannya, aku pun bermaksud melontarkan sedikit pendapat.
Sialnya, belum lagi mulutku mulai berbicara, ia kembali menyela dengan ocehan-ocehan yang hampir tak kupahami karena diucapkan dengan tempo tak beraturan. “Apa memang MPR sengaja bikin masalah empat pilar ini jadi ‘proyek’ rutin tahunan, ya, makanya mereka terlihat santai walau masalah ini tak tersosialisasi dengan baik ke masyarakat? Atau, masyarakatnya kurang berterima? Hmmm, aku rasa walaupun parah, masyarakat nggak sejelek itu lah. Tapi, salahnya di mana ya?
Bahkan sampai anak-anak ku, anak tetanggaku, bahkan istriku, dan tetangga-tetangga, bahkan Ketua RT kami nggak paham soal Empat Pilar. Salahnya apa, ya? Cemmana lawei?,” tanya Nas, sambil menyodorkan sebatang rokok yang telah ia bakar ujungnya, hingga tak sengaja lenganku menyentuh ujung rokok yang menyala. Tapi lagi-lagi, rongga otakku tumpat, entah kenapa aku tak mampu memberi jawaban. Ya, sesaat aku cuma terdiam, sambil menghela nafas dalam-dalam, hingga terbesit ide yang rasanya bisa menjadi jawaban..
Ah, sial! Sekali lagi, ketika untaian kata nyaris meluncur dari rongga mulutku yang sedikit beraroma jengkol semur, Wak Nas kembali melontarkan ocehan, yang kali ini berhasil membikinku terdiam, dan tak lagi berbicara sepatah kata pun. “Ah, mungkin MPR ini harus berlajar teori pemasaran, belajar mem-branding program mereka, dan memasarkannya hingga mengena ke masyarakat, tepat sasaran, dan tidak buang-buang uang. Ah, entah kenapa lawei aku pikir, sudah saatnya MPR ini belajar cara pemasaran yang baik ke produser drama India Uttaran, atau, atau barangkali ke Wagub Jawa Barat yang berhasil dengan iklan so nice nya, atau yang dekat, ke Tulang Bupati kek, yang sukses dengan ikon Helikopternya dari Simalungun menuju Sumut. Tapi ah entahlah, lawei, ke Lapo Roy ajalah kita, pening aku,”tandasnya, dan diam. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H