Tak pernah terbayang saya mengajak anak-anak liburan ke Ngawi. Selama ini, saya singgah di kota yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah cuma untuk transit ketika ke Jogjakarta. Tak lama. Paling sekitar enam sampai delapan jam. Sekadar untuk melepas penat.
Tapi, di pertengahan tahun lalu, iseng-iseng saya bertandang ke kota yang terkenal dengan keripik tempenya. Awalnya untuk menjenguk saudara. Lha kok disuruh bermalam sekalian.
Kesempatan itu pun saya pakai untuk menjelajah Ngawi. Ada beberapa tempat yang sempat saya kunjungi. Di antaranya, Kebun Teh Jamus. Letaknya di Kecamatan Sine, sekitar 45 kilo dari Ngawi. Ya, kalau dihitung, butuh waktu 1,5 jam ke sana.
Aksesnya nggak terlalu sulit, kok. Penunjuk arahnya pun mudah dijumpai. Jalannya juga bagus meski makin menyempit ketika sudah memasuki Ngrambe. Pemandangannya, wah jangan ditanya. Aduhai. Apalagi ketika hampir tiba di lokasi. Dengan sawah di kanan kiri serta perbukitan yang mengelilinginya. Udaranya juga sudah terasa sejuk. Beda dengan Kota Ngawi-nya.
Cuma, pastikan BBM kendaraan full tank karena sepanjang Ngawi hingga Kebun Teh Jamus, kami hanya menjumpai sekitar 2 SPBU. Padahal, jalannya kan naik turun dan berkelok saat hampir tiba.
Sebelum memasuki area Kebun Teh, kami membeli tiket masuk Rp 8 ribu termasuk satu paket teh yang terbungkus rapi. Ada beberapa jenis seperti teh hijau, hitam, dan melati.
Kebun teh tersebut memiliki luas wilayah sebesar 478,2 hektare. Luas tanah yang ditanami teh seluas 460 hektare, sedangkan sisanya, yaitu 60,2 hektare, ditumbuhi oleh tanaman pohon dengan batang kayu besar. Dengan adanya pepohonan rindang, kawasan Kebun Teh Jamus terasa semakin sejuk. Meskipun matahari sedang terik-teriknya, tapi udaranya adem dan anginnya kenceng.Sejauh mata memandang, yang terlihat hamparan kebun teh. Uniknya, bukit kecil yang ditanami oleh puluhan tanaman teh itu berbentuk piramida. Pohon teh tertata rapi serta jalan-jalan setapak di samping kiri kanannya membuat sekilas piramida itu berbentuk seperti Candi Borobudur. Karena itu, kebun teh berterasering itu dinamakan Borobudur Hill atau Bukit Borobudur.
Di bawah perbukitan teh itu terdapat hamparan ilalang yang kalo buat spot foto, keren banget. Dari area itu juga tersedia beberapa pos pantau. Pemandangan eksotis pegunungan dan perkotaan dari ketinggian terpancar dari pos tersebut.
Jangan lupa membeli jagung bakar untuk menemani menikmati keindahan alam di sana. Untuk oleh-olehnya, apalagi kalau bukan aneka macam teh yang dikemas.
Setiba di lokasi, saya sempat bertanya-tanya, mana sih bentengnya? Karena, saya cuma melihat gundukan tanah yang ditanami pepohonan hijau. Ternyata, sebuah bangunan megah tampak di baliknya, ketika saya menyeberangi jembatan.
Memasuki lebih dalam lagi, saya mendapati lapangan terbuka yang luas dengan dikelilingi pilar-pilar kokoh layaknya bangunan Belanda. Saya juga sempat memasuki beberapa ruang-ruang di dalam bangunan itu. Sayangnya banyak dinding yang terkelupas catnya, atapnya yang ambruk, dan ruangan yang ditumbuhi ilalang. Tak terawat.
Di dalam benteng itu terdapat ,makam Muhammad Nursalim, salah seorang anak buah Pangeran Diponegoro. Juga, ada sumur tua yang konon katanya sebagai tempat pembuangan mayat-mayat rakyat setempat yang bekerja rodi membangun benteng ini.
Aktivitas lain, pengunjung bisa menaiki All Terrain Vehicle (ATV) untuk keliling di area benteng. Jujur saja, saya cukup terganggu dengan keberadaan wahana itu.
Untuk mempercantik benteng,Pemkab Ngawi siap melakukan renovasi. Semoga pemugaran segera tuntas, sehingga bangunan tetap terawat dan menjadi cagar budaya yang bernilai bagi penguatan kepribadian bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H