Mohon tunggu...
Ria Utami
Ria Utami Mohon Tunggu... Editor - Blogger

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Makin Mahal, Tak Jadi Soal

31 Oktober 2015   22:37 Diperbarui: 1 November 2015   09:14 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita itu bikin saya terhenyak. Tetangga saya meninggal dunia. Dia masih muda, masih berusia sekitar 35 tahun. Yang bikin saya trenyuh adalah istrinya harus menanggung sendiri biaya hidup dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Selama ini, suaminya lah yang jadi tulang punggung bagi keluarga itu dan satu-satunya warisan dari sang suami adalah rumah mungil serta tabungan dengan jumlah tak banyak.

Tak terasa air mataku ikut mengalir ketika sang istri yang juga akrab denganku menangis sesenggukan di pundakku. Dia sama sekali nggak ada firasat bakal ditinggal selamanya oleh suami yang terkena serangan jantung. Seketika itu juga, pikiran saya pun menerawang jauh. Rasa ketakutan menyeruak. Bagaimana kalau tiba-tiba saya atau suami harus menghadap pada Sang Pencipta? Bagaimana dengan anak-anak kami? Bagaimana agar mereka tetap bisa memiliki kehidupan yang baik dan punya daya juang tinggi meski ditinggal orang tuanya?

Rasa ketakutan yang tak terbendung itu membuat saya dan suami berpikir, bekal apa yang bisa diberikan kepada anak-anak jika kami nantinya tidak bisa lama mendampingi mereka. Hingga kami sepakat untuk memberikan pendidikan terbaik bagi mereka.  

Seorang penerima hadiah nobel ekonomi 2015 yaitu Angus Stwart Deaton mengatakan bahwa kemiskinan bisa diubah jika mendapatkan pendidikan. Karena itu, ayahnya yang berasal dari keluarga sederhana sampai menghabiskan banyak dari gajinya untuk pendidikan Deaton di Inggris.  (Kompas, 17 Oktober 2015). 

Ya, saya juga masih yakin kalau dengan pendidikan, seseorang bisa bertahan hidup. Kita lihat saja, setiap tempat kerja selalu menjadikan ijazah sekolahnya sebagai syarat formal dalam menjaring para pekerja.

Beruntung bagi mereka yang tidak kesulitan dalam membiayai anak anaknya di sekolah. Namun ada sebagian orang yang merasa biaya pendidikan sangat tinggi. Di Indonesia, meski inflasi hanya berkisar sekitar 3,75 persen, namun kenaikan biaya sekolah bisa mencapai 15 persen.  

Suatu ketika, saya datang ke Edufair di Surabaya, sebuah pameran yang menghadirkan sekolah-sekolah mulai jenjang playgroup sampai SMA. Segebok brosur peserta pameran pendidikan anak itu bikin mata melotot.

Sebuah TK uang pangkalnya Rp 18.500.000, uang sekolah per bulan Rp 1.900.000. Tingkat SD, uang pangkalnya Rp 39.600.000, bulanannya Rp 2.500.000. SMP, uang pangkal Rp 30.500.000, uang bulanan Rp 2.350.000. Ada juga sebuah SMA uang pangkalnya Rp 40.000.000, uang bulanan Rp 4.000.000.

Itu belum masuk universitas. Saya mencoba searching di beberapa website.

Biaya masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan umum atau PMDK umum atau non-prestasi tenyata benar-benar selangit. Di perguruan tinggi negeri sekelas Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, biaya masuk ke fakultas tertentu, seperti Fakultas Kedokteran Umum, bisa mencapai Rp 800 juta.

Biaya sebesar itu disebut secara resmi sebagai sumbangan partisipasi pembangunan pendidikan (SP3). Padahal, biaya tersebut baru sebagai uang masuk. Untuk biaya kuliah per semester, mahasiswa jalur PMDK non-prestasi ini masih harus membayar lagi. Dalam pengumuman resmi di situs unair.ac.id, disebutkan bahwa minimal SP3 Fakultas Kedokteran Umum Unair adalah Rp 150 juta. Angka tersebut bisa meningkat sampai Rp 800 juta seperti yang disebut di atas karena SP3 ini diterapkan secara dinamis dengan mengikuti minat dan tren pendaftar. (kompas.com, Rabu, 21 Juli 2010).

Saya bergidik ngeri membayangkan berapa biaya pendidikan yang harus saya dan suami tanggung untuk ketiga buah hati kami. Kenyataan itu, otomatis menjadi tantangan bagi kami untuk menyiasati biaya pendidikan sejak dini. Apalagi dengan gaji kami yang pas-pasan.

Kami sendiri bukan termasuk keluarga yang mendewakan pendidikan formal berbiaya mahal. Kami memilih sekolah yang biayanya terjangkau dan lokasinya dekat rumah agar tidak lelah di jalan. Dengan biaya pendidikan yang tak terlalu mahal, kami bisa menyisihkan uang untuk kursus musik yang jadi minat anak kami. Ya, kami ingin mewujudkan impiannya juga untuk menjadi musisi atau guru piano. Hal itu jadi pertimbangan bagi saya dan suami untuk bisa terus membiayai pendidikan formal maupun non formal bagi anak-anak demi meraih cita cita mereka. 

 

Ada beberapa pilihan yang kami lakukan untuk merencanakan pendidikan anak-anak

Pertama adalah investasi pada properti.  Kalau ada uang berlebih,  kami membeli tanah kecil kecilan.  Bukankah nilai properti dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan tergolong produk yang resistance terhadap krisis.  

Kedua, saya dan suami memilih asuransi pendidikan untuk antisipasi biaya pendidikan anak-anak kami. Kami memilih AXA Mandiri. Kepercayaan kami pada AXA Mandiri sangat tinggi, mengingat reputasinya yang merupakan bagian dari AXA Group, salah satu perusahaan asuransi dan manajemen aset terbesar di dunia, dengan 161.000 karyawan melayani lebih dari 103 juta nasabah di 59 negara. AXA juga telah diakui oleh Interbrand sebagai merek asuransi nomor satu di dunia selama enam tahun berturut-turut (2009-2014).

Asuransi pendidikan AXA Mandiri menawarkan solusi yang relatif lengkap. Ketersediaan perlindungan, jaminan nilai dana pendidikan, serta ketersediaan manfaat dana tunai membuat kami memilih asuransi jenis itu.

[caption caption="Warisan buat si abang"][/caption]

Tawaran premi pun tidak memberatkan. Kami mengambil premi senilai Rp 3,6 juta per tahun dan dibayarkan selama 10 tahun. Dengan demikian, dana premi secara total untuk pendidikan minimal Rp 36 juta. Namun, AXA Mandiri memberikan bunga investasi dengan perkiraan nilai premi yang nanti bisa dicairkan tidak lagi Rp 36 juta melainkan menembus Rp 40 juta.

Asuransi pendidikan mungkin bukan pilihan tepat untuk investasi. Namun, patut dicoba sebagai 'jaring pengaman' layaknya tabungan. Tapi, bedanya dengan tabungan. Jika penabung meninggal dunia, maka uang yang bisa diambil adalah sebesar saldo terakhir. Sedangkan di asuransi pendidikan AXA Mandiri, jika pengangsur premi meninggal, tanggungjawab mengangsur berada di AXA-Mandiri. Menguntungkan nasabah, kan? Yang jelas, dengan asuransi pendidikan, ada jaminan bahwa di ujung penantian terdapat dana yang bisa dicairkan, nilainya signifikan, dan tentu akan meringankan beban kami dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak yang terus meroket.

Kami juga tidak pernah tahu kapan risiko akan datang. Ya, usia seaeorang siapa yang tahu? Kita boleh lah berencana, tapi Tuhan yang menentukan.  Karena itu,  sedia payung sebelum hujan. 

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun