Mohon tunggu...
Anak Nusantara
Anak Nusantara Mohon Tunggu... -

Anak Pulau tanpa batas di Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teroris, Ternyata...

14 November 2011   15:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sebenarnya sedikit mengantuk ketika menaiki bus ini. Pukul 2, habis makan siang. Tak ada yang aneh maupun istimewa dengan bus ini. Warna hijau euceuy. Sticker ”Cinta Ditolak, Dukun Bertindak” menghiasi bagian belakang bus. Bagian samping digambari corak garis-garis besar warna merah dangdut. Tempat duduknya pun sudah agak lapuk. Rapat berdempetan. Sengaja agar bisa banyak menghimpit penumpang. Tiang-tiang besi untuk berpegangan dan gantungan berwarna kuning keroncong menancap dengan kuat di atas langit-langit dan lantai aduhai nan jijai.

Aku masuk sambil komat-kamit, menuju tempat duduk di bagian belakang. Hanya ada satu tempat duduk kosong. Di sebelah seorang ibu-ibu yang asyik mengunyah petai hijau. Mulutnya komat-kamit menikmati biji berkalsium tinggi itu (-maka-nya bisa jejengkoleun atau pepetean kalo kebanyakan makan). Semacam kain selendang ulos melingkar asimetris di bagian atas rambut. Jepitan rambut hitam (yang biasa buat jepit konde itu loh....), menancap di sisi kiri kanan kepala. Salah satu ujungnya tergerai menutupi belahan dada. Aku dudukkan pantat dengan keras. Aku terhenyak dan terdiam. ”Sialan, keras banget ni bangku... bau petai pula..”

Sejurus (kungfu kali...) kemudian aku berdiri dan melangkah ke pintu belakang. Ku panggil pedagang botol mineral di bawah. ”Aqua bang. Satu”. Kusodorkan uang lima ribuan lewat pintu. Kembali ke bangku, lalu ku baca lagi novel ’Penyihir Bantat’, volume 3 yang baru kemarin ku beli. Tidak bisa konsen. Kututup dan kumasukkan novel ke dalam tas solempang hitam. Aku perhatikan lagi langit-langit bus yang sedikit berjamur. Kabel warna-warni berlipatan menempel. Dari ujung belakang ke ujung depan. ”Aneh... kok banyak kabel ya... ”. pikirku

Di bagian depan, sebelah kiri, duduk sejoli yang dimabuk asmara (kelihatannya sih). Kepala si gadis pura-pura terkulai lemas di dada kanan sang jejaka. Sementara lengan si jejaka memeluk erat bahu si gadis. Erat sekali. Sambil jari-jemarinya mengelus rambut hitamnya. (ya rambut si gadis lah... masak rambut supir seeeh).

”Hari gini.... jam 2 siang... apa gak bau tuh ketek”. Ketusku iri dalam hati. Memang, kalau sudah cinta, ketek bau pun seharum parfum. Keringat pun serasa minyak nilam.

Di pintu masuk, bagian tengah, duduk seorang pria berkopiah haji warna putih. Masih muda, mungkin sekitar 35an. Wajahnya keras, tapi cukup tampan. Kumis janggutnya panjang terurai. Dipahanya tergolek tas hitam. Hhmmm tas hitam. Aku coba tebak-tebak isinya... mulai dari buku, mangga, beras, duit, duren, sampai ke bom. ”Ya, bom. Kenapa nggak? Bisa saja kan bom”. Pikirku.

Di sebelahnya duduk seorang wanita muda. Berpakaian sopan dan tertunduk terus, memandangi HP kuning yang dipegangnya erat-erat. Mirip tekukur yang tepekur. Mereka tidak saling bicara.

Tak berapa lama, sang supir masuk dan mulai menstarter bus. Tenang, namun pasti. Bus mulai bergerak maju perlahan. Lurus ke depan (ya ke depan lah, masak ke samping seh... emang matrix bisa nyamping...). Serempak semua penumpang menghela nafas lega – dan bau. ”hhhm.... Akhirnya... berangkat juga”.

Semakin lama bus melaju semakin kencang. Kemudian perlahan berhenti, ketika memasuki satu belokan curam. Si Supir keluar pintu dan berbicara dengan kernet. Keduanya memutari bus. Mungkin untuk memeriksa, apakah ada baut atau mur yang copot. Supir masuk kembali ke tempat duduknya. Tiba-tiba, dari belakang si kernet berteriak keras. ”hantaaaaammmm je...”.

Bus pun langsung menghentak keras ke depan. Seperti dikomando, serentak seluruh penumpang menjerit kaget. Ada yang melengking, parau, juga ada yang fals alias sumbang. Pria di seberang tempat dudukku --yang sedang mangap mau melahap sate telur puyuh yang dibeli sebelum berangkat-- terhuyung keras ke depan. Satenya terlempar jauh, kemudian jatuh tepat menimpa pundak seorang laki-laki berpakaian putih dengan kacamata Ray Ban ceng dem (seceng adem). Aku tidak melihat lagi apa yang kemudian terjadi dengan laki-laki itu, karena penumpang di sebelahku bener-bener terhuyung sampai hoyong jauh. Jatuh terjerembab di kursi penumpang sebelah kanan. Tepat di depanku. Aku berteriak keras... ’Mak lu di rodooookkk ’. Kaget.

Teriakan suci ’Allahu Akbar’, ’Tuhan Yesus’ dan sumpah serapah saling bersahut-sahutan. Jadi mirip adu nge-rap antara Opick vs Victor Hutabarat vs Doel Soembang. Kacau semua jadinya. Tapi bus terus melaju kencang. Oleng ke kiri dan kanan. Seperti tanpa arah. Salip mobil kiri kanan. Bunyi klakson kaget dari mobil lawan arah bersahut-sahutan. Semua penumpang mencoba duduk lengket di kursi. Muka mereka semua pucat pasi tanpa basa-basi. Tangan meremas tempat duduk atau memegang besi pegangan di kiri kanan mereka. Ada juga yang menceracau berdoa. Tangan di dada, memohon keselamatan. Keringat dingin bercucuran keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun