TARGET dan TEKANAN, dua kata yang erat di telinga karyawan swasta. Target dibuat dengan tujuan agar perusahaan dapat terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Namun tidak sedikit perusahaan yang menetapkan target yang sangat tinggi atau mungkin di luar kemampuan SDM perusahaan tersebut. Meskipun, demi mencapai target yang tinggi tersebut karyawan akan diiming-imingi dengan bonus/ insentif besar.
Iming-iming bonus untuk mencapai target kerja menjadi ajang perlombaan sendiri di kalangan karyawan. Hal ini menjadi dilema yang bisa bermakna positif dan negatif di saat yang bersamaan. Bermakna positif apabila target tersebut dilihat sebagai sebuah motivasi yang meningkatkan kinerja karyawan. Namun bermakna negatif saat target ini dipandang sebagai tekanan pada diri karyawan. Dilema inilah yang tidak jarang disalahartikan karyawan dengan menghalalkan cara-cara yang melanggar hukum demi tercapainya target.
Setiap karyawan tentunya mendambakan bonus/insentif yang besar. Namun menurut penulis, konsep bonus/insentif ini sering kali disalahartikan oleh manajemen. Kita bukan lagi berbicara soal achivement atau prestasi kerja namun menjadi sebuah keharusan yang apabila tidak tercapai akan ada konsekuensinya. Sifat wajib inilah yang akhirnya menjadi tekanan bagi individu karyawan sendiri yang ternyata beririsan dengan tekanan sosial sekitarnya, seperti:
1) Tekanan dari atasan (adanya pressure dari atasan yang mewajibkan karyawan untuk mencapai target tidak peduli problematik yang hadir dalam prosesnya)
2) Tuntutan kebutuhan gaya hidup (kebutuhan individu yang selalu meningkat mengikuti pergaulan lingkungan sosialnya)
3) Tuntutan kebutuhan keluarga (adanya tuntutan dari istri/suami/orang tua terkait meningkatnya kebutuhan hidup mereka)
Dilema-dilema di ataslah yang menjadi faktor-faktor karyawan yang akhirnya memutuskan memilih jalan yang melanggar aturan demi mendapatkan uang tambahan.
Ketika menghadapi dilema-dilema di atas tidak sedikit karyawan yang melakukan fraud baik itu disengaja maupun karena keterpaksaan. Keadaan ini akan lebih buruk apabila sudah tertanam kebiasaan fraud yang terbentuk dalam lingkungan kerja. Penulis pernah menjumpai fenomena tsb di tahun 2021, di mana mulai terbentuk kebiasaan fraud dalam suatu kantor untuk memenuhi target. Apabila melihat laporan keuangan target perusahaan memang tercapai di tahun 2021 walaupun pandemi melanda industri di seluruh dunia. Namun apa yang terjadi di tahun 2022? Satu per satu kasus fraud terungkap mulai dari hal sepele yang dilakukan satu orang sampai yang masif dan struktur dan mengakibatkan kerugian hingga miliaran rupiah. Faktanya bukan hanya terjadi di satu kantor saja namun di beberapa kantor di berbagai wilayah Indonesia.
Kerugian yang harus ditanggung perusahaan akibat fraud ini bukan hanya secara meteriil tapi juga nama baik perusahaan dan nama brand yang selama ini dijaga pun terkena dampaknya. Kenapa hal ini bisa terjadi? Target dan Tekanan jawaban singkatnya. Karyawan yang tidak mampu menahan kedua tekanan tersebut, memilih mengambil jalan pintas dengan melakukan fraud demi tercapainya target.Â
Penulis agaknya mengkritik sikap manajemen dalam beberapa kesempatan yang menurut pendapat pribadi penulis tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Bagi para pemangku kebijakan tertinggi harusnya peka dengan permasalahan mulai dari akar (bawah) bukan hanya fokus pada angka hasil finalnya saja . Tidak mencapai target sama saja dicap karyawan gagal. Pola pemikiran demikian tentunya hanya akan berfokus pada kuantitas saja bukan kualitas dari hasil yang dicapai.
Pressure yang begitu tinggi dari atas sering kali membuat karyawan putar otak mencari cara kreatif yang salah. Membangun perusahaan yang baik harus diiringi dengan SDM yang baik pula. Rasanya tidak ada perusahaan di top dunia yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Mencapai kondisi ideal di mana target tercapai tanpa adanya fraud memang tidaklah mudah, namun disinilah peran sentral bari manajemen untuk bisa membawa karyawan-karyawan di bawahnya mencapai hasil dengan kualitas baik.
Target memang penting namun apakah yang utama? Menurut penulis corporate value memainkan peran yang penting dan utama dalam arah perkembangan perusahaan bukan target. Corporate value akan menjadi tidak bernilai apabila dari top manajemen tidak menjalankan corporate value tersebut. Mekanisme top down menjadi alternatif solusi yang paling baik di Indonesia. Menurut pengalaman penulis perubahan dari tingkat bawah sangat sulit dilakukan karena begitu banyak hambatan yang akan dialami baik itu aturan, atasan, kebiasaan, dsb. Sedangkan perubahan di tingkat level manajemen cenderung lebih mudah karena dengan man power yang lebih sedikit namun akan memberikan dampak yang luas bagi perusahaan itu sendiri. Manajemen sudah sepatutnya menjadi garda terdepan untuk mempraktikan bagaimana cara mencapai target namun dengan tetap menjunjung corporate value.
Apakah artinya target perusahaan tidak perlu tinggi? rasanya tidak tepat juga pernyataan yang demikian. Target yang ideal tetap diperlukan untuk tumbuh kembang perusahaan. Namun menetapkan target tentunya perlu mempertimbangkan faktor-faktor tantangan dari level bawah. Rasanya dengan mempertimbangkan masukan dari mulai level bottom to top, maka perusahaan akan bertumbuh dengan cara yang benar bukan sekedar hasilnya saja yang bagus namun juga kualitasnya. Jangan sampai timbul mindset di level operasional bahwa target merupakan kewajiban yang apabila tidak tercapai akan ada konsekuensi berat.Â
Fraud bukan berbicara soal nominal kerugian namun tindakan yang tak sepatutnya dilakukan. Penulis beberapa kali menemukan kondisi di mana pelaku fraud memulai kejahatannya dari hal kecil, namun saat tingkat toleransi fraud ini ada dalam diri karyawan hal inilah yang memicu terjadinya fraud lebih besar ditambah lagi untuk mencapai target dengan iming-iming bonus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H