PANGGUNG sejarah kebangsaan negeri ini juga dihiasi oleh tokoh-tokoh empatik yang berperan dalam menjaga harmoni persaudaraan dan kerukunan sesama anakbangsa. Tokoh-tokoh yang memberikan sumbangsih sesuai kapasitas diri dan profesi mereka; tokoh-tokoh yang dengan lisannya sangat sensitif dan toleran menjaga kerukunan sesama anakbangsa…
Saya pun teringat Yap Thiam Hiem, Karim Oey (Haji Junus Jahja), Siaw Liem Piet sastrawan yang ayah kandung Soe Hok Gie & Soe Hok Djin (Arief Budiman).
Saya teringat kepada nasionalisme heroik John Lie, maestro badminton Rudy Hartono (Nio Hap Liang atau Hatuonuo), Susi Susanti-Alan Budikusuma (Wang Lian Xiang-Goei Ren Fang), teringat kepada Steve Liem Tjoan Hok (sutradara Teguh Karya), Buby Chen (musisi jazz terkemuka), sejarawan Onghokham, para perintis pers nasional seperti Hauw Tek Kong, Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (penulis dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri), PK Ojong, ekonom Kwik Kian Gie, seniman-pengusaha Jaya Suprana (Phoa Kok Tjiang), Oei Hong Kian dokter gigi Presiden Sukarno yang menuliskan memoarnya yang sangat menyentuh…
Saya teringat kepada para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang ikut merumuskan dasar-dasar Indonesia menjadi negara yang merdeka, antara lain Oei Tiang Coel, Oei Cong Han, Ten Eng Hoa, Lim Koen Hian…
Di tengah ingatan-ingatan itu saya bertanya-tanya dimanakah ‘’tempatnya’’ Ahok yang lisannya sering tajam mengiris-ngiris perasaan masyarakat, yang sampai hari ini seperti tidak berkeinginan menata gaya dan content komunikasinya kepada publik. Bukan supaya menjadi santun dibuat-buat melainkan supaya selayaknya empatik dan toleran.
Ahok jelas bukan Bang Ali.
Bekas Menteri Perhubungan Laut era Sukarno itu tentara tulen. Main tendang dan main tempeleng itu perkara biasa. Bang Ali keras tetapi tidak kasar. Wibawa dan kharisma yang dia bangun karena integritas pribadinya. Sampai akhir hayatnya misalnya tidak ada bumbu-bumbu cerita yang menyebut Bang Ali terlibat korupsi, jadi centeng cukong, apalagi sampai merendahkan jabatan dengan menjadi karyawan perusahaan pengembang…
Bang Ali kontroversial tetapi hatinya benar-benar buat rakyat. Telinganya dia tempelkan di perut Jakarta buat mendengarkan kebutuhan warga, hasilnya antara lain cagar budaya Condet buat masyarakat Betawi, proyek jalan kampung bernama proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin), terminal-terminal bus di lima wilayah Jakarta, gelanggang-gelanggang remaja, Pusat Kesenian Jakarta, planetarium, pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di pelosok-pelosok kampung kota Jakarta, dan sebagainya.
Waktu peristiwa kerusuhan Malari 1974 meletus sebagai penguasa Jakarta Bang Ali lebih memilih memperlihatkan empati kepada masyarakat yang menjadi korban, ketimbang masuk dalam pusaran intrik politik yang melibatkan para jenderal yang mau berebut kekuasaan.
Seperti dicatat oleh sejarah setidaknya ada bayang-bayang tiga jenderal dalam peristiwa Malari, yaitu Sumitro, Panggabean, dan Sudomo.
Waktu api dan asap Malari masih berkobar dan mengepul Bang Ali naik mobil dinas keliling Jakarta sambil pegang handy talkie. Di sepanjang jalan dia minta laporan dan memerintahkan anak buah supaya membantu warga yang jadi korban dan malamnya bersama Hariman Siregar, Bang Ali berbicara di TVRI untuk menenangkan warga Jakarta.
Ketika terjadi kerusuhan Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 di kantor pusat PDIP, lokasi peristiwa di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tidak jauh dari kediaman Bang Ali di Jalan Borobudur. Pagi itu dengan pakai piyama tidur dan sandal Bang Ali berdiri di dekat lampu merah Megaria mencoba menenangkan suasana, tetapi suasana sudah telanjur chaos. Melihat Bang Ali hadir di lokasi sejumlah perwira tergopoh-gopoh mendekat sambil menyimak arahan Bang Ali supaya warga sekitar tidak jadi korban, apalagi di dekat lokasi kerusuhan terdapat bangunan SD yang murid-muridnya sedang belajar.
Dimanakah ‘’tempatnya’’ Ahok waktu dia meminta ribuan aparat keamanan supaya memblokade warga Kalijodo yang kebetulan di lokasinya terdapat segelintir preman saja, dan selebihnya adalah warga sipil biasa, kanak-kanak, para orang-orangtua, perempuan, dan warga yang lemah…?Â
Selain image arogansi kekuasaan, citra diri lainnya dari Ahok ternyata adalah tabiat NEO-FASISME.
Untuk lari dari substansi persoalan hukum reklamasi Ahok mencoba ‘’memprovokasi’’ untuk berpolemik di media massa dengan Menko Rizal Ramli. Di sisi lain Ahok juga terkesan mengadukan persoalan ini ke Presiden Jokowi. Sang Menko Rizal Ramli dengan rileks meminta supaya Ahok jangan cengeng, dengan menarik-narik Bapak Presiden ke kubangan lumpur persoalan yang dibikin oleh Sang Ahok sendiri…
Di kalangan jurnalis beberapa dekade yang lalu ada wartawan senior bernama Mochtar Lubis yang digelari wartawan berkepala granit, wartawan jihad, gara-gara saking tekun dan bersungguh-sungguhnya dia menyampaikan kebenaran di dalam pemberitaan… Rizal Ramli bukan hanya berkepala granit, tetapi juga Menteri Pejuang… Selamanya pejuang, baik ketika di luar dan di dalam kekuasaan.
Jadi, Ahok salah alamat dan kualat mencoba melawan Rizal Ramli, yang mungkin di tahun 1978 Ahok masih pakai celana buntung dan pegang balon mainan warna-warni sambil minum susu kaleng, di saat yang bersamaan Rizal Ramli sudah dikejar-kejar Soeharto karena menentang kediktatoran dan ketidakadilan, dan untuk nilai-nilai kebenaran itu Rizal dipenjarakan oleh rezim fasis Soeharto.
Dimanakah ‘’tempatnya’’ Ahok sekarang? Benarkah citra dirinya adalah sosok anti korupsi seperti yang disangka-sangka sebelumnya oleh banyak kalangan, ketika di kaki dan tangannya kini menggelantung dua kasus besar yaitu Kasus Reklamasi dan Kasus Rumah Sakit Sumber Waras, yang terus mengikutinya kemanapun dia melangkah…
Dukungan terhadap citra dirinya yang arogan dan neofasis nampaknya hanya berkutat di dunia maya atau dunia sosmed, itu pun hanya dilakukan oleh segelintir atau sekelompok ‘’TERORIS’’ SOSMED belaka. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H