siswa mengendarai sepeda secara ugal-ugalan. Tanpa helm, knalpot brong dengan suara bising yang memekakkan telinga. Mereka "menggeber" sepeda motornya di tengah padatnya arus lalu lintas. Kita yang masih memiliki kewarasan pikir hanya bisa mengelus data, tanpa bisa berbuat apa-apa. Apakah yang sesungguhnya terjadi atas fenomena ini? Siapakah yang paling bertanggungjawab jika sebagian kecil anak-anak kita menunjukan perilaku deviant  seperti ini.
Sebagian diantara kita mungkin sering menyaksikan sekumpulanMembangun karakter siswa melalui penguatan sikap disiplin tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi warga sekolah. Cita-cita untuk membentuk karakter siswa yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila masih membutuhkan waktu, kerja keras serta partisipasi semua pihak. Maraknya kasus bully yang  melibatkan siswa hingga saat ini masih kerap mewarnai pemberitaan media cetak maupun elektronik. Diskursus tentang perilaku deviant atau menyimpang dari sebagian siswa masih sering memenuhi ruang publik. Berbagai bentuk tawaran solusi alternative  untuk mengatasi permasalah tersebut pun sudah banyak disuarakan oleh para pakar maupun pemerhati pendidikan. Namun, toh kasus-kasus bernuansa kriminal yang melibatkan siswa belum bisa dikendalikan. Bahkan ada indikasi kualitasnya naik. Kasus seorang siswa Madrasah Aliyah ( MA) di Kota Demak yang nekad menganiaya guru hanya karena hal yang sepele yakni guru tidak mengijinkan anak tersebut untuk mengikuti kegiatan ujian karena mengabaikan tugas, atau siswa yang "mengetapel" guru hingga menyebabkan bola matanya cacat, mungkin adalah dua  contoh konkrit perilaku deviant siswa yang tidak  lagi hanya sekedar kenakalan biasa, namun mengarah pada perilaku kriminal. Masih banyak kasus-kasus perilaku kriminal yang dipertontonkan oleh siswa yang bisa kita temui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik maupun media sosial.
Kita tentu boleh marah, kecewa atau mungkin :mengutuk" perilaku deviant tersebut, Namun hal itu tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Mengutuk, menggerutu, hanya akan menambah beban carut marutnya pembinaan disiplin di sekolah. Namun yang pasti, fenomena ini mengharuskan warga sekolah yakni kepala sekolah, guru maupun orang tua untuk mengatur strategi baru atau mungkin mengkalkulasi ulang bentuk perlakukan atau treatment yang diberikan kepada para pelanggar disiplin di sekolah.Â
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan upaya-upaya reflektif. Tindakan refleksi tersebut  dibutuhkan untuk mengurai benang kusut maraknya perilaku menyimpang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Diharapkan melalui tindakan reflektif terbut kita menemukan akar masalah yang sesungguhnya.Â
Jangan-jangan benang kusut penegakan disiplin di sekolah merupakan dampak dari kebiasaan usang kita yang lebih mengutamakan pemberian sanksi berupa hukuman fisik maupun non-fisik, ketimbang penerapan disiplin positif. Atau bisa jadi, maraknya pelanggaran disiplin tersebut sebagai konsekwensi dari glorifikasi perilaku menyimpang yang "diumbar" di berbagai flatform media sosial (Â medsos ).
Meski akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan, tampaknya  membumikan disiplin positif bagi seluruh warga sekolah menjadi sebuah keniscayaan. Disiplin positif selama ini masih belum terlalu dikenal oleh warga sekolah. Dibutuhkan berbagai upaya dan strategi agar implementasi disiplin positif di sekolah bisa berjalan dengan baik. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam mengimplementasikan disiplin positif di sekolah  adalah mengubah pola pikir guru. Dari kebiasaan "menghukum" bagi siswa yang melakukan pelanggaran ke pola yang lebih humanis dan restitutif.
Lynn Lott Penulis Buku "Positive Dicipline in The Classroom " mendefinsiikan disiplin positif sebagai sebuah pendekatan yang mengajarkan anak-anak keterampilan sosial emosional dan keterampilan hidup yang membantu mereka sukses di sekolah dan dalam kehidupannya.Â
Sejalan dengan Lynn Lott, Jene Nelsen Penulis Buku "Positive Disipline" menyebutkan bahwa disiplin positif merupakan bentuk pengajaran yang menekankan siswa untuk memahami konsekwensi yang harus ditanggung akibat tindakannya, dan sekaligus mengajarkan mereka untuk mampu berpikir kritis serta bertanggungjawab terhadap perilaku mereka. Bukan hanya sekedar menyampaikan bahwa memberikan hukuman tidak akan memberikan dampak positif bagi perkembangan psikologis siswa, namun apa yang disampaikan Lynn Lott dan Jane Nelsen tersebut mempertebal  garis segragasi antara menghukum dengan penegakan disiplin positif lengkap dengan akibat yang ditimbulkannya.
Disiplin positif bisa diterapkan di sekolah jika guru-guru mengetahui bahwa setiap tindakan atau perbuatan siswa memiliki alasan atau motivasi. Menurut Diane Gossen (1966) ada tiga hal yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan. Pertama, untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Kedua, untuk mendapatkan imbalan, serta yang Ketiga untuk menjadi orang yang diinginkan sekaligus menghargai diri sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya. Idealnya, siswa harus pada posisi yang ketiga yakni melakukan sesuatu lantaran mengejar nilai-nilai kebijaksanaan yang ada di tengah masyarakat.
Entah karena kurang membaca referensi atau kurang literat, para guru tampaknya kurang memahami tiga konsep tersebut. Mohon maaf, masih banyak ditemukan guru yang terjebak pada ilusi bahwa sebagai sosok yang digugu dan ditiru, dia mampu mengubah perilaku peserta didik menjadi patuh pada apa keinginanya. Masih sering dijumpai perilaku guru yang memaksakan kehendak dengan dalih "penegakan disiplin". Sehingga ketika seorang siswa melakukan pelanggaran secara serta merta guru langsung menjustifikasi bahwa siswa tersebut telah melakukan pelanggaran dan wajib untuk diberikan sanksi berupa hukuman. Sangat jarang guru mencari sebab musabab kenapa siswa melakukan tindakan tersebut.Â
Bisa jadi apa yang pelanggaran disiplin tersebut sebagai bentuk kegagalan kita untuk memfasilitasi siswa untuk memenuhi lima ( 5 ) kebutuhan dasar yakni : kebutuhan bertahap hidup, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan penguasaan, kebutuhan akan bebebasan, serta kebutuhan akan kesenangan. Nah jika saja pelanggaran tersebut diakibatkan oleh kegagalan guru membuka kanal pemenuhan lima kebutuhan dasar tersebut, tentu konsekwensi jangan serta merta ditimpakan kepada siswa.