Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Repatriasi Bahasa Ibu, di Tengah Gempuran Bahasa Asing, Melalui Bulan Bahasa Bali

11 Februari 2023   21:02 Diperbarui: 11 Februari 2023   21:04 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini merupakan tahun kelima pelaksanaan Bulan Bahasa Daerah ( Bali ) di Provinsi Bali. Bulan Bahasa Bali tidak hanya disambut dengan euphoria di sekolah-sekolah, namun juga merambah sampai ke setiap desa di Bali. Kondisi ini tentunya memberikan angin segar bagi upaya untuk melestarikan Bahasa Bali sebagai salah satu Bahasa daerah warisan leluhur yang memiliki nilai adiluhung, di tengah gempuran makin kuatnya desakan untuk menguasai Bahasa asing.

Pemerintah Propinsi Bali melalui Peraturan Gubenur Bali Nomor 80 tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali, menetapkan pada setiap Bulan Pebruari dilaksanakan kegiatan Bulan Bahasa Bali. Kegiatan tersebut dapat diselengarakan oleh desa adat, lembaga pendidikan, swasta dan/ masyarakat. Bentuk kegiatan pelaksanaan bulan bahasa Bali yakni festival, lomba, pameran, pertunjukan, seminar dan kegiaan lain yang relevan dengan melibatkan masyarakat. 

Kebijakan Gubernur ini mendapatkan apresiasi luar biasa dari berbagai kalangan khususnya dari lembaga pendidikan. Hampir semua sekolah di Bali mulai dari jenjang TK/ Paud hingga SMA/SMK dengan penuh semangat melaksanakan kegiatan Bulan Bahasa Bali sesuai dengan batas kemampuan yang dimiliki. 

Ini membuktikan bahwa di tengah era kesejagatan yang disinyalemen telah menggerus sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Bali masih ada secercah harapan tentang arti penting pewarisan budaya tak benda kepada generasi berikutnya. Tulisan ini akan mencoba untuk membahas pentingnya repatriasi dan revitalisasi Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu dan dikaitkan dengan makin masivnya desakan kebutuhan penguasaan bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya dalam pergaulan internasional.

Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 36 Bab XV UUD 1945 bahwa bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara. Bahasa daerah merupakan entitas kewilayahan yang sarat dengan nilai budaya dan sekaligus menjadi fondasi bagi perkembangan budaya nasional termasuk perkembangan bahasa nasional. 

Sebagai sebuah kebudayaan keberadaan bahasa daerah dalam kontek eksistensi sebuah kawasan atau region bukan saja merupakan sebuah kebanggaan namun juga merupakan lambang atau identitas daerah dan sekaligus sebagai alat komunikasi dalam masyarakat. Dengan kata lain "meninggalkan" penggunaan bahasa daerah identik dengan mengabaikan lambang dan identitas kewilayahan dan sekaligus "memutus" komunikasi dengan komunitas sosial yang paling dekat.

Dalam kaitannya dengan penggunaan Bahasa Bali, fenomena tersebut tentunya sangat dirasakan. Sejak beberapa tahun belakangan ini ada kecendrungan orang Bali lebih memilih menggunakan bahasa nasional atau bahkan bahasa asing dalam berinteraksi dengan orang lain. Fenomena " meninggalkan " penggunaan Bahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat khususnya di kalangan generasi muda atau generasi milenial, bukan hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga terjadi di daerah pedesaan. Ini tentunya sangat memprihatinkan.

Dalam pandangan penulis fenomena menurunnya animo generasi muda Bali ( baca kaum milenial ) untuk belajar Bahasa dan aksara Bali dilatarbelangi oleh faktor intrabahasa dan ektrabahasa Bali. Adanya stigma bahwa Bahasa Bali khususnya aksara Bali itu sulit dan membosankan hingga saat ini masih melekat di kalangan siswa. Percaya atau tidak di kalangan siswa belajar bahasa Bali atau aksara Bali sama sulitnya atau bahkan lebih sulit dibandingkan dengan belajar eksak seperti matematika atau IPA. 

Kondisi ini diperparah lagi dengan ketidakcakapan guru dalam pemilihan metode pembelajaran Bahasa Bali di kelas. Pemantauan penulis di sejumlah sekolah menunjukan masih banyak guru Bahasa Bali yang menggunakan model pembelajaran konvensional yang sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan tuntutan tehnologi pembelajaran yang paling uptodate. Akibatnya dari segi proses pembelajaran tidak efektif dan cenderung membosankan. Maka output-nya hanya sebatas kumpulan nilai pengetahuan yang tidak dibarengi dengan meningkatnya kompetensi keterampilan berbahasa Bali bagi para siswa.

Bercermin dari permasalahan tersebut, maka keluarnya kebijakan Gubernur Bali sebagaimana tertuang dalam Pergub Nomor 80 tahun 2018 tersebut hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk membangkitkan kembali semangat untuk memahami, mencintai dan menggunakan Bahasa dan Sastra Bali sebagaimana yang diharapkan para leluhur tanah Bali ini.

 Cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan menumbuhkembangkan kebiasaan berbahasa Bali di lingkungan keluarga. Orang tua hendaknya menjadi referensi hidup bagi putra-putrinya. Keteladanan dengan berbahasa Bali di rumah merupakan fraksis utama yang bisa dilakukan untuk melakukan repratiasi atas makin melunturnya kebiasaan berbahasa Bali di kalangan kaum milenial.

Para guru di sekolah harus mampu mengembangkan metode, model atau teknik pembelajaran Bahasa Bali yang bukan saja mampu membangkitkan semangat siswanya untuk belajar dan menguasai Bahasa Bali dengan cara yang menarik, tenpa ribet, serta lebih bermakna. Dengan demikian, mereka akan merasa bangga menjadi orang Bali. Penghargaan kepada guru Bahasa Bali atau penyuluh Bahasa Bali atau bahkan siswa yang memiliki kompetensi dalam nyurat aksara Bali perlu diberikan. Dengan demikian upaya repatriasi akan berjalan beriringan dengan upaya revitalisasi Bahasa Sastra dan Aksara Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun