Pak Rusdi ingat ketika hari itu sepulang dari kantor camat saat dia melintas di kamar Nurlela, istrinya karena hendak ke dapur mengambil air minum.
“Kak... kak Rusdi” suara parah Nurlela terdengar menyuruhnya masuk ke bilik dan mendekat kedirinya. Pak Rusli hati-hati duduk di samping Nurlela yang selalu berbaring karena sakitnya dan sang istri tidak pernah mau menerima tawarannya untuk operasi. Biarkan aku mati tanpa tersentuh pisau dokter, dan Pak Rusdi tak mampu mengugat kehendak sang istri.
“Usiaku tak lama lagi kak, beristrilah...”kata-kata Nurlela sejenak membuat Pak Rusli sulit bernafas. Digenggamnya tangan mungil Nurlela yang senantiasa dingin, sedingin es dalam lemari pendingin.
“Kamu tidak boleh bicara begitu..”Pak Rusdi berkata separuh menangis. Dia merasakan jiwanya hilang sebelah karena keinginan sang istri yang lain daripada yang lain.
“Kusarankan Jannah, dia wanita yang baik. Aku percaya dan yakin, dia akan bisa menggantikan diriku untukmu dan anak-anak...”Nurlela menyelesaikan kalimat panjangnya dengan susah payah.
Ternyata Nurlela serius dengan semua itu. Besoknya dia menyuruh Pak Rusdi untuk mengajak Jannah yang merupakan pegawai baru di kelurahan yang dinaungi kecamatan tempat Pak Rusli bekerja agar datang menemuinya. Jannah tak kalah kagetnya seperti Pak Rusdi. Nurlela memang istri istimewa bahkan dia rela menandatangani surat izin menikah lagi agar pak Rusdi tidak terkena peraturan PP 7 yang melarang PNS beristri dua, kecuali jika istri pertama mengizinkan.
Begitulah, semuapun bergulir dengan lancar sampai akhirnya Jannah yang memang sejak menjadi pegawai kelurahan dekat dengannya, menjadi istri keduanya.
--- bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H