Mohon tunggu...
Irwan
Irwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sayangilah Diri Kita dan Mereka Penderita Diabetes

5 April 2019   23:56 Diperbarui: 6 April 2019   08:26 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tahun 2014 adalah awal dimana ibu saya divonis mengidap diabetes oleh dokter. Ceritanya ketika itu penglihatan ibu saya mulai buram. Setelah di bawa ke dokter, mata ibu saya bukan minus atau plus melainkan terkena katarak. Setelah dilakukan cek gula darah oleh dokter ternyata hasilnya sangat tinggi, sekitar 400 lebih. Dokter menyarankan ibu saya agar mengontrol gula darah dan melakukan cek up rutin untuk menurunkan diabetesnya.

Setelah gula darahnya normal maka dilakukan operasi katarak dan alhamdulilah penglihatan sudah membaik. Sejak itu dokter menyarankan ibu saya harus sering cek gula darah, agar tidak merambat kemana-mana. Namun ibu saya karna takut ke rumah sakit, beliau hanya rutin minum obat met**min beli di toko obat.

Rutin hampir tiap hari ibu saya meminumnya, tujuannnya agar gula darahnya tidak naik. Setelah beberapa tahun, tepatnya tahun 2017, tiba-tiba kondisi ibu saya drop. Wajahnya pucat, lemah, tidak bisa konsentrasi, diajak ngobrolpun tidak nyambung. Setelah dibawa rumah sakit ternyata kadar kreatin ibu saya tinggi, gula darah tinggi dan HB nya sangat rendah, dokter mengatakan ada indikasi ke gagal ginjal.

Wajah panik bagi kami anak-anaknya, dan terutama ibu saya, beliau nangis karna takut kalau dokter menyuruhnya untuk cuci darah. Tapi ketika itu alhamdulilah dokter mentransfusi darah sebanyak 2 kantong tanpa cuci darah dan kondisi ibu saya membaik, sudah bisa ngobrol normal, dan tidak lemas.

Sejak itu dokter mewajibkan ibu saya cek up bulanan, tujuannya agar gula darah dan fungsi ginjalnya dapat di kontrol karna kadar kreatin yang tinggi. Lalu berobatlah ibu saya rutin setiap bulan di rumah sakit dengan dokter penyakit dalam.

Setahun kemudian kondisi ibu saya semakin memburuk, semakin sering keluar masuk rawat inap untuk transfusi darah, dokter menyarankan cuci darah adalah final. Karna fungsi ginjalnya semakin menurun. Karna ibu saya takut untuk cuci darah dan menolaknya, maka dokter merujuk ibu saya ke rumah sakit lain.

Di rumah sakit ke dua juga sama, dokter menyarankan cuci darah, namun ibu saya tetap menolak dan memintanya untuk diobati saja. Lalu dokter tidak memaksa ibu saya untuk cuci darah dan mencoba untuk mengobatinya. Namun tiap bulan kondisi semakin memburuk, hampir dua bulan sekali masuk rumah sakit untuk di rawat. Setiap malam sulit tidur, kakinya bengkak, dan badan gatal-gatal. Seringkali badannya lemas, mual, batuk, segala penyakit seperti muncul. Sedih melihatnya, dan bingung harus bagaimana.

Dan pada tanggal 20 Januari 2019 ibu saya ngedrop, tidak kuat jalan. Lalu setelah kami bawa ke rumah sakit, dokter menyarankan rawat inap, untuk dilakukan transfusi darah karna HB nya rendah, gula darah tinggi dan kadar kreatin yang tinggi. 10 hari dirawat kondisi ibu saya semakin memburuk, bicara melantur, sesak nafas, dan badannya bengkak-bengkak dan tidak bisa buang air besar selama 10 hari. Dan terjadilah apa yang kami takutkan selama ini sebagai anaknya.

Dokter yang menangani ibu saya sudah menyerah, kondisi ibu saya sudah kritis, sudah tidak ada lagi obat-obatan yang bisa membantunya. Dokter menyarankan untuk cuci darah,  karna fungsi ginjal ibu saya tinggal 7 persen.

Dokter memberitahu kami tentang segala resiko dengan cuci darah nya. Karna kondisi ibu saya sedang sesak nafas, maka harus di masukan ke icu untuk pelaksanaan cuci darahnya. Dan resiko henti nafas sangat tinggi, namun jika tidak dilakukan cuci darahpun kondisi ibu saya sudah kritis. Ketika itu sangat berat kami anak-anaknya memutuskan.

Apakah ibu saya harus cuci darah, pindah rumah sakit, atau pulang ke rumah. Tapi melihat kondisi ibu saya sangat sesak nafas berat kami tidak berani ambil resiko untuk membawanya pulang. Lalu kami berembuk akhirnya diputuskan untuk berikhtiar cuci darah lewat ruang ICU.

Satu hari setelah masuk ruang ICU kami anak-anaknya menjenguk melihat kondisi ibu saya. Hati begitu hancur dan sedih melihat ibu tercinta kami di pasang alat-alat dalam ICU. Harapan dan doa yang tidak putus dari kami anak-anaknya agar ibu saya bisa kembali pulih dan bermain bersama kami anak-anak dan cucu-cucunya.

Air mata menetes dari mata ibu kami setelah melihat anaknya, entah apa yang ingin beliau katakan, kami tidak dapat memahami karna ada alat pernafasan dimulutnya yang tidak bisa di lepas.

Tidak kuat rasanya menahan tangis, tapi kami berusaha agar jangan terlihat sedih di depan ibu kami yang sedang terbaring kesakitan di ruang ICU.

Suster penjaga mengatakan malam nanti ibu saya akan melakukan cuci darah yang kedua, dan sekaligus transfusi darah karna hb terus turun.

Ya allah, hati begitu hancur mendengarnya. Tak berhenti mulut kami mengucap doa kepada Allah SWT agar ibu kami diangkat penyakitnya. Kami tunggu semalaman, berharap ada hasil yang baik. Namun Allah SWT berkehendak lain, setelah di lakukan cuci darah kedua, ibu saya wafat. Beliau bertahan hanya 4 jam dari cuci darah yang kedua.

Lalu kami masuk ke  dalam, melihat jasad ibu kami sedang di copot alat, beliau sekarang sudah tidak sakit, beliau memang pernah bilang tidak mau cuci darah karna takut meninggal, ternyata memang benar.

Dan inilah akhir perjalanan ibu saya, semoga kisah ini bisa bermanfaat kepada siapapun yang peduli akan diabetes. Sayangilah mereka, dan sayangi diri kita. Bagaimanpun mencegah lebih baik dari pada mengobati. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun