Di atas sebuah becak bernuansa merah biru berpadu garis putih, sesosok tubuh tua renta terbaring santai, sembari sesekali mengarahkan pandangan matanya yang mulai mengkerut ke pusat keramaian. Ditemani temaram lampu jalanan sudut Malioboro-Reksobayan, tampak laki-laki ini tengah menunggu giliran pundi-pundi receh mengalir ke kantongnya.
Orang-orang memanggilnya Mbah Tono. Ngatono lebih tepatnya. Meski teknologi dan alat transportasi sudah berkembang demikian pesat, Mbah Tono masih asyik menjual jasanya mengayuh becak di pusat Kota Yogyakarta. Tak kurang dari 30 tahun pria kelahiran Ganjuran-Bantul 1960 ini menikmati lamat-lamat pembangunan di Kota Gudeg dengan berbekal si roda tiga.
“Dulu masih sepi. Kulo (saya dalam bahasa jawa halus) bisa sambil nyambi jadi sopir kulakan,” tuturnya. Mbah Tono dulu memang memiliki sebuah mobil yang digunakan untuk membawa hasil bumi orang lain. Tapi bukan di pusat kota seperti sekarang ini, melainkan di salah satu desa di Kulon Progo.
Meski demikian, tak sekalipun becaknya ia tinggalkan. Dengan becak, Mbah Tono seakan menemukan dunia yang dapat membuatnya berinteraksi dengan banyak orang. Lagi pula, mengenalkan kota kelahiran kepada para tamu merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi Mbah Tono.
Mbah Tono bukan sosok laki-laki biasa. Dia memiliki enam orang istri dan total 26 anak dari istri-istrinya. Tak seperti kisah-kisah di sinetron, keenam istri Mbah Tono hidup akur satu sama lain. Bahkan Mbah Tono dapat memperlakukan mereka sama adil, tanpa menelantarkan salah satunya.
Laki-laki ini juga tentu ingat saat kisah rumah tangganya sempat berawal muram. Beberapa puluh tahun yang lalu, Mbah Tono ditangkap karena menikahi istri pertamanya pada saat dirinya baru menginjak usia 16 tahun. Namun, semua itu tinggal kenangan. Kini beberapa anak-anak Mbah Tono sudah sukses sebagai polisi, tentara, dan guru. Sisanya, masih berada di bangku sekolah dan perguruan tinggi.
Jam menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Sepasang muda-mudi menghampiri Mbah Tono yang sedang asik membelai waktu di sela-sela waktu istirahatnya.
“Keliling-keliling pinten (berapa) Mbah?” sang calon pelanggan mulai mengajukan tawaran.
Mbah Tono diam sejenak. Ingatannya meluncur saat 30 tahun yang lalu, dirinya menarik becak dengan tarif 25 rupiah sekali jalan. Uang 25 rupiah pada tahun 80-an memiliki nilai yang cukup besar. Seiring waktu berjalan, nilai tukar uang semakin tinggi. Mbah Tono hingga kini sudah bisa mengantongi 50 ribu hingga 100 ribu per harinya dari menarik becak di sepanjang jalanan Malioboro.
Meski dengan penghasilan 100 ribu per hari, Mbah Tono tak sekali pun merasa kurang. Walau harus menghidupi keenam istrinya, laki-laki ini tetap bisa membagi uang hasil keringatnya dengan jumlah yang tidak banyak. Mbah Tono pun tak lupa untuk menyisihkan sebagian untuk diberikan kepada cucu-cucunya yang kadang berkunjung ke rumah sang kakek. Rasa syukur, menurutnya sebagai kunci rahasia untuk merasakan kecukupan dalam menerima nikmat dan karunia dari Tuhan.
Sebenarnya, anak-anak Mbah Tono tak tega melihat sang bapak yang sudah memasuki usia senja namun masih tetap gigih menawarkan jasa becak. Sudah beberapa kali Mbah Tono ditawari untuk berhenti dari pekerjaannya dan diam di rumah. Namun, menarik becak terlanjur melekat dan menjadi hobi dalam diri Mbah Tono. Sehingga pekerjaan ini tidak hanya dia anggap sebatas mata pencaharian, melainkan hobi, sebab dapat berkumpul dan bersilaturrahmi dengan banyak orang.