Di Indonesia, pemberantasan judi online masih jauh dari kenyataan yang diharapkan. Bahkan, di tengah upaya kampanye pemerintah untuk memberantasnya, muncul kasus-kasus yang mengejutkan. Beberapa pejabat di Kementerian Komunikasi dan Digital yang seharusnya menutup ribuan situs judi online justru terlibat dalam jaringan tersebut. Alih-alih memberantas, mereka malah memanfaatkan wewenang untuk memperkuat bisnis perjudian. Ini menjadikan pemberantasan judi lebih seperti ilusi di bawah sistem yang justru memberi ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (Kompas, 2024; Viva, 2024).
Ini bukan kejadian tunggal. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), aliran uang dari aktivitas judi online di Indonesia mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, terhubung dengan jaringan internasional yang sulit dijangkau oleh penegak hukum. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya berada di tingkat penegakan hukum, melainkan juga terkait sistem besar yang mendukung praktik-praktik yang tidak etis ini. Dalam sistem kapitalisme sekuler, prinsip bahwa "segala cara sah selama menghasilkan keuntungan" memberikan ruang bagi operasi perjudian dengan dukungan yang luas, termasuk dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Kapitalisme sekuler memisahkan nilai-nilai moral dari kehidupan publik, menganggap urusan spiritual dan agama sebagai urusan pribadi yang tak perlu dibawa ke dalam kebijakan negara. Akibatnya, praktik-praktik yang merusak masyarakat, seperti perjudian, dapat terus berlangsung selama mendatangkan keuntungan. Sistem tanpa basis moral yang kuat memungkinkan korupsi dan manipulasi kewenangan berlangsung dengan mudah, bahkan di antara para aparat yang seharusnya menjaga hukum dan moralitas publik.
Islam memandang persoalan ini dengan cara yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, judi adalah salah satu dosa besar yang mengancam moralitas dan stabilitas ekonomi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 90)
Islam tidak hanya melarang judi, tetapi juga menerapkan tiga pilar untuk memeranginya. Pertama, ada upaya membangun ketakwaan individu, di mana setiap Muslim menyadari bahwa judi adalah perbuatan dosa dan melanggar perintah Allah. Ketakwaan ini ditumbuhkan melalui pendidikan yang mengakar, agar setiap individu paham bahwa judi bukan hanya merusak diri, tetapi juga masyarakat. Kedua, kontrol sosial dari masyarakat, yang berfungsi sebagai benteng moral melalui prinsip amar makruf nahi mungkar, sehingga masyarakat berperan aktif dalam mencegah segala bentuk kemungkaran. Ketiga, penegakan hukum oleh negara dengan hukuman yang tegas bagi pelaku judi, baik itu yang terlibat langsung maupun yang terlibat dalam jaringan pengelolanya.
Islam menetapkan bahwa hukuman untuk penjudi tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan, tetapi juga untuk mendidik dan mencegah orang lain melakukan hal serupa. Dalam hukum Islam, sanksi bagi pelaku judi termasuk dalam kategori ta'zir-yaitu hukuman yang bentuknya disesuaikan oleh hakim berdasarkan tingkat keparahan pelanggaran. Hukuman ta'zir bisa berupa peringatan, denda, hukuman cambuk, atau penjara, tergantung seberapa besar dampaknya bagi masyarakat. Sebagai contoh, hukuman cambuk dapat diberikan untuk menciptakan efek jera, sementara denda atau penyitaan harta hasil judi menjadi pengingat bahwa keuntungan haram akan menimbulkan kerugian bagi pelakunya.
Berbeda dari kapitalisme yang melanggengkan penyimpangan melalui lemahnya kontrol dan sistem yang mendukung keuntungan material, Islam membentuk generasi yang memiliki moralitas yang tinggi. Pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan hukum agama, tetapi juga membentuk kepribadian yang memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan tanggung jawab sosial. Dengan sistem ini, individu didorong menjauhi dosa dan mengambil peran aktif dalam mencegahnya.
Dalam Islam, pemberantasan judi bukan hanya sekadar hukum yang tertulis, melainkan bagian dari keseluruhan sistem kehidupan. Negara dalam sistem Islam, yaitu Khilafah, memastikan bahwa praktik perjudian tidak punya tempat di masyarakat dan bahwa setiap aparatur negara amanah dalam menjalankan tugasnya. Sistem ekonomi Islam juga melarang semua bentuk transaksi yang melibatkan riba, perjudian, dan manipulasi, yang hanya akan menguntungkan segelintir orang dan merusak tatanan sosial dan ekonomi.
Penerapan syariat Islam secara kaffah memungkinkan pemberantasan judi secara efektif dan tidak sekadar menjadi wacana belaka seperti dalam sistem kapitalisme sekuler. Islam memberi solusi menyeluruh yang membangun masyarakat dari tingkat individu hingga ke negara, untuk menciptakan tatanan sosial yang bersih dari kemaksiatan. Hanya dengan kembali kepada syariat, permasalahan seperti ini dapat diatasi hingga ke akarnya dan masyarakat yang berkeadilan pun terwujud, jauh dari kemungkaran yang dihasilkan oleh kapitalisme.
Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H