Mohon tunggu...
anabella
anabella Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka banget baca buku (fiksi atau non fiksi), menulis, dan menggambar. Kalau nggak lagi baca novel atau nonton anime, aku biasanya sibuk main game atau nulis cerita sendiri. Semua itu caraku buat nikmatin waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ingatan yang Terperangkap

8 Desember 2024   08:10 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:47 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingatan yang Terperangkap

Aku berjalan pulang usai dari pemakaman nenek. Langit mendung mengiringi sepanjang perjalanan pulang, seolah-olah ia turut berkabung. Suasana di sekitar komplek pun terasa hening tapi ini terlalu janggal dan terasa aneh ini terlalu sunyi. Tapi aku teruskan berjalan agar cepat sampai di rumah. Terlihat rumahku di ujung jalan sana semua ini terasa janggal perasaan ini membuatku takut, setelah sampai di depan rumah dengan segera aku membuka pintu. Samar-samar aku mendengar suara yang saling beradu meluapkan emosi yang langsung menghantamku.

Haha mereka bertengkar lagi, apa lagi yang mereka ributkan kali ini? Suaranya sangat memekakkan telinga. Selalu, selalu, dan selalu bertengkar. Aku muak tapi aku hanya bisa berdiri kaku di dekat pintu, mencoba menenangkan diri. Selingkuh... Uang... dan Saudara... Kata-kata mereka terus melayang, menghantam dadaku, dan membangkitkan semua luka lama. Dadaku sesak aku tidak tahan lagi. Aku berbalik keluar dari rumah untuk mencari udara segar. Aku menatap tangganku yang gemetar, dulu waktu kecil disaat seperti ini biasanya aku pergi ke rumah nenek untuk mencari perlindungan. Namun sekarang berbeda nenek sudah pergi dan aku harus berusaha menghadapi ini sendirian.

Aku berjalan menuju taman komplek berharap mendapatkan ketenangan disana. Tapi diaat aku baru saja keluar dari halaman rumah aku melihat Nono, kucingku berlari melintasi jalan. Aku ingin memanggilnya tapi suaraku tercekat. Dari arah lain mobil melaju kencang dan semua terjadi begitu cepat. Bunyi klakson dan suara decitan ban membuatku panik, tubuh Nono yang kecil terpental ke pinggir jalan. Aku segera berlari mendekatinya "Tidak! Nono!" aku jatuh berlutut di samping tubuhnya yang kini terbaring kaku dan dihiasi oleh darah. Aku ingin meminta tolong kepada pengemudi mobil itu namun ia telah melarikan diri. Tanganku gemetar, air mataku mulai menetes. Segeraku bawa tubuhnya ke halaman belakang rumah untuk dikuburkan. Aku hanya bisa berharap Nono hanya pingsan, namun aku tahu itu tidak mungkin sebab darah nya terus mengalir keluar. 

Aku menggali tanah di halaman belakang dengan tangan gemetar, tubuh kecil Nono terbungkus baju putihku yang aku ambil dari tempat jemuran. Hujan gerimis mulai turun, hawa dingin mulai menusuk kulitku. Aku tidak peduli, tanganku terus bekerja menyingkirkan tanah dengan cangkul kecil yang biasa kupakai untuk menanam bunga. "Nono.... maafkan aku, aku nggak bisa jaga kamu," bisikku lirih. Tangisanku pecah air mataku bercampur dengan air hujan. Aku dengan segera meletakkan tubuh mungilnya dengan hati-hati saat lubangnya telah cukup dalam. Aku menimbunnya dengan tanah secara perlahan, setiap gerakan mengikis sisa kekuatanku. Aku sekarang hanya bisa melihatnya dari gundukan tanah ini.

Dunia disekitarku terasa hening, hanya ada suara rintik hujan yang menemani. Semua kejadian hari ini kenapa begitu menyakitkan? tapi perasaan ini, kesedihan ini, dan suasana ini sepertinya pernah aku lalui. "Ini sudah pernah terjadi bukan?" gumamku pada diri sendiri. Tapi ada yang berbeda kejadian hari ini mulai dari pemakaman nenek, pertengkaran, dan kematian Nono tidak pernah terjadi dalam satu hari. Dejavu menyerangku seperti pukulan yang keras untuk mengingatkanku. Aku mencoba menenangkan pikiranku yang kini berputar-putar. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa terperangkap. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pada diri sendiri. 

Semuanya perlahan berubah. Suara hujan perlahan-lahan menghilang, udara terasa semakin dingin, dan pemandangan sekelilingku perlahan memudar. Aku mengedipkan mata, mencoba memahami apa yang terjadi. Saat semua pemandangan sekelilingku mulai muncul lagi aku tiba-tiba berada di kamarku. Aku berdiri di samping jendela menatap ke halaman belakang tepat dimana makam Nono berada namun disana tidak ada gundukan tanah melainkan tanah yang telah datar dan telah ditumbuhi rumput hias. Lampu kamarku tidak menyala hanya saja lampu tidurku yang masih menyala. Bau lembab menyeruak ke hidungku. Tubuhku terasa berat, kepalaku pening. Aku menata tangan yang tadi kotor oleh tanah, tapi sekarang bersih tanpa noda. 

"Apa ini?" gumamku. Aku perlahan melangkah mundur, hingga aku menembus tubuh seseorang yang tengah tergantung. Aku mendongak dan aku melihat tubuhku sendiri tergantung di langit-langit kamar. Aku membeku, jantungku sakit. Tubuh itu.... diriku... Wajahku pucat, mata tertutup, dan bibirku membiru. Tali melilit leherku tampak begitu nyata. "Tidak... ini tidak mungkin," bisikku pelan dengan suara yang bergetar. Aku mencoba mendekat, tapi kakiku terasa berat. Napasku memburu, dadaku sesak. Aku menutup mulutku dengan tangan, mencoba menahan jeritan yang tertahan di tenggorokan.

Saat itu, aku hanya bisa menatap diriku sendiri yang sudah tidak bernyawa. "Harusnya, disaat kamu pergi kamu bisa merasakan kebahagiaan sekali saja." ucapku kepada tubuhku yang tergantung di sana. Aku sudah mati. Segalanya yang terasa janggal kembali mengingatkanku. Kepergian nenekku, pertengkaran orangtuaku dan kematian kucingku semuanya hanyalah serpihan ingatan yang kembali untuk mengingatkanku akan kehidupan yang aku lalui. Air mata ini kembali mengalir. Aku terjatuh ke lantai, hanya bisa memeluk lututku sendiri. "Kenapa? Kenapa aku enggak pernah bahagia? Bahkan kilas balik kehidupanku hanya ada kkesedihan disana," tanyaku entah pada siapa. Kamarku perlahan memudar menyatu dengan kegelapan. Aku dibiarkan sendiri, dengan hanya ada satuharapan yang tersisa. "Andai saja aku diberi kesempatan sekali saja untuk merasakan bahagia sekecil apapun itu".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun