Hari-hari ini saya rindu mengikuti ceramah dan tausiah kyai-kyai kampung. Ustadz-ustadz sekitaran rumah. Justru di tengah bergemuruhnya para ustadz kota dan tenar bermunculan di mana-mana bagaikan jamur di musim hujan.
Walaupun terkadang cara pemaparan kyai-kyai kampung ini sederhana, tidak terlalu banyak improvisasi, saya menemukan kesungguhan. Saya melihat ada pancaran yang berbeda dari dalam diri mereka.
Pengetahuan mereka umumnya tidaklah terlalu canggih. Cukup tekstual. Bahkan tidak jarang dasar-dasar amat. Tetapi, saya merasa ada sesuatu yang muncul kuat dari dalam.
Dari wajah-wajah dan penampilan bersahaja mereka, tak jarang ditemukan sosok yang menyimpan hikmah serta kedalaman ilmu agama jauh dibandingkan dengan kapasitas para pesohor itu.
Mereka tidak dielu-elukan atau disanjung-sanjung. Naik kendaraan butut. Kalaupun punya mobil, mobilnya juga tahun-tahun tua. Tapi, mereka begitu dekat dengan jamaah.
Beberapa waktu, masjid di tempat tinggal saya mendatangkan AA Gym untuk mengisi tausiah bakda subuh. Sholat subuh kali ini sungguh monumental. Mungkin pertama kali dalam sejarah: jamaah subuh meluber seperti sholat jumat di tanggal merah.
Usai tausiah AA mempersilakan jamaah untuk bertanya. Amran II​, salah satu jamaah bertanya:
"Aa... saya perhatikan selama beberapa tahun ini AA tidak pernah nongol di televisi lagi. Kenapa ya?"
Lalu pimpinan Pesantren Darut Tauhid itu mengatakan kurang lebih demikian:
"Saya cukup begini saja. Untuk apa terkenal? Saya sudah mengalami terkenal, tapi sungguh malah tidak enak. Dengan tidak seperti dulu, saya malah bisa kembali belajar untuk lebih baik lagi. Saya bersyukur ketika banyak yang menghujat saya, karena itu maka saya tidak silau oleh keterkenalan itu dan terus bisa memperbaiki diri untuk lebih dekat kepada Allah".
Menurt AA ketika seorang ustadz tampil di televisi, maka sudah tidak bisa menjadi dirinya sendiri sebagai seorang pencerah yang utuh. Mereka terikat kontrak, target jam tayang dan aturan-aturan teknik sajian dakwah televisi yang malah sering bertolak belakang dengan makna dakwah.
Seorang ustadz bagi media televisi tak lain hanya "produk tontonan" untuk mendulang iklan. Tidak jarang, seorang ustadz dihadirkan dalam sebuah acara tak lebih hanyalah pelengkap saja. Sisanya, hanyalah acara jingkrak-jingkrak dan lawakan-lawakan tidak bermutu.
Saya sendiri sangat jarang nonton televisi. Jadi tidak tahu seperti apa tayangan-tayangan Ramadhan televisi saat ini. Saya tidak tahu apakah acara hingar-bingar semacam YKS (Yuuk Kita Sahur) itu sekarang masih ada.
Kondisi semacam ini memang sudah berlangsung bertahun-tahun. Semakin tahun bentuk dan eskalasi makin luas.
Di jaman 'kejayaan' TVRI dapat dikatan tayangan-tayangan semacam ini masih proporsional. Tidak berampur aduk. Di era televisi swasta, semua bisa dikemas atas nama edutainment dan infotainement yang kering nilai-nilai dan substansi.[caption caption="Dakwah Artis dan Pelawak Kita, Koran Tempo 8 Desember 2001 (dok pribadi)"][/caption]
Empat belas tahun lalu, tepatnya 8 Desember 2001, saya menyinggung masalah ini di koran TEMPO melalui tulisan: "Dakwah Artis dan Pelawak Kita". Apa yang saya risaukan saat itu, sepertinya tidak berubah sampai hari ini.
Saat ini sepertinya kita sedang memasuki fase sejarah menuju kemunduran peradaban Islam. Di mana tuntunan (dakwah) hanyalah tontonan belaka. Sedangkan tontonan telah menjadi tuntunan./*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI