Hari ini, 66tahun lalu, kegentingan terjadi. Pria itu baru saja menghadapi sebuah penculikan oleh sekelompok anak muda. Tindakan itu dilakukan dengan alasan untuk menyelematkan pria itu dari kemungkinan buruk yang bisa menimpanya.
Sejak beberapa waktu lalu, mereka sudah mendatangi rumah pria ini, berdebat, medesak dan menantang penuh emosi, untuk memaksa pria ini segera membuat keputusan dan melakukan tindakan yang menurut mereka tidak bisa ditunda lagi.
Suatu malam yang sudah beranjak larut, ketika para pemuda itu meninggalkan rumah pria ini, mereka mengancam: ”Situasi mungkin memburuk besok. Para pengikut kami sudah gelisah. Kalau Bung tidak bertindak seperti yang telah kami janjikan, mereka akan menjadi liar. Bung harus bertanggung jawab dari apa yang terjadi itu.”
Pukul tiga menjelang subuh, pria itu masih terjaga. Ia tidak bisa tidur. Dia duduk di kamar seroang diri untuk makan sahur. Keadaan sekitar rumah sangat sepi. Semua orang sedang tidur. Ruang makandi rumah itu posisinya langsung menghadap pekarangan dan pintunya terbuka sedikit. Terdengar suara di balik semak-semak dan serombongan pemuda berpakaian seragam masuk secara diam-diam. Seorang pemuda membawa sebilah pisau panjang dan pistol. Dengan lagak seorang petualang sejati dia mencabut pisaunya dan menghardik,” Bersiaplah Bung… Waktunya sudah tiba.”
“Ya,”pria itu menjawab. Matanya menyala merah.
“Sudah tiba waktunya bagiku untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, kepalaku akan dipenggal. Engkau pun juga…begitu pun yang lain-lain. Mereka mati ada gantinya, pemimpin tidak. Kalau aku mati, menurutmu siapa yang akan memimpin rakyat, bila datangnya nanti?” Lanjut pria itu.
Muncul pemuda lain sambil mengayunkan pedang Jepang.”Itulah sebabnya kami akan melarikan Bung ke luar kota di malam buta ini. Sudah diputuskan untuk memindahkan Bung demi keamanan.”
“Ohh…’, pria itu mengehembuskan napas.
“Ini adalah tindakan yang salah, salah sama sekali. Tidak mengertikah kalian bahwa pemberontakanmu ini akan menemui kegagalan? Aku mengerti bagaimana kecintaanmu terhadap tanah air. Aku menghargai semangatmu itu. Tapi hanya itu yang kalian miliki. Kalian juga perlu taktik yang bijaksana dan otak yang dingin,” lanjut pria itu.
Para pemuda itu tetap ngotot. Pria itu sudah mengungkapkan isi hatinya, tetapi tidak ada pengaruhnya. Keputusan mereka tidak berubah.
Sejurus kemudian, pria itu masuk ke kamar menemui istrinya, Fatmawati. Wanita ini sedang duduk di tempat tidur, mendekap anaknya yang masih bayi di tangannya. Wanita ini sebelumnya telah terbangun oleh suara gaduh. Pria itu mengatakan agar istrinya supaya berpakaian dan secepatnya menyiapkan pakaian. Wanita itu tidak mengajukan satu pertanyaan pun. Dengan tenang dia mengerjakan apa yang telah dikatakan suaminya. Mereka berdua keluar. Mereka digiring untuk naik kendaraan yang akan membawa mereka ke suatu tempat. Mereka diculik! Mereka tidak tahu akan dibawah ke mana.
Di tengah perjalanan rombongan itu harus berehenti, manakalah bayi itu menangis karena harus minum susu dari ibunya. Yang menjadi masalah, bayi itu terbiasa minum susu formula yang dicampur ASI. Tadi sebelum berangkat sang ibu memang sudah menyiapkan susu formula itu di dalam tungku. Namun karena terburu-buru, susu itu tidak sempat dibawa.
Setelah menempuh perjalanan seharian, barulah mereka tahu bahwa mereka dibawah ke sebuah desa di Rengasdengklok. Para pemuda itu menjelaskan lagi alasan mengapa mereka harus diculik karena hari itu akan terjadi kegentingan. Akan terjadi revolusi melawan pendudukan. Mereka mengaku dapat menggerakkan rakyat untuk bergerak melawan bangsa berpostur pendek-sipit yang menjajah mereka. Mereka adalah anak-anak muda yang penuh gelora, namun tidak sabar dan miskin perhitungan.
Rombongan itu pun kembali ke Jakarta. Tidak terjadi apa-apa. Situasi Jakarta lengang. Di sudut kota, dari kendaraan yang mereka tumpangi terlihat asap kebakaran. Salah satu pemuda itunyeletuk,” Lihatlah! Itu sudah mulai. Revolusi sedang berkobar persis seperti yang kami janjikan. Jakarta sudah terbakar. Lebih baik kita cepat-cepat kembali ke Rengasdengklok.”
Setelah diperiksa, ternyata hanya seorang petani kurus, kecil, berpakaian compang-camping sedang membakar jerami.
Pria penuh wibawa ini menoleh ke pemuda yang berteriak tadi dan menertawakannya,”Inikah revolusimu?” Ia mengejek pemuda bernama Sukarni itu. “Ini bukan bumi hangus. Tidak ada pemberontakan besar-besaran. Tidak ada ratusan ribu orang yang menantikan isyarat untuk berontak. Ini hanyalah seorang Marhaen yang membakar jerami,” pria ini menambahkan.
Hari sudah tengah malam ketika pria itu tiba kembali di rumahnya bersama istri dan anak bayinya yang bernama Guntur. Entah apa yang ada di pikiran pria ini setelah melalui sebuah hari puasa nan penat. Penat karena harus mengikuti sebuah ‘revolusi yang konyol’ rekaan para pemuda tidak sabaran. Pun ia terima itu dengan hati lapang.
Beberapa menit lagi datanglah Jumat Legi. Tanggal 17 Ramadhan 1366 H yang juga bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Hari yang keramat.
Maka, demikianlah. Di pagi yang cerah itu, pria tampan penuh wibawa yang dicintai oleh rakyatnya dengan sebutan Bung Karno, mengumumkan sebuah kemerdekaan ke penjuru dunia./*
(Tulisan ini merupakan adaptasi dari Biografi Presiden RI Soekarno “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H