"Kalau cucu saya bisa meraih nilai raport rata-rata sembilan di setiap mata pelajarannya, itu tidaklah mengherankan. Tentu saya bangga. Namun, kebanggaan itu tidaklah begitu melambung. Bahkan bisa dibilang sesuatu yang wajar, karena dia tumbuh dalam situasi dan dukungan keluarga yang menunjang ".
Saya hanya terdiam. Penasaran, terus menyimak apa sesungguhnya yang ingin dia sampaikan.
Lalu bapak ini mengeluarkan isi amplop itu. Ternyata itu adalah hasil pengumuman Ujian Nasional (UN). Terpampang di situ nilai-nilanya. Rata-rata di atas angka enam, enam koma sekian. Sementara untuk pelajaran matematikan dan IPA lebih tinggi. Tujuh dan delapan.
Rupanya, pria ini tidak dapat menyembunyikan rasa haru dan syukurnya melihat gadis itu lulus UN dengan nilai yang baik. Dengan masih terbata-bata dan memerah matanya, pria di hadapan saya ini bercerita.
"Empat belas tahun lalu, anak ini saya pungut dari seorang ibu, yang karena suatu kondisi tidak menginginkannya. Dia mengalami keadaan yang tidak beruntung sebagaimana umumnya anak-anak lainnya yang memperoleh kasih sayang orang tua."
Bapak ini kemudian menceritakan, bahwa setahun lalu dia dipanggil kepala sekolah karena nilai-nilai Zarah demikian parah. Untuk semua mata pelajararan rata-rata nilainya hanya 2. "Saya akhirnya terpaksa menceritakan siapa sesungguhnya gadis ini, dan mohon kepada para guru untuk membantu".
"Ketika datang ke sekolah itu saya sengaja duduk di belakang di deretan undangan orang tua murid. Berharp akan mendapat kesempatan dipanggil terakhir kalinya sehinga akan ada kesempatan untuk berbicara dengan para guru. Saya sibuk menata hati dan perasaan saya, untuk menghadapi kenyataan jika anak saya benar-benar tidak lulus. Maka, sungguh saya tidak menyangka jika dia hari ini lulus dengan nilai yang membanggakan," papar pria ini.
"Perhatian dan kasih sayang para guru sekolah itu rupanya telah mampu mengubah motivasi dan mental Zarah," tambahnya.
Setelah menceritakan hal itu, berangsur-angsur nada suaranya kembali normal. Matanya tidak lagi berkaca-kaca. Terlihat sekali kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
Siapakah pria ini? Pria berumur 60 an mantan top eksekutif sebuah perusahaan multinasional ini, sejatinya juga memiliki anak kandung. Laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah hidup mapan dengan keluarga masing-masing.
Meski kedua anak kandungnya sudah tidak serumah, rumah yang besar itu, setiap hari tidak pernah sepi. Maklum, di rumah itu terdapat 23 anak dari umur 2 bulan sampai 15 tahun. Mereka datang dan masuk ke keluarga itu dengan cara dan sebab beragam dan tidak diduga. Entah mengapa demikian. Yang jelas, sebagaimana dituturkan pria ini, dia tidak pernah mencari anak-anak papa untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak dengan latar belakang yang berbeda. Ada yang ditemukan di terminal, anak yang ditinggalkan orang tuanya di angkot, anak yatim yang dititipkan orang, dan sebagainya.