Mohon tunggu...
Anab Afifi
Anab Afifi Mohon Tunggu... Konsultan -

Saya ingin mendengar dan belajar dari Anda serta memberi apa yang saya bisa @anabafifi

Selanjutnya

Tutup

Money

Nusa Tenggara, Kapan Gulita Itu Sirna?

25 Maret 2010   13:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saya tidak peduli dari mana aliran setrum itu berasal, dan bagaimana bisa nyambung ke rumah saya. Dan, apabila sedetik saja listrik itu mati, adalah hak saya untuk komplain, protes atau bahkan marah-marah kepada PLN karena sudah membayar.

Denpasar, April 2007. Itu adalah perkenalan pertama saya dengan industri kelistrikan nasional. Ketika saya memperoleh kesempatan untuk meliput masalah kelistrikan di pulau wisata tersebut. Lalu beranjak ke tempat-tempat lain mengamati dari dekat titik-titik layanan kelistrikan mulai dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Dari kota Semarang, Jakarta, Lampung, Palembang, Padang, Medan, Banda Aceh, hingga Pontianak di Kalbar. Jadi genap dua tahun dua bulan terhitung sejak April 2007 hingga saat mengunjungi kantor PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) dan Tangerang di Gambir, Jakarta Pusat, pada 1 Juni 2009.

Pengalaman tersebut, selain menghasilan sejumlah catatan berupa buku seputar kelistrikan di sejumlah wilayah, memberikan sebuah kesimpulan tentang isu pemerataan energi listrik. Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, 40 persen penduduk negeri ini belum menikmati aliran listrik. Data PLN menyebutkan, rasio elektrifikasi nasional saat ini baru mencapai 62 persen. Di Nusa Tenggara Timur, bahkan 76 persen penduduk berlum menikmati listrik. Entah masih berapa desa atau kampung yang sampai hari ini belum ada listrik. Juga pulau-pulau terpencil di negeri ini yang jumlahnya ribuan.

Sejumlah faktor menjadi sebab mengapa hal itu terjadi. Salah satunya faktor geografis. Kepulauan Nusantara yang tersebar luas, dan pulau-pulau yang terpisah, menjadi persoalan tersendiri. Menyambungkan aliran listrik dari satu pulau ke pulau lain merupakan tantangan yang tidak mudah. Baik menyangkut teknologi, investasi, serta aspek ke-ekonomiannya. Akibatnya, masih banyak daerah-daerah yang belum mendapat aliran listrik melalui sistem interkoneksi. Kalaupun di daerah-daerah tersebut sudah ada pembangkit listrik, katagorinya masih isolated, di mana aliran listrik dari pembangkit tersebut belum dapat dihubungkan ke daerah lain karena kendala geografis, seperti pulau yang terpisah oleh lautan.

Maka, sistem interkoneksi menjadi keniscayaan dalam rangka pemerataan energi listrik. Seperti yang sudah berhasil dibangun di Sumatera yang menyambungkan listrik dari ujung timur di Lampung hingga ujung barat di Banda Aceh selama tiga tahun sejak 2005 – Agustus 2007, mengikuti jejak interkoneksi Jawa-Bali yang jauh lebih dulu dibangun. Cerita interkoneksi Sumatera ini telah saya tulis dalam buku “Intekoneksi Kelistrikan Sumatera 2008” terbitan PT PLN (Persero) P3b Sumatera.

Perjalanan melihat titik-titik kelistrikan di berbagai wilayah, memberikan saya gambaran dari dekat tentang potret kelistrikan nasional dewasa ini. Meski tempat-tempat yang saya kunjungi itu belumlah seberapa dibandingkan dengan luasnya cakupan dan wilayah simpul-simpul kelistrikan di seantero negeri ini. Nusa Tenggara, salah satunya.

Nusa Tenggara, adalah potret gelap. Sampai hari ini rasio elektrifikasi di kawasan itu baru mencapai 34 persen. Artinya 76 persen kawasan itu gelap gulita. Namun demikian, seiring dengan program pemerintah bernama Percepatan Pembangkit 10.000 megawatt (MW), propinsi yang kaya potensi pariwisata ini tampaknya sedang mengejar ketertinggalan. Geliat pelaksanaan pembangunan ketenagalistrikan di Nusa Tenggara terus bergulir. Proyek-proyek pembangkit sedang dikekerjakan.

Pertimbangan strategis dan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah, menjadi alasan pokok. Pembangunan kelistrikan juga diharapkan akan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat. Guna mewujudkan hal ini, PT. PLN (Persero), April 2009 memulai proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Taman Jeranjang Lombok di Desa Kebon Ayu Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat.

PLTU Taman Jeranjang Lombok ini, terdiri dari 2 unit pembangkit listrik dengan kapasitas 1 x 25 MW dan 2 x 25 MW., serta akan mampu mengcover seluruh kebutuhan listrik di NTB termasuk supply bagi defisit daya listrik yang mencapai 10 MW dan penyediaan bagi 150 ribu pelanggan yang masuk daftar tunggu.

PLTU Jeranjang ini merupakan bagian dari pelaksanaan Perpres No. 71 Tahun 2006 yang menugaskan PT. PLN (Persero) untuk membangun pembangkit tenaga listrik yang menggunakan Batubara melalui Program Percepatan 10.000 MW.

Selain PLTU Jerangjang tersebut, beberapa proyek pembangkit yang juga ditangani oleh PT PLN (Persero) Pikitring Jawa, Bali dan Nusa Tenggara adalah: PLTU Atambua berkapasitas 4 x 6 MW di Nusa Tenggara Timur; PLTP Mataloko dengan kapasitas 1 X 25 MW berdasarkan kontrak sejak 2 Desember 2004; PLTP Ulumbu kapasitas 2 X 25 MW kontrak pekerjaan sejak 11 Februari 2008; serta PLTMH sentong kapasitas 0,85 MW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun