Mohon tunggu...
Anab Afifi
Anab Afifi Mohon Tunggu... Konsultan -

Saya ingin mendengar dan belajar dari Anda serta memberi apa yang saya bisa @anabafifi

Selanjutnya

Tutup

Money

Nusa Tenggara, Kapan Gulita Itu Sirna?

25 Maret 2010   13:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari beranjak senja ketika saya berkunjung ke sebuah desa di Kecamatan Selong, pinggiran kota Lombok Timur, pada Mei 2006. Perjalanan menuju desa ini dibutuhkan waktu sekitar tiga jam dari bandara Selaparang di Mataram, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Masyfi’i, pria beranak sepuluh yang sehari-hari dipanggil utadz itu, menyambut ramah. Usai melihat-lihat sekolah pesantren yang dia kelola bersama adik-adiknya itu, pembicaraan dilanjutkan di gazebo di halaman rumahnya yang lega.

Di sisi kanan halaman rumah itu, Masyfi’i mengolah kelapa menjadi minyak obat yang dikenal dengan VCO (virgin coconut oil). Lingkungan desa itu memang terdapat hutan pohon kelapa. Sekitar tujuh kilometer dari kampung Masyfi’i ada desa yang disebut Labuhan Haji. Itu adalah pelabuhan tempat berlayar orang-orang Lombok Timur berangkat haji, juga untuk mengapalkan kopra asal daerah itu ke Sulawesi dan daerah-daerah lain.

Tidak ada yang aneh dari desa ini. Kecuali aroma jalan-jalan yang khas. Kuda-kuda yang lalu-lalang menarik kereta angkut, meninggalkan kotoran di jalan-jalan dengan bau tidak sedap.

Saya baru sadar ada yang ganjil ketika berjalan bersama tuan rumah saat pulang dari masjid usai sholat maghrib. Jalan-jalan itu gelap tidak ada penerangan. Ditambah kiri-kanan jalan desa yang masih penuh dengan pepohonan lebat, kegelapan itu semakin terasa. “Ah, tentu sudah biasa kalau jalan-jalan desa tidak ada penerangan”, saya membatin.

Di rumahnya, Masy’fii menjamu kami makan malam dengan masakan khas Lombok Timur yang lezat: pelecing. Pelecing adalah sejenis kangkung. Tapi kangkung Lombok ini berbeda dengan kangkung biasanya. Konon, pelecing tumbuh di air. Tidak di darat seperti umumnya kangkung.

Kami duduk melingkar di lantai beralaskan tikar. Kebetulan juga ada tamu lain berjumlah dua orang. Jadi semuanya empat orang. Cahaya di dalam rumah itu tidak begitu terang. Kami makan dengan penerangan lampu petromak.

Saya berfikir, pasti karena listrik PLN sedang padam. “Di sini memang belum ada aliran listrik”, urai Masyfi’i seolah tahu apa yang ada dalam pikiran saya. “Listrik memang ada tapi sangat terbatas. Dialirkan dari disel swadaya warga desa”, tambahnya.

Hari gini ternyata masih ada desa yang belum dapat aliran listrik. Saya agak heran. Di desa saya, di daerah Madiun selatan, listrik sudah masuk sejak 1984 berbarengan dengan program Listrik Masuk Desa yang dicanangkan Pemerintah saat itu.

Perjalanan ke Lombok Timur itu menuntun saya pada pemahaman baru bahwa listrik ternyata masih menjadi barang mewah dan langka bagi masyarakat tertentu. Sementara itu bagi masyarakat lain, karena begitu terbiasanya hidup menggunakan listrik, maka ia telah menjadi “barang tidak berharga” sehingga sering kurang bijak menggunakannya.

Buat saya, juga jutaan pengguna lainnya, yang dipikirkan “bagaimana saya bisa tetap memanfaatkan listrik secara teratur baik untuk kebutuhan dasar sehari-hari, bekerja, hingga bersenang-senang”. Bahkan sering membuang-buang aliran listrik untuk hal-hal yang tidak perlu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun