Mohon tunggu...
Ana Aprilia
Ana Aprilia Mohon Tunggu... -

"Writing is a process of self-discipline you must learn before you can call yourself a writer. There are people who write, but I think they're quite different from people who must write." - Harper Lee

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Homs My Home

20 Juli 2014   12:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Kini aku genap berusia enam
tahun. Seharusnya ini menjadi tahun pertamaku merasakan bangku pendidikan. Sudah
lama aku mendambakan hal itu. Namun, di wilayahku kini tidak ada lagi sekolah.
Yang ada hanya sisa puing-puing bangunannya saja. Mimpiku hancur seketika saat
kekacauan itu terjadi di negara kami. Bermacam serangan muncul dari berbagai
arah, memusnahkan semua yang ada di depannya. Tak hanya bangunan sekolah dan rumah,
tapi juga raga-raga orang tak bersalah.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Aku tidak tahu banyak soal
kejadian mengerikan ini. Namun, orang tuaku sering mengatakan bahwa kita sedang
memerangi kejahatan. Menumbangkan rezim penguasa kejam dan melawan semua musuh
Tuhan. Mengganti kecacatan dengan kesempurnaan. Kata mereka, Ini lebih dari
sekedar berperang, ini tentang memperjuangkan agama Tuhan.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Ayahku adalah seorang
mujahid, orang yang membela agama Islam. Sudah sebulan aku dan Ibuku belum
melihat wajahnya. Selama sebulan ini kami tinggal di pengungsian, selama itu
pula ayahku berjuang di medan perang. Aku dan ibuku tidak berharap banyak atas
kepulangannya. Kami ikhlas jika dia harus menemui ajalnya di sana. Mati syahid adalah
cita-cita tertingginya.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Namun hari ini kami mendapat
kabar bahagia. Ayah meminta ibu dan aku meninggalkan pengungsian dan pergi ke
kota Homs. Kota dimana ayah bertugas. Kota dimana dulu kami tinggal, yang kini penuh
dengan mimpi buruk. Pengeboman, penyerangan, dan pembantaian telah menjadi
pemandangan sehari-hari di Homs.  Homsku
kini tengah menderita.  Tenggelam dalam
kepedihan yang tak dapat dilukiskan oleh kata.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Ibuku dan aku datang ke Homs
untuk sebuah tujuan; menolong saudara seiman. Sebagai seseorang yang pernah
belajar ilmu kedokteran, ibuku merasa bersalah jika ilmunya tidak dipraktikan.
Saudara-saudara kami yang terluka akibat serangan sangat membutuhkan uluran
tangannya. Selain ahli dalam bidang medis, Ibuku juga kini pandai menembak.
Keahlian itu ia dapatkan di tempat pengungsian. Selama sebulan penuh ia gigih
berlatih bersama para mujahidah senior. Aku sering berpikir, betapa kagum aku
padanya.  Dia mengemban tugas yang
sungguh mulia. Ia seorang Ibu, seorang sniper
sekaligus seorang dokter.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Sehari sebelum kepergian kami
ke kota Homs. Aku dan Ibu terlibat dalam suatu percakapan yang membuat hatiku
tercekam. Sebuah percakapan tentang hidup dan mati. Pergi ke Homs sama saja
dengan mempertaruhkan nyawa. Namun, entah mengapa, kabar gembira yang terlontar
dari mulut Ibu selalu berhasil melenyapkan kesedihanku.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">“Bagaimana jika dalam
perjalanan ke Homs tentara-tentara jahat itu menyerang kita, Ibu?” tanyaku
lirih. Kebimbangan mulai mengisi ruang hati. Semakin kuat. Tiba-tiba saja
cairan bening bergulir dari mataku, membasahi kedua pipiku.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">“Janganlah kau takut dan
bersedih hati Humaira, Allah ada bersama kita.” Jawabnya mantap. Dia kemudian
memeluk dan menciumku. Di tengah pelukan itu, aku berbisik.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">“Bagaimana jika... jika...  kita...” tenggorokanku tercekat. Ibu
memelukku lebih erat, sepertinya dia sudah tahu apa yang akan aku katakan.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">“Itu bukanlah hal yang perlu
ditakutkan nak. Mati syahid adalah sebuah cita-cita yang mulia. Dan jika kita
harus mati disana, maka berbahagialah karena surga menunggu kita... itu
janji-Nya yang sudah pasti.” Bendungan air yang tertahan di matanya akhirnya
jatuh dan meninggalkan bekas di kerudungku.

line-height:200%">font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">***

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Langit menangis ketika kami
tiba di Homs. Air matanya membasahi jalanan dan puing-puing bangunan. Semilir
angin pun membawa ceritanya sendiri. Aroma amis darah itu menyeruak lubang
hidungku. Kulihat ke sekeliling. Remang. Tidak ada penerangan di sini. Mataku
tidak terlalu jeli untuk melihat saksi-saksi bisu itu di pagi buta. Namun
pendegaran batinku masih cukup jelas untuk menangkap jeritan kota ini mengutuk
si penguasa laknat Assad.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">“Humaira...” Seorang pria
bertubuh kekar memanggilku dari kegelapan. Dia menyeret kaki kanannya yang
diperban. Rupanya dia Ayahku. Aku tak dapat berkata-kata, hanya berdiri
membeku. Dalam hati rasa syukurku meluap-luap. Sungguh, tak ada satupun kata di
dunia ini yang dapat melukiskan perasaanku saat melihat wajahnya lagi. Dia
mengangkat tubuhku lalu kami saling berpelukan. Hangat. Sekelebat firasat buruk
melintasi hatiku. Akankah ini menjadi pelukan terakhinya?

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Waktu sudah menunjukkan
pukul enam pagi. Sang fajar masih malu-malu menampakkan sinarnya. Di luar,
puluhan orang mengantre untuk mendapatkan jatah makanan yang hanya berupa roti.
Sementara itu, aku hanya duduk-duduk di teras depan klinik ditemani Sarah teman
baikku. Selama ini dia bertahan di Homs. Sewaktu kekacauan itu terjadi Sarah
dan keluarganya tidak sempat terevakuasi. Di teras itu kami tak banyak bicara.
Kini ia begitu pendiam. Namun, tatapan mata yang penuh pilu itu seolah bercerita
tentang semua kepedihannya. Kematian Ibu, Ayah, dan kakaknya meninggalkan luka
mendalam di hatinya. Ketika serangan udara itu berlangsung, salah satu bom
menimpa rumah mereka. Seluruh anggota keluarganya seketika meninggal ditempat
kecuali Sarah. Dia menyaksikan ketika potongan-potongan daging itu terlempar
akibat kuatnya ledakan. Darah bercipratan dimana-mana. Rumahnya hangus dan
luluh lantak. Sungguh malang nasib Sarahku. Selain kehilangan anggota keluarga,
dia juga harus rela kehilangan kaki kirinya.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Di teras depan itu juga,
dokter-dokter itu saling bercerita. Aku memandang, mendengarkan, meskipun
sebernarnya mereka tak ingin aku ikut mendengarkannya. Nada suara mereka sendu.
Tak jarang diselingi air mata. Satu persatu cerita horor itu memenuhi ruang
pendengaranku. Aku tenggelam diantara cerita-cerita itu. Cerita tentang
anak-anak yang dibunuh dan dimutilasi. Cerita tentang gadis-gadis remaja yang
diculik dan diperkosa. Cerita tentang rumah penjagalan manusia. Sesungguhnya hanya
orang-orang ahli neraka yang bisa melakukan itu.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US"> Sering aku berpikir, apakah dunia mengetahui
hal ini. Terutama saudara muslimku di belahan bumi lain, apakah mereka
mendengar rintihan kami? Hanya segelintir dari mereka yang benar-benar peduli! Padahal,
bukankah Rasul mengatakan bahwa umat muslim itu ibarat satu tubuh? Ketika kulit
tersayat maka mata ikut menagis. Ketika mata menangis maka jari-jari tangan
turut menghapus air matanya. Lalu, dimanakah kalian wahai saudaraku? Apakah kalian
telah menjadi anggota tubuh yang cacat yang kehilangan sensor rasa sakitnya?

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US"> Ketahuilah saudaraku, suatu hari kita semua
akan bertemu di hari kebangkitan. Pada hari itu darah para syuhada akan berbau
harum kasturi. Darah itu pulalah yang menjadi saksi atas perjuangannya mereka.
Tahukah apa yang akan mereka adukan pada saat itu? “Ya Allah mereka saudara
kami, namun mereka megabaikan kami pada saat kami kesulitan.” Pada hari itu
wajah-wajah para syuhada berseri-seri karena akan memasuki surga-Nya tanpa penghisaban.
Lalu bagaimana dengan kalian? Seluruh amal perbuatan kalian akan
dipertanggungjawabkan! Wajah kalian tertunduk takut karena catatan dosa-dosa
yang terlampau banyak. Bertobat tiada gunanya lagi pada hari itu. Sekalipun kalian
memohon diciptakan kembali untuk menjadi tanah saja. Tiada gunanya! Semuanya
telah final.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US"> Oleh karena itu, cepatlah berubah wahai
saudara tercinta. Sesungguhnya kami tidak memerlukan bela sungkawa kalian. Yang
kami perlukan adalah perubahan diri kalian. Mengubah pola pikir untuk
menyamakan tujuan. Yaitu mempersatukan umat untuk diatur dibawah kepemimpinan
yang Allah ridhai. Tak banggakah kalian ketika Islam sempat menguasai dua per
tiga luas dunia ratusan tahun lalu? Semua orang hidup bahagia dan diridai,
bahkan orang-orang non-muslim pun ikut sejahtera. Adakah secuil perasaan dalam
diri kalian untuk merebut semua itu kembali? Bangkitlah. Bangkitlah menjadi
pejuang-pejuang rabani. Sungguh, perjuangan ini tidak akan sia-sia, karena
kemenangan itu telah Dia janjikan dalam kitab-Nya yang suci. 

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Kurang dari sejam kami
berada di teras, tiba-tiba suara desingan peluru menggema. Lamunanku buyar. Semua
orang menjerit. Lengkingan Sarah paling mengerikan. Di belakang gedung seberang
klinik ada seorang pria tergeletak! “Allahu
Akbar
!” Seru ayahku yang berhasil menumbangkan salah satu pecundang yang
bersembunyi itu. Di tengah kepanikanku, seseorang menyambar tangan kiriku dari
belakang. Aku melompat kecil, kukira itu tentara Assad yang hendak menculikku
untuk ‘pesta’ mutilasi mereka. Ternyata itu Ibuku. Wajahnya pucat pasi. “Selamatkan
nyawa kalian! Pergilah ke lantai dasar bangunan! Pasukan penembak jitu Assad mulai
memasuki Homs!” teriaknya parau.

12.0pt;line-height:200%;font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:
EN-US">Dor! Dor! Dor! Dor!
line-height:200%;font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">rentetan
tembakan membabibuta warga sipil yang sedang berkerumun. Dua orang telah syahid
terkena keganasan tembakan mereka.  “Senjata! Senjata! Berikan aku senjata! Teriak
ibuku, tak lama ia pun mendapatkan apa yang diinginkannya. Kemudian digenggamnya
senjata itu. Dengan teliti ia membidik musuh-musuh di hadapannya. Dia
melancarkan serangannya dengan tiga tembakkan. Tak satupun meleset! Allahu Akbar!

12.0pt;line-height:200%;font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:
EN-US">Sniper
200%;font-family:"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Assad
semakin beringas melihat kawannya tertembak mati. Senjata mereka memuntahkan
peluru-peluru tanpa henti. Korban semakin banyak bergelimangan. Mereka berlumuran
darah, mengerang kesakitan. Sebagian banyak orang belum sempat berlindung,
termasuk aku. Wanita dan anak kecil adalah sasaran utama mereka. Beberapa kali
serangan sempat aku dapatkan, namun selalu meleset. Yang bisa aku lakukan saat
ini hanyalah berlindung di belakang Ibu.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US"> Pertarungan sengit itu semakin tak karuan. Dan
tanpa aku sadari, Ayahku telah terkulai lemah di tanah. Dunia rasanya berhenti
berotasi ketika melihatnya. Tubuhku seperti terlempar kuat ke lapisan langit
terluar yang hampa udara. Tenggorokanku tak mampu berteriak. Bukankah pagi tadi
ia masih bersamaku? Aku teringat bersitan firasat itu ketika kami berpelukan. Semua
menjadi kenyataan. Pelukan itu yang terakhir. Sebutir besi panas menembus dada
Ayah dan merenggut nyawanya. Ya Allah, kami ikhlaskan dia pergi bersama para singa-singa
pembela Islam lainnya. Ampunilah dosa mereka dan tempatkanlah mereka di surga
yang paling tinggi.

200%">"Times New Roman","serif";mso-ansi-language:EN-US">Tanpa sepengetahuan Ibu aku
berlari mendekatinya. Kusentuh nadinya untuk memastikan dia benar-benar telah
syahid. Sayangnya dugaanku tepat.  Assad.
Pria itu muncul di benakku. Aku geram sekali padanya dan semua antek-anteknya.
“Hei pecundang-pecundang Assad laknatullah! Takutlah pada azab Allah!” Seorang
pria berkumis tebal menatapku dengan kebencian. Aku balik menatapnya dengan
kehinaan. Dia memicingkan mata lalu  Dor! Aku merasakan sesuatu masuk ke
kepalaku, mengoyak isi tengkorak.  Ibuku.
Dia menangis sejadi-jadinya. Sebelum malaikat maut mengeluarkan ruhku, aku
sempat tersenyum pada Ibu. Aku harap ia menangkap pesan di balik senyuman
terakhirku. Teruslah berjuang Ibu sampai titik darah penghabisan. Ayah dan aku
menunggumu di surga-Nya. Teruslah berjuang ibu, sampai Islam bangkit kembali.
Genggamlah bara Islam itu di tanganmu, meskipun ini sungguh menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun