"Relawan", katanya. kata itu terlontar ketika salah seorang teman dari kami dihampiri warga dan ditanya sedang dalam rangka apa mengunjungi lokasi (maaf) kumuh mereka. Saya menoleh, ditimpalinya lagi oleh mereka dengan kata "ohh" sambil mengangguk lalu tertunduk dan berlalu. Begitulah percakapan pembuka, saat Saya bersama kelima volunteer lain atau jika di-indonesia-kan yaitu relawan menyambangi wilayah "kumuh" di sebuah kelurahan di makassar. Tidak sulit menemukan wilayah tersebut, jika telah berbelok masuk ke sebuah jalan kecil bertuliskan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di kelurahan Antang pada papan kayu, maka kita akan mengerti wilayah apakah itu, atau paling tidak setelah mengidentifikasi semerbak bebauan yang tertangkap indera penciuman. Ini kali pertama Saya kesini, meskipun niatnya telah membuncah beribu kali. Kunjungan dalam rangka menyelesaikan tugas terakhir kami, berbagi peduli terhadap lingkungan dengan anak - anak sekitar TPA dalam rangkaian program Action at Home. Mungkin pula dalam rekor kunjungan, Saya kalah sering dengan para calon legislator sehingga saat kami sambangi, pikir mereka kami caleg yang mungkin saja dalam "ritual"nya akan memberi mereka sesuatu sebagai cipratan gerakan pemenangan, mungkin. Tapi pikir mereka untuk disebut keliru pun tidak, bahwa kami datang dengan sebuah keinginan "memberi" sesuatu, ada benarnya. Tak banyak, hanya kepedulian.
Sebagai seorang relawan, dunia yang telah lama Saya jatuh hati padanya, Saya memetik banyak hal. Apalagi semenjak tercatat sebagai relawan untuk short term project -youth volunteer- dari lembaga kesukarelawan internasional yang berkantor pusat di Bali beberapa bulan yang lalu (sebentar lagi kantor untuk perwakilan Indonesianya tutup.. huhhuu *sedih), Saya belajar banyak. Termasuk tentang makna memberi.
Pada halaman aplikasi sebelum diperkenankan menjadi bagian project yang wajib kami isi, ada pertanyaan yang hingga sekarang terus Saya ingat, karena sulitnya Saya mengisi bagian tersebut kala itu. Bukan karena pertanyaannya berbentuk rumus kimia dimana angka yang saling berikatan dengan huruf- huruf tertentu yang (maaf) paling Saya benci (ini hanya masalah selera dan kemampuan memecahkan soal, hehe..), melainkan karena pertanyaannya yang begitu sederhana. Kurang lebihnya seperti ini, "Ceritakan pengalaman Anda di masa lalu, pernahkah Anda menolong orang lain (diluar lingkungan keluarga dan pertemanan)?"
Tombol keyboard terhenti sejenak. Pikiran Saya mulai menerawang ke masa lalu, menggali dengan detail, benarkah Saya pernah dalam situasi itu? ataukah hanya perasaan Ge eR Saya saja pernah melakukan hal demikian itu? Atau mungkin Saya pernah bahkan sering, hanya saja malu untuk menceritakannya apalagi mengetik lalu menyebarkannya dalam sebuah aplikasi melalui surat elektronik. Ahh malu bercerita kebaikan, aneh sekali. Pantas saja dunia semakin miskin inspirasi kebaikan lalu akrab dengan pencitraan. Yang buruk sibuk bersolek, yang baik malah menutup diri.
Setelah diterima, dan berjalannya program, kekecewaan Saya muncul. Banyak cita - cita "menolong" yang ingin Saya lakukan sementara program terasa hening tanpa tanda - tanda akan ada perubahan besar yang akan kami bawa untuk masyarakat pesisir khususnya bagi pola pikir dan hidup para pemuda(i) desa, lokasi penempatan Saya. Saya mulai menggerutu, mengumpat keputusan Saya untuk bergabung beberapa waktu yang lalu. Semangat yang terpompa sejak membaca pertanyaan "Pernahkah Anda menolong?" dalam halaman aplikasi, menguap sudah. Sementara, program - program sederhana bersama relawan Indonesia maupun relawan asing lainnya masih terus dijalankan. Namun, cita - cita awal Saya terlalu lebih besar dari itu semua. Saya datang untuk membawa perubahan ! Hati kecil Saya protes. Bermunculanlah niat untuk berhenti dini dari program. Meninggalkan tanggung jawab, mengubur cita - cita yang Saya bawa pada permulaan. Life must goes on ! Saya bertahan kembali, hingga akhir.
Sekarang program itu telah usai. Program pertama dan tanpa disangka sekaligus menjadi program terakhir diadakan di Indonesia oleh lembaga tersebut. Ending nya, Saya malah merasa sangat beruntung pernah menjadi bagian kecil didalamnya. Garis bawahi, bukan kecewa apalagi menyesal. Karena sekali lagi, tanpa Saya sadari bahwa Saya belajar banyak. Prinsip program, kami relawan akan tinggal, belajar, dan bekerja(ber)sama masyarakat ternyata dalam betul maknanya.
Makna, hikmah atau apalah yang sejenis dengannya ditempatkan Tuhan untuk lebih dimengerti selalu pada akhir cerita. Akhir program, Saya menangkap banyak kesan, perubahan itu harus berkompromi dengan waktu. Tidak perlu dipaksakan karena dia niscaya ada. Tapi perubahan seperti apa? Maka itulah yang diusahakan. Bahwa mengubah masyarakat tidak kalah sulitnya dengan mengubah diri sendiri. Mengubah pola pikir, kebiasaan, hanya saja dalam jumlah kolektif. Mengubah kebiasaan diri sendiri betapa sulitnya bukan? Lantas, apa yang bisa dipetik dari kata "mengubah dalam jumlah kolektif" itu? Ya, masalahnya adalah waktu. Waktu yang harus dikompromikan. Bercita - cita besar tidak salah, hanya perlu dimodifikasi sedikit dengan cara yang lebih sederhana agar relevan dengan waktu, apalagi dengan durasi program yang terlalu singkat untuk beragam (mega)masalah yang telah mengakar berteman akrab dengan kebiasaan masyarakat. "Perubahan itu tidak semudah ini, Ana.." kata seorang Programme Supervisor Indonesia sembari membalikkan telapak tangannya dengan senyum kecil dari sudut bibir. Senyum yang Saya kenang sambil tersenyum pula saat mengakhiri ketikan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H