Mohon tunggu...
Nur Khasanah Latief
Nur Khasanah Latief Mohon Tunggu... -

Penduduk negeri Panjat Pinang I mendambakan indONEsia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Resensi Novel "Hatta ; Aku Datang karena Sejarah"

4 April 2014   05:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan telah tumpah. Sementara payung bumi telah menjingga. Saya terenyuh. Kembali menyandarkan tubuh pada dinding kayu daun pintu. Duduk melantai memeluk sebuah buku setebal satu setengah senti. Membukanya kembali, mengulang beberapa bagian yang sempat menguras segala emosi, tumpah pula menjadi hujan kecil disudut mata. Buku bacaan itu saya tutup. Yang tinggal kini, Saya yang (masih) duduk melantai menghadap langit tersenyum puas dengan bacaan yang baru saja saya selesaikan.

“Sesuatu yang selalu mahal harganya : Kesederhanaan”..

Kalimat singkat itu menjadi pembuka pada laman pertama karya Sergius Sutanto. Sebuah buku yang berisi tafsir memoar penulis tentang catatan, surat – surat, dan kisah hidup Sang Proklamator, Mohammad Hatta. Membacanya seperti menyelami masa hidup Beliau, membuat terenyuh dalam pergolakan batin pada hampir setiap bagian hidupnya.

Hatta : Aku datang Karena Sejarah. Judul yang dipilih oleh penulisnya, membuat saya langsung jatuh hati. Betapa tiap bagiannya begitu menginspirasi. Jalan berkelok yang harus ditempuh oleh Bung Hatta bersama kawan - kawan seperjuangan kala itu dalam mempertahanakan prinsip dan kepribadian bangsa.

Atta kecil lahir dari keluarga kurang lengkap. Sang ayah, Haji Muhammad Djamil, sosok yang tak pernah dikenalnya secara langsung karena teramat pagi ia berpulang menghadap Tuhan. Usianya kala itu baru delapan bulan. Terlalu kecil untuk mengerti kesemuanya, bahkan paham arti kehilangan itu pun tidak. Adalah Siti Salehah, Sang Ibu tercinta yang lebih mengerti dengan (sangat) semuanya. Namun, diatas segala kehilangan yang terlalu dini, dirinya memilih tumbuh menjadi wanita kuat, mendidik Atta kecil dengan segala cinta dan penjagaan agar Atta tumbuh dengan bekal nilai - nilai religi dan semangat belajar yang tinggi.

Benar adanya, Hatta tumbuh menjadi anak yang begitu "lapar" ilmu. Mimpi besarnya ialah belajar hingga ke Mesir. Mimpi yang ditularkan oleh sang paman yang disapanya dengan Ayah Gaek Arsyad. Tempat segala tanya dan kegelisahan Hatta tentang banyak hal bermuara. Hatta belajar banyak. Hatta ingin belajar lebih di tanah Mesir, Kairo. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Layaknya seorang ibu, cinta Siti Salehah teramat besar. Pun dengan rasa khawatir jika Atta kecil harus terpisah jauh darinya belajar ke tanah Mesir. Saat itu usainya baru enam tahun. Atta tetap di Bukittinggi, lalu ke Padang melanjutkan sekolahnya. Ayah Gaek lah yang ke Makkah.Kejadian serupa terulang lagi, manakala Atta remaja kembali mengutarakan niatnya pada Mamaknya untuk melanjutkan sekolah ke Betawi. Cinta ibu tetap sama, pun dengan kekhawatirannya. Mungkin pengalaman kehilangan membuatnya seperti itu. Menunjukkan cinta dengan penjagaan kepada Atta adalah segalanya. Sulit bagi Atta remaja untuk mengerti terlebih menerima, hingga akhirnya waktu memberinya ilham dan penjelasan.

Genap berusia tujuh belas tahun, Hatta menginjakkan kaki di Betawi, melanjutkan studinya. Iklim akademis semakin dirasakannya. Buku menjadi teman setianya. Dua tahun setelahnya, negeri penjajah menjadi destinasi belajar selanjutnya. Disanalah ia mulai berkenalan dengan teman - teman perjuangan lainnya. Ahmad Soebardjo, Iwan Koesoema Soemantri, Natsir Pamontjak, Soekiman Wirjosandjojo, hingga yang paling dekat dengannya kemudian ialah Sutan Sjahrir. Bung kecil yang bagaikan sahabat keduanya setelah buku. Sjahrir kerap pula meminjam buku kepada Hatta.

..bahwa kebahagiaan manusia hanya dapat dicapai dengan menuangkan darah dan air mata".

Apa yang diucapkan Hatta kala pidato pengangkatannya sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia adalah benar. Kebebasan adalah sesuatu yang teramat mahal harganya. Betapa sel di tanah penjajah, pembuangan di Digul dan pengasingan Banda Neira menjadi saksi bahwa betapa berat beban yang harus dipikul, dan sungguh berkelok jalan yang harus dilalui untuk mempertahankan sebuah prinsip dan harga diri serta cita - cita kemanusiaan bahwa kemerdekaan itu tanpa pengisapan. Betapapun sulitnya kehidupan di tanah pembuangan, semangat kemerdekaan dan perjuangan Hatta bersama kawan - kawan setia, terkhusus Sjahrir, tetap berkobar. Hatta tetap aktif melemparkan gagasan dan segala kritiknya melalui surat kabar lokal. Tulisan yang juga membantunya bertahan hidup dengan upah yang didapat. Upah yang tak jarang pula ia bagikan kepada kawan - kawannya sehingga saling menopang hidup melewati kesulitan di tanah pembuangan.

Hatta yang tenang, dan Sjahrir yang selalu ceria adalah sepasang sifat yang saling melengkapi. Paham mereka sejalan, sosialisme adalah paham kemanusiaan. Mereka akhirnya berkenalan dengan Soekarno. Teman perjuangan berbeda latar belakang organisasi bahkan corak pemikiran. Kadang mereka sejalan, kadang pula berselisih paham. Tapi cita - cita tetap satu, membawa Indonesia merebut kemerdekaan. Mereka akrab dengan pengasingan, tapi juga "kenyang" dengan pompa semangat perjuangan.

Hidup adalah pilihan. Selepas pembacaan teks proklamasi oleh sepasang Sahabat (Soekarno dan Hatta) sebagai penanda kemerdekaan telah dalam genggaman, Indonesia berada pada masa mempertahankan kemerdekaannya. Tata kenegaraan dibentuk segera, terpilihlah Soekarno yang setahun lebih tua darinya sebagai pucuk negara dan dirinya sebagai wakil. Mendampingi sahabatnya itu. Namun, Desember 1956 menjadi saat dirinya harus memilih mengundurkan diri. Keluar dari istana dan hidup sebagai rakyat biasa, menjadi salah seorang pengajar di Universitas Gadjah Mada. Memilih kehidupan yang sederhana bahkan serba keterbatasan. Tak nampak ia bekas orang nomor dua di bangsa yang ia perjuangkan kemerdekannya itu.

Sebelas tahun adalah waktu yang dirasa cukup baginya untuk berkompromi dengan segala pemikiran sahabatnya, Bung Karno, yang dirasanya bertentangan. Hatta yang selalu menjadikan pendidikan sebagai pondasi terpenting untuk sebuah bangsa terasa amat bersisian dengan cita - cita yang dibawa oleh Soekarno.

Sementara Soekarno terus melanjutkan roda kekuasaan, Hatta sendiri, berkawan buku dan sekali waktu menghibur diri dengan pola ketiga putri kecilnya. Keluarga kecil. Ia sepi ditengah hiruk pikuk pembangunan pasca perebutan kemerdekaan. Tapi pirinsip tetaplah prinsip, baginya itu lebih diatas segalanya, termasuk jabatan dan iming - iming apapun.

Lalu apa kabar Sjahrir? Sjahrir yang selalu jujur dan berkata lurus termasuk kritiknya terhadap apapun yang dinilai bertentangan, membuatnya harus berada dalam pengasingan selama sisa hidup bahkan hingga wafatnya. Hatta amat berduka. Dua tahun di Belanda, tujuh tahun bersama di Digul dan Banda Neira hingga Indonesia menjadi bangsa yang merdeka adalah bukanlah waktu yang singkat bagi kebersamaan dirinya dan Sjahrir. Sama - sama terperangkap dalam kekecewaan politik, terasingkan, dan dipandang berseberangan dengan rezim yang berkuasa yang tak lain kawan seperjuangan sendiri, Soekarno. Sekali lagi semua adalah pilihan.

Tahun 1970, Soekarno menyusul Sjahrir. Tinggallah Hatta sendiri, Tiga serangkai itu telah berada pada takdirnya masing - masing. Hatta tak kalah berdukanya. Meski sering bersisian jalan, baginya Soekarno tetaplah kawan. Hatta bahkan sempat meneteskan air mata bersama sahabatnya itu kala membesuknya di rumah sakit. Kondisi tubuh Soekarno yang sakit membuatnya tak percaya. Tubuh tegapnya. Mata elang sahabatnya berganti menjadi sorot yang layu.

Aku datang karena sejarah. Sekali lagi Hatta membuktikan bahwa panggilan kemausiaan ialah segalanya. Betapapun yang terjadi setelah tahun 1956 ia memilih pergi dari istana, kisah seperjuangan dalam sejarah tetap membuatnya terluka kala melihat sahabatnya dalam kondisi yang tak pernah ia bayangkan.

Aku datang karena sejarah..

*semoga tak mendegradasi makna kisah Hatta maupun maksud Penulisnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun