Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion: Studi Kasus Pemerasan pada Proyek Rehab SD/SMP Pasca Bencana Gempa Kota Mataram, NTB

7 Januari 2021   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:57 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalnya, Pertama. dengan memberikan penjelasan lebih mendetail dalam UU Tipikor terkait identifikasi gratifikasi atau suap sebagai upaya preventif dan kewajiban pemeriksaan harta kekayaan negara bagi pelapor yang walaupun melaporkan gratifikasi kurang dari 30 hari agar tidak ada dalih pembenaran kembali kedepannya. Terdapat celah yang ada dalam regulasi UU Tipikor yang berpotensi untuk pelapor emndapatkan impunitasnya. Berdasarkan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor ini pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk membenarkan tindakan mereka untuk tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya. 

Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut dapat berdalih bahwa gratifikasi tersebut belum melewati masa pelaporan (30 hari) sejak menerima gratifikasi. Penetapan status terhadap gratifikasi yang dilaporkan ke KPK juga merupakan tugas hakim dalam persidangan untuk menentukan apakah suatu gratifikasi itu bisa dikatakan suap atau bukan (Reda Manthovani, 2013:6).

Status barang gratifikasi yang telah ditetapkan oleh KPK dapat dirampas untuk negara jika berhubungan dengan jabatan, atau dikembalikan kepada penerimanya (Adnan Pasliadja, Pusdiklat Kejaksaan, dalam FGD Penerapan Pasal gratifikasi yang dianggap suap, Jakarta, 18 September 2013).

Permasalahannya kemudian, jika memang pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, tidak ada pengaturan yang mewajibkan melakukan pemeriksaan awal untuk penerimanya. Minimal, frasa yang menyatakan bahwa pelaporan gratifikasi tidak serta merta membebaskan penerima dari jerat hukum.

Keberadaan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor memang mengundang perdebatan yang panjang, terutama karena pelaporan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara kepada KPK dapat memberikan impunitas kepada pelapornya, sehingga penerimaan gratifikasi olehnya dapat dibenarkan. Aparat penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa penerimaan tersebut telah melewati jangka waktu pelaporan seperti yang diatur dalam Pasal 12 C ayat (4) Undang-Undang Tipikor, yaitu 30 hari sejak gratifikasi diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. Maka rekomendasi yang diberikan yakni, impunitas terhadap para pelapor gratifikasi tidak perlu terjadi secara mutlak. Sehingga apabila di kemudian hari ditemukan bahwa pemberian tersebut bersifat ilegal, pelapor gratifikasi tetap bisa dijerat dengan Pasal gratifikasi yang dianggap suap dengan pembalikan beban pembuktian.

Contoh kasus yang pernah terjadi adalah apenangkapan Tommy Hindratno, Pegawai Dirjen Pajak Sidoarjo yang ditangkap saat OTT oleh KPK. Dalam OTT tersebut, Tommy Hindratno tertangkap tangan ketika menerima suap dari James Gunarjo, sebesar Rp.280.000.000,- (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Dalam OTT tersebut Tommy berdalih baru akan melaporkan penerimaan suap tersebut kepada KPK, karena belum lewat 30 hari dari waktu penerimaannya. Celah inilah yang tercipta dari penerapan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor, dan bisa saja terdakwa lepas dari tuduhanhanya karena Jaksa sebagai Penuntut Umum tidak dapat membuktikan apakah penerimaan pemberian tersebut tidak dilaporkan setelah lewat 30 hari.

(2). Kerja sama dengan korporasi bersama KPK dalam membuat kode etik untuk setiap anggota di dalamnya dan peran serta masyarakat dalam perannya meminimalisir adanya gratifikasi/suap

Dalam rangka membangun lingkungan korporasi yang bersih dan selalu menjunjung tinggi etika beserta nilai-nilainya, adanya standar etik berupa kode etik (code of ethic) dan/atau kode perilaku (code of conduct) adalah prasyarat mutlak (conditio sine qua non). Praktik pemberian ataupun permintaan gratifikasi, suap, atau uang pelicin dapat dimasukkan dalam kode etik dan/atau kode perilaku dengan menguraikannya secara jelas sehingga mudah dipahami dan diterapkan dalam praktik sehari-hari. 

Selain kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi, adanya kode etik dan/atau kode perilaku yang bersifat sektoral menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi pedoman bagi berbagai korporasi yang mempunyai sifat yang mirip atau sejenis sehingga antara korporasi tersebut akan saling menguatkan dalam menjalankan praktik bisnis atau non-bisnis yang sehat dan beretika. Untuk korporasi yang berusaha untuk mendapatkan profit dan tergabung dalam asosiasi, saat ini sudah cukup lazim adanya kode etik yang bersifat sektoral, beberapa diantaranya adalah: Kode Etik Asosiasi Konsultan Non Konstruksi Indonesia, Kode Etik Asosiasi Perusahaan Pemboran Migas, Kode Etik Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi, Kode Etik Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial. 

Dalam artian disini, peran serta masyarakat dalam hal mengoptimalkan kesepakatan (konsensus) dengan peemrintah dalam memaksimalkan regulasi yang ada bisa terlaksana dengan baik, sangat memberikan signifikansi yang besar. Terlebih, manfaat yang dirasakan pun juga akan didarasakan oleh masyarakat sendiri jika optimalisasi penegakan hukum dalam gratifikasi juga dicegah sedari dini oleh masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun