Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Ekspansi Start-up Asing di Indonesia, akankah Keberadaan Start-up Lokal Terancam?

25 November 2020   11:49 Diperbarui: 25 November 2020   12:00 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan perusahaan start-up di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Perusahaan start-up yang menggerakkan bisnisnya dengan bermodalkan infrastruktur teknologi informasi yang mumpuni, telah memberikan banyak kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari. 

Bahkan beberapa perusahaan start-up secara meyakinkan sudah berhasil merubah lanskap bisnis konvensional menjadi berbasis internet. Belum ada definisi baku mengenai perusahaan rintisan atau yang biasa disebut dengan start-up. 

Namun, konsensus umum menyatakan bahwa perusahaan start-up adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bergerak pada bidang teknologi informasi dengan penekanan bisnis menggunakan platform e-commerce. Karena berbasis teknologi informasi, maka perusahaan start-up sangat erat berhubungan dengan bidang industri kreatif seperti musik, desain, fashion, dan software development.

Terlebih disaat pandemi corona ini, menyebabkan transisi sektor industri retail dari konvensional ke platform digital semakin pesat. Riset Bain & Company dalam laporan "The Future of Retail in Asia-Pacific: How to Thrive at High Speed" mengungkapkan bahwa dari 2014 hingga 2019, pertumbuhan tahunan penjualan retail Asia Pasifik empat kali lipat dibanding negara lain di dunia. Sedangkan penjualan online tumbuh hampir dua kali lipat. 

Padahal, e-commerce Asia-Pasifik sudah dimulai dari basis yang lebih tinggi. Penetrasi online di kawasan ini tumbuh dari 9% menjadi 19% pada 2014 dan 2019. Sedangkan kawasan lain hanya naik dari 6% menjadi 11%.

Sementara di Indonesia sendiri menurut Bank Indonesia menyebutkan bahwa di tahun 2019 lalu, jumlah transaksi e-commerce per bulannya mencapai Rp 11 triliun--Rp 13 triliun. 

Bahkan nilai pasar e-commerce Indonesia dinilai akan mencapai sekitar Rp 910 triliun pada 2022 (proyeksi McKinsey & Co). Bisa dikatakan, angka tersebut meningkat delapan kali lipat dibandingkan 2017 yang nilainya sekitar Rp 112 triliun.

Perkembangan positif dan pangsa pasar konsumen di Indonesia yang besar telah menarik minat investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga, peluang perusahaan start-up asing untuk berekspansi ke Indonesia baik melalui ekspansi pasar maupun kepemilikan akan masih sangat terbuka. 

Perusahaan internasional sekelas Alibaba Group yang sudah menyuntik modal senilai 1,1 miliar USD (sekitar Rp14,7 triliun) kepada start-up nasional, seperti Tokopedia misalnya, dapat menjadi indikasi kuat terhadap minat investor asing untuk menguasai pasar nasional.

Namun akankah ekspansi start-up asing ini akan mengancam keberadaan start-up lokal? Jawabannya bisa "iya", bisa "tidak". Mengapa? Berikut analisis yang bisa Penulis berikan:

1. Keberadaan start-up asing akan menumbuhkan persaingan bagi start-up lokal

Dalam kamus manajemen, persaingan adalah usaha dari dua pihak atau lebih perusahaan yang masing-masing berusaha mendapatkan pesanan dengan menawarkan harga atau syarat yang paling menguntungkan. 

Sementara menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), persaingan akan mendorong suatu perusahaan untuk mencapai kualitas yang lebih baik dari para pesaingnya. 

Dengan adanya persaingan tersebut, start-up lokal akan terus berlomba-lomba dalam meningkatkan inovasi mereka dalam merebut hati konsumen. Inovasi ini sendiri menurut Everett M. Rogers merupakan sebuah ide, gagasan, dan praktik yang dilandasi dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang ataupun kelompok untuk diaplikasikan atau pun diadopsi. 

Sehingga tanpa adanya persaingan, suatu perusahaan akan cenderung stagnan, yaitu tanpa adanya kemajuan dan inovasi yang baru karena merasa bahwa hanya merekalah yang menguasai pasar.

Bagaimana tingkat persaingan yang terjadi selama ini? 

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh satu perusahaan riset terkemuka global yang berpusat di Tokyo yaitu Spire Research and Consulting belum lama ini melakukan studi terhadap pengemudi dan konsumen untuk mencari tahu preferensi terhadap penyedia layanan transportasi online dari berbagai aspek, seperti consumer awareness, frekuensi penggunaan, dan frekuensi dalam menggunakan layanan e-money. 

Berdasarkan consumers awareness, layanan antar mobil yaitu antara GoCar dan GrabCar, serta Ewallet Go-Jek vs Grab, memang menunjukkan bahwa peminat Grab masih jauh lebih tinggi (sebagaimana diketahui bahwa Grab sendiri merupakan start-up asal Singapura). 

Namun dalam kategori lainnya, seperti Go-Ride vs GrabBike, menunjukkan Go-Ride (Go-Jek) masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari, sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali dalam sehari ada 58%.

Sementara itu, untuk layanan online food delivery Go-Jek vs Grab, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan layanan yang paling sering mereka gunakan. Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood. 

Oleh karena itu, dari hasil survey di atas masih menujukkan adanya persaingan yang masih seimbang, dimana kedua start-up baik itu Grab yang merupakan start-up asing dan Go-Jek sebagai salah satu start-up nasional, masing-masing masih unggul di beberapa aspek.

Kemudian walaupun di Indonesia telah ada beberapa start-up asing seperti halnya Grab, Uber, Snapchat, PayPal, dan beberapa start-up lainnya. Namun keberadaa start-up asing tersebut tidak menghambat pertumbuhan start-up lokal. 

Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya start-up lokal seperti  Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, OVO, HappyFresh, Kudo, Jualo, e-Fishery, Bridestory, dan start-up lainnya. Bahkan start-up seperti HappyFresh misalnya sudah hadir di berbagai negara di Asia Tenggara seperti, Kuala Lumpur (Malaysia), Bangkok (Thailand), dan rencananya juga akan di buka di Taipei.

2. Masuknya start-up asing merupakan bagian dari pesatnya arus globalisasi

Ketika arus globalisasi terus merangsek berbagai sektor dan lini kehidupan nasional, salah satunya dalam bidang e-commerce. Maka yang menjadi persoalan adalah bukannya melarang start-up asing masuk, tetapi bagaimana meningkatkan dan mengembangkan start-up lokal agar bisa bersaing. 

Misalnya membuat kebijakan yang mengharuskan kerja sama antara perusahaan besar dan kecil agar mampu mendorong UKM menjadi perusahaan start-up yang berorientasi global. Selain itu, income yang didapatkan negara dari start-up -- start-up asing tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun dan mendorong pertumbuhan UKM yang ada di Indonesia. 

Berdasarkan data yang diproleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahwa sektor e-commerce pada tahun 2019 menempati porsi 15-20% dari total penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) di RI. Dan khususnya start-up seperti Grab mempunyai potensi setoran pajak pertambahan nilai (PPN) hingga Rp 5 Triliun Per Tahun. 

Tentu dengan melihat hal tersebut, ini merupakan prospek yang cukup bagus bagi pendapatan negara kedepannya, dalam turut serta membangun perekonomian nasional.

Adapun beberapa solusi yang dapat dilakukan pemerintah adalah:

1. Pemerintah perlu menegaskan kewajiban pembinaan pemodal ventura (modal ventura adalah investasi dalam bentuk pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha untuk jangka waktu tertentu) terhadap perusahaan start-up nasional. 

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura harus terdapat norma yang mewajibkan pemodal ventura untuk melakukan pembinaan kepada perusahaan start-up, antara lain dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki. Dengan pembinaan ini diharapkan peluang pertumbuhan perusahaan start-up dapat semakin besar.

2. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan modal yang dibutuhkan untuk mendanai pengembangan perusahaan dalam rangka mencapai level menengah-atas. Dalam tahap pengembangan ini perusahaan membutuhkan dana sebesar 5 -- 20 juta USD yang sebagian besar dibutuhkan untuk memperluas pasar dan memperkuat infrastruktur teknologi. 

Karena sebagian besar sumber permodalan dalam bentuk modal ventura masih terbatas pada pendanaan tahap awal di mana perusahaan start-up baru mulai dibangun dengan segmen pasar terbatas.

Hal tersebut tentu sebagai upaya pemerintah untuk membangun dan meningkatkan start-up lokal. Dengan munculnya start-up -- start-up asing, kemudian banyaknya investor asing di beberapa start-up nasional, maka potensi-potensi dominansi asing tentu merupakan hal yang tidak boleh di anggap remeh oleh pemerintah. 

Sehingga pemerintah juga harus tetap waspada dan melakukan kontrol terhadap keberadaan start-up asing di indonesia dalam rangka melindungi keberadaan perusahaan start-up nasional dengan keberpihakan kepada UKM.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun