Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Semut dan Filosofi Kehidupan Sosial

30 Oktober 2020   20:12 Diperbarui: 3 November 2020   02:05 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi semut | Foto oleh Poranimm Athithawatthee dari Pexels

Semut merupakan makhluk hidup dengan populasi terpadat di dunia. Perbandingannya, untuk setiap 700 juta semut yang muncul ke dunia ini, hanya terdapat 40 kelahiran manusia. Tentu masih banyak informasi lain yang menakjubkan bisa dipelajari tentang makhluk ini. 

Semut adalah salah satu kelompok yang paling "sosial" dalam genus serangga dan hidup sebagai masyarakat yang disebut "koloni", yang "terorganisasi" luar biasa baik. Tatanan organisasi mereka begitu maju sehingga bisa dikatakan dalam segi ini mereka memiliki peradaban yang mirip dengan peradaban manusia. 

Semut merawat bayi-bayi mereka, melindungi koloni, dan bertempur di samping juga memproduksi dan menyimpan makanan. Bahkan ada koloni yang melakukan pekerjaan yang bersangkutan dengan "pertanian" atau "peternakan". Dengan jaringan komunikasi yang sangat kuat, hewan ini begitu unggul sehingga tak dapat dibandingkan dengan organisme mana pun dalam segi spesialisasi dan organisasi sosial.

Di masa kini, para peneliti yang cerdas dan berpendidikan tinggi bekerja siang-malam dalam berbagai lembaga pemikiran untuk merumuskan organisasi sosial yang sukses dan menemukan solusi yang langgeng untuk berbagai masalah ekonomi dan sosial.

Para ideolog juga telah menghasilkan berbagai model sosial selama berabad-abad. Namun secara umum, belum terlihat tatanan sosial sosio-ekonomis yang berhasil dicapai melalui segala upaya intensif ini. 

Karena sejak dulu konsep tatanan masyarakat manusia didasarkan pada persaingan dan kepentingan individu, tatanan sosial yang sempurna tidak mungkin tercapai. Sementara, semut-semut telah menjalani sistem sosial yang ideal bagi mereka selama jutaan tahun hingga hari ini. 

Lalu, bagaimana makhluk kecil ini membentuk tatanan seperti itu?

Para evolusionis mencoba menjawab pertanyaan ini dengan klaim bahwa semut telah berevolusi 80 juta tahun yang lalu dari "Tiphiidae", sebuah genus purba rayap, dan mulai bersosialisasi 40 juta tahun yang lalu secara seketika, "atas keinginan sendiri"dan membentuk tingkat tertinggi dalam evolusi serangga. Namun, para evolusionis ini tidak menjelaskan sama sekali apa penyebab perkembangan sosialisasi ini dan bagaimana prosesnya. 

Perlu dicatat, mekanisme dasar evolusi mengharuskan makhluk hidup saling bertarung hingga titik terakhir untuk kelangsungan hidup masing-masing, oleh karena itu setiap genus serta setiap individu di dalamnya hanya bisa memikirkan dirinya sendiri dan anaknya (mengapa dan bagaimana ia mulai memikirkan anaknya juga merupakan jalan buntu bagi Evolusi, tetapi hal ini kita abaikan dulu).

Tentu saja, bagaimana "hukum evolusi" ini dapat membentuk sistem sosial yang berpusat pada pengorbanan, tidak terjawab. Pertanyaan yang harus dijawab tidak hanya itu. 

Mungkinkah makhluk ini, yang berat sel saraf dari sejuta ekornya hanya 20 gram, telah mengambil keputusan untuk bersosialisasi dalam kelompok "secara begitu saja"? Atau, mungkinkah mereka berkumpul dan menetapkan peraturan untuk sosialisasi ini setelah mengambil keputusan? 

Sebagian besar dari kita tahu bahwa semut hidup berkoloni dan di antara mereka terdapat pembagian kerja yang sempurna. Jika diteliti, kita dapati sistem mereka memiliki struktur sosial yang cukup menarik. Mereka pun mampu berkorban pada tingkat yang lebih tinggi daripada manusia. Salah satu hal paling menarik dibandingkan manusia, mereka tidak mengenal konsep semacam diskriminasi kaya-miskin atau perebutan kekuasaan. 

Banyak ilmuwan yang bertahun-tahun melakukan penelitian mendalam namun tak mampu menjelaskan perilaku sosial semut yang begitu maju. Caryle P. Haskins, Ph.D., kepala Institut Carnegie di Washington menyatakan: Setelah 60 tahun mengamati dan mengkaji, saya masih takjub melihat betapa canggihnya perilaku sosial semut. 

Semut merupakan model yang indah untuk kita gunakan dalam mempelajari akar perilaku hewan. Sebagian koloni semut begitu padat populasinya dan begitu luas daerah hidupnya, sehingga tak mungkin bisa dijelaskan bagaimana mereka dapat membentuk tatanan yang sempurna. Jadi, pernyataan Dr. Haskins sulit dibantah. 

Sebagai contoh koloni yang besar ini, misalnya spesies semut Formica yesensis, yang hidup di pantai Ishikari, Afrika. Koloni semut ini tinggal di 45.000 sarang yang saling berhubungan di wilayah seluas 2,7 kilometer persegi. Koloni yang memiliki sekitar 1.080.000 ratu dan 306.000.000 pekerja ini dinamai "koloni super" oleh para peneliti. 

Ditemukan bahwa semua alat produksi dan makanan dipertukarkan dalam koloni secara tertib. Sungguh sulit menjelaskan bagaimana semut-semut ini mempertahankan ketertiban tanpa masalah, mengingat luasnya tempat tinggal mereka. Harus diingat, untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban sosial, bahkan di negara beradab dengan sedikit penduduk pun, diperlukan berbagai kekuatan keamanan. 

Namun, koloni semut tidak memerlukan polisi, satpam, atau hansip. Dan mengingat tugas sang ratu yang kita anggap sebagai pemimpin koloni hanya melestarikan spesies, semut-semut ini sebenarnya tidak punya pemimpin atau penguasa. Jadi, di antara mereka tidak ada hierarki berdasarkan rantai komando. Lalu siapa yang menentukan ketertiban ini dan menjaga keberlanjutannya?

Tapi baiklah, terlepas dari berbagai pertanyaan-pertanyaan ilmiah di atas, biarlah itu menjadi suatu masalah yang harus dipecahkan oleh para ilmuwan. Rasanya kita perlu belajar banyak akan filosofi kehidupan sosial dari mahluk yang bernama semut.

Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap eksis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial (Social Being). Keberadaanya tergantung oleh manusia lain. 

Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah bentuk dari asas sosialitas. 

Dengan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, di atas rasio yang ia miliki, maka manusia seharusnya mampu untuk mengilhami posisi dirinya dalam turut serta mewujudkan suatu keteraturan dalam kehidupan sosial sebagai bentuk kesadaran akan nilai kebersamaan yang harus dijaga. 

Seiring berkembangnya peradaban manusia, terlebih di tengah masyarakat modern yang ditandai oleh sifatnya yang plural, baik dari aspek norma, nilai, maupun kepentingan. Setiap norma, nilai dan kepentingan ini tidak berada secara terisolasi dari yang lainnya, melainkan saling berhubungan dan bahkan saling bergantung. 

Kesaling tergantungan ini merupakan suatu keniscayaan. Walaupun menurut Durkheim dan Comte bahwa fenomena kesalingtergantungan akan mendorong keteraturan sosial atau solidaritas sosial, tidak dapat dipungkiri juga kenyataan bahwa kompetisi antara berbagai norma, nilai dan kepentingan akan menjadi ancaman bagi solidaritas sosial itu sendiri. 

Sehingga hal tersebutlah yang mungkin juga membedakan antara tatanan sosial kehidupan di dalam peradaban manusia dan juga semut. Dimana manusia terkadang memiliki benturan kepentingan dengan manuisa yang lainnya, ambisi untuk saling menyingkirkan dan mengalahkan satu sama lain. 

Hal inilah yang kemudian juga mendasari teori dari Tomas Hobbes yaitu "Homo Homini Lupus" bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Mungkinkah sifat ini juga yang kemudian sulit untuk membawa manusia pada tatanan sosial yang sempurna. Maka jangan heran kenapa masih banyak korupsi di negara yang katanya paling berketuhanan, negara yang menempatkan Tuhan pada tataran tertinggi dalam Grundnorm mereka. 

Mereka melakukan korupsi bukan karena mereka tidak sadar bahwa korupsi dapat merugikan orang banyak atau karena korupsi merupakan suatu hal yang salah, namun karena akal budi dalam dirinyalah yang bermasalah, krisis akan rasa saling menghormati dan menghargai, krisis akan rasa peduli terhadap sesama, karena menempatkan kepentingan pribadi di atas segalanya, walaupun dengan cara mengambil dan melanggar hak individu yang lain atau masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, di dalam tatanan kehidupan manusia, kini kita mengenal seperangkat norma, baik itu norma agama, norma moral, norma hukum, norma sosial, dan norma lainnya yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta kontrol sosial di dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan terciptanya keteraturan. 

Esensi dari manusia sebagai mahluk sosial inilah yang seharusnya selalu dipegang sehingga rasa tanggungjawab dan kewajiban untuk saling melindungi satu sama lain, karena rasa butuh diantara sesama manusia lah yang akan menciptakan keteraturan di tengah kehidupan bermasyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun