Diskriminasi di Indonesia Terus Terjadi, Sudah Adakah Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur?
Oleh : Ira Alia Maerani & Ana Khoirina
Siapa yang tidak pernah mendengar kata diskriminasi? Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil atau tidak seimbang terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sesuatu yang bersifat kategorikal dikarenakan perbedaan pendapat, golongan, agama, suku dan ras.
Kian hari kata diskriminasi semakin sering kita dengar dan kita ucap. Hal ini membuktikan bahwa diskriminasi semakin banyak terjadi dan menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh masyarakat. Di indonesia sendiri, kasus diskriminasi masih sangatlah banyak. Tercatat dalam data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Â setidaknya ada 101 kasus pelanggaran ras dan etnis dalam tahun 2011-2018 "Mengenai wilayah, hampir semua di wilayah Indonesia ada diskriminasi," ujar Beka Ulung Hapsara di Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta Utara, Jumat (23/11/2018 ).
Kasus diskriminasi yang baru-baru ini terjadi adalah kasus diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua yang berada di Surabaya. Hal itu tentu saja menarik perhatian masyarakat idonesia. Insiden ini diawali dengan tuduhan ormas Surabaya bahwa mahasiswa Papua tidak mau mengibarkan bendera Merah Putih. Menurut Ormas di Surabaya tindakan tersebut sudah terjadi berulang kali.
Insiden ini menimbulkan kemarahan Ormas di Surabaya. Sekitar 700 orang anggota Ormas di Surabaya dengan nama FKPPI, Hipakad, Pemuda Pancasila, Patriot Garuda, Pagar Jati, dan FPI mendatangi asrama mahasiswa. Pada tanggal 19 Agustus 2019 beredar di masyarakat sebagai berita hoax dengan menyatakan bahwa telah terjadi pengusiran mahasiswa Papua dari Surabaya, telah terjadi persekusi dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, telah terjadi penangkapan 2 mahasiswa Papua dan menuntut dibebaskan, bahkan tewasnya mahasiswa Papua dalam insiden penembakan gas air mata, termasuk juga kata-kata kurang pantas dan rasial yang dikeluarkan oleh para Ormas yang dinilai menghina harga diri Orang Papua. Berita hoax tersebut telah menyulut kemarahan dan membuat orang Papua di Manokwari dan meluas hingga ke Jayapura, Sorong, Makasar, Fakfak, Mimika, Yahukimo, dan Nabire berbuat rusuh dan membakar gedung DPRD. Yang menjadi pertanyaan, sudah adakah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan akan diskriminasi di Indonesia ?
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Namun,  setelah UU tersebut diadakan hanya ditemukan 4 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa penegakkan UU  Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapuan Deskriminasi Ras dan Etnis tidaklah berjalan maksimal.
Dengan belum maksimalnya penegakan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, muncul sebuah pertanyaan apakah masyarakat Indonesia telah mengetahui eksistensi Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008? Rasanya keberadaan undang-undang ini perlu kembali disosialisasikan dan digaungkan kepada masyarakat, agar keberadaannya dapat diketahui dan dipahami isinya oleh masyarakat seperti UU ITE yang eksistensinya sudah tidak asing di telinga masyarakat. Dewasa ini, pengkajian penegakan hukum selalu terkait dengan system hukum (legal system) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai struktur hukum, yang terdiri dari komponen struktur, substansi, dan kultur atau budaya hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai pola pengetahuan, sikap, dan perilaku sekelompok masyarakat terhadap sebuah system hukum. Dalam poin ini dapat terlihat bahwa pola pengetahuan masyarakat akan hukum, termasuk dalam suatu struktur hukum yang kemudian akan turut mempengaruhi terhadap penegakan hukum yang ada Indonesia. Bagaimana masyarakat akan tunduk kepada hukum yang mengatur kehidupan mereka apabila pengetahuan masyarakat akan hukum tersebut tidak ada, walaupun memang dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure yang menganggap semua orang tahu hukum. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah untuk menyampaikan adanya peraturan hukum tertentu kepada masyarakat. Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan keberadaan atau eksistensi daripada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, diharapkan masyarakat mampu mawas diri akan segala tindakan mereka yang berpotensi melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. layaknya masyarakat saat ini yang mulai menjaga tindakan dan perilakunya dalam berteknologi dan berperilaku dalam dunia virtual akibat keberadaan daripada UU ITE.
Penting untuk dipahami oleh masyarakat bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis. Selaras dengan bunyi pasal tersebut, Pasal 10 dalam undang-undang yang sama menyatakan bahwa salah satu kewajiban warga negara adalah membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis.
Melihat kedua pasal tersebut, apabila masyarakat mampu mengamalkan kewajiban dan menghormati hak warga negara yang telah dijelaskan, maka angka diskriminasi di Indonesia akan berkurang dan masyarakat dapat hidup dengan lebih saling menghargai satu sama lain. Pun dalam hal ini, penting pula untuk diketahui masyarakat bahwa apabila dirinya telah menerima diskriminasi ras dan etnis, maka mereka berhak untuk mengajukan ganti kerugian. Pengaturan ganti rugi ini secara terang dijelaskan dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya. Selain itu, bagi seseorang yang telah melakukan tindakan-tindakan yang dapat diklasifikasikan suatu diskriminasi ras dan etnis, dapat dikenakan suatu sanksi, yang diatur dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 pada undang-undang tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Lantas, apa peran Pancasila dalam kasus ini?
Seperti yang sudah kita ketahui dan kita pelajari sejak masih di Sekolah Dasar, bahwa semboyan Negara Indonesia adalah "Bhineka Tunggal Ika". Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari buku atau kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata Bhineka Tunggal Ika merupakan bahasa Jawa kuno yang jika diartikan bhinneka berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, tunggal berarti satu, sedangkan ika berarti itu. Secara harfiah Bhineka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi semakin Indonesia menuju Indonesia yang dewasa, semakin banyak pula warga Indonesia yang melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Didalam pancasila terkandung nilai-nilai yang mengajarkan untuk saling menghargai perbedaan dalam kategori apapun didalam pancasila juga diajarkan untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap sesama manusia. Tetapi kasus diskriminasi seperti diatas masih saja menjadi masalah utama yang dapat mengancam masa depan bangsa, terutama dalam persatuan dan kesatuan.
Diskriminasi terhadap suku dan ras tentunya melangggar semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sebagai warga Indonesia, dalam bertindak atau melakukan sesuatu harusnya berdasarkan pada pancasila agar apa yang kita lakukan tidak menyimpang dan kejadian seperti ini tidak terjadi untuk kedua kalinya. Menerapkan kebiasaan melakukan tindakan berdasarkan pancasila agar tercipta keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia yang berlandaskan pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H